Perempuan Pembenci Kematian

Perempuan Pembenci Kematian

 

Tepat saat keranda kosong yang dipikul empat pemuda desa tiba, jenazah Suparlan diturunkan dari mobil jenazah. Tangis keluarga mengiringi jenazah yang dibopong masuk rumah oleh dua lelaki kerabat almarhum. Di belakang mereka, Sekar, anak perempuan Suparlan, histeris menyaksikan keranda dibujurkan di ruang tengah, kepala jenazah bapaknya dihadapkan ke arahnya. Kemudian, mobil jenazah meninggalkan kesunyian. Serupa petak kosong di pekuburan yang telah digali sekelompok tukang gali makan desa. Baginya, salah satu tiang kehidupan tekah roboh.

Semua orang ikut hanyut pada kesedihan keluarga Sekar. Ucapan bela sungkawa dan kiriman dukacita mengalir dari tetangga, begitu kabar duka tersiar dari pengeras suara masjid desa. Namun, tidak bagi seorang permpuan yang berdiri di pojok teras. Perempuan yang sejak jenazah Suparlan dimasukkan keranda, terus mengamati Sekar dengan tatapan aneh.

Orang-orang sibuk menyiapkan perlengkapan untuk menunaikan kewajiban terakhir kepada sesama muslim: memandikan, mengafani, menyolati, dan menguburkan. Iya, meskipun kewajiban mengurus jenazah itu sebenarnya akan gugur jika telah diwakilkan oleh orang lain yang sudah melaksanakannya, tetapi sudah menjadi tradisi jika ada orang meninggal di desa ini, maka akan datang tetangga dan kerabat yang dekat maupun jauh. Kehadiran orang-orang seperti inilah yang akan membuat keluarga lebih tegar menerima takdir kematian.

Kematian Suparlan menninggalkan kesedihan mendalam bagi orang-orang di sekitar rumahnya. Lelaki yang memiliki tubuh kekar, pekerja keras yang menjadi panutan para buruh tani itu telah tiada. Sosok yang mendapat julukan demit sawah, sebab semasa hidupnya lebih banyak menghabiskan waktu di tengah sawah, siang maupun malam.

Ketika orang-orang sibuk dengan perkabungan, perempuan yang berdiri di pojok teras masih saja mengamati gerak-gerik Sekar. Di sudut lain, Sekar nyaris ambruk. Dngan sigap orang-orang menahannya, menenangkan, dan berulang kali mengucap kata sabar sambil mengelus lembut pundak Sekar. Sementara, sosok perempuan di pojok teras itu tak sedikit pun menitikkan air mata.

Tempat memandikan jenazah sudah siap. Dua tong telah terisi penuh air dan sebuah selang terus mengaliri tong hingga airnya tumpah. Dibuatkannya parit sederhana untuk pembuangan air bekas memandikan jenazah . Di samping telah tersedia sampo, sabun mandi, dan wangi-wangian khas untuk membaluri jenazah. Tak ketinggalan seonggok daun kelor yang ditaruh dalam tong sebagai pelengkap proses pemandian jenazah di kampung.

Kerabat telah menentukan siapa yang memangku juga yang ikut prosesi pemandian jenazah. Lagi-lagi Sekar menjadi tokoh utama. Tangisnya belum terhenti. Dia tak kuasa membayangkan tubuh bapaknya sebentar lagi terkubur di dalam tanah.

Mendadak perempuan yang lama berdiri di pojok teras mendekati Sekar, lalu bertanya, “Apa kamu juga akan memandikan jenazah bapakmu?”

Sekar membisu. Orang-orang di samping Sekar yang menimpali pertanyaan itu. “Harus. Seorang anak harus ikut memandikan jenazah orang tuanya sebagai bhakti terakhir untuk almarhum,” ucap perempuan setengah baya.

Sekar digiring menuju ke tempat pemandian jenazah Suparlan. Lagi-lagi perempuan itu hanya terdiam dan terus mengamati gerak-gerik Sekar dari kejauhan. Tatapannya masih sama: sinis dan aneh.

Prosesi terakhir mengurus jenazah segera dilaksanakan. Semua orang berdiri dan bergerombol di dekat jenazah Suparlan yang telah dimasukkan dalam keranda dan siap untuk menuju pemakaman. Sekar yang telah mengenakan pakaian serba hitam dituntun dua kerabatnya untuk melakukan brobosan: tradisi berjalan sambil menunduk di bawah keranda yang dipikul oleh empat orang. Tradisi ini dilakukan agar kesedihan keluarga segera sirna setelah jenazah dimakamkan. Hanya Sekar yang melakukan tradisi ini, sedangkan ibunya menggelengkan kepala sambil berkata, “Sekar saja, Sekar saja.”

Gema Tahlil dilantunkan penziarah kubur yang mengantarkan Suparlan ke rumah keabadian. Sekar berusaha menghentikan tangisnya. Ia berjalan tepat di belakang keranda yang dipikul secara bergantian oleh kerabat dan beberapa tetangga. Lokasi pemakaman cukup jauh dan jalan yang menanjak mengharuskan orang bergantian menunaikan kewajiban.

Perempuan yang tak menunjukkan wajah dukacita tadi turut dalam prosesi pemakaman. Dia sesekali mendekat dan mengamati orang-orang menurunkan jenazah ke liang lahat. Sekar pun melakukan hal yang sama. Proses terakhir ini lebih dikerjakan oleh orang laki-laki. Mulai dari mengazani, men-talqin, menutup lubang dengan kayu, dan terakhir mengguyurkan tanah kembali ke liang hingga tertutup dan membentuk gundukan yang mengarah ke utara dan selatan.

Perempuan itu lega. Ia menggandeng Sekar kembali ke rumah setelah selesai menaburkan bunga di makam Suparlan juga melantunkan doa. “Sekar, ayo kita pulang,” ucapnya.

Sekar hanya diam dan mengikuti perempuan yang menggandeng tangannya.

“Kenapa hari ini kau aneh. Tak sedikitpun aku melihat kau bersedih, Asih?” tanya Sekar.

Rupanya perempuan yang menggandeng Sekar bernama Asih.

“Etahlah, Sekar. Dari dulu aku memang begini. Aku benci setiap kali ada kematian. Tak hanya pada kematian Pakdhe Suparlan. Bagiku, kesedihan karena kematian adalah hal yang sulit. Kadang aku selalu iri pada anak-anak yang histeris ketika ditinggal mati oleh orang tuanya,” jawab Asih panjang lebar.

Sekar kembali membisu.

“Aku justru lebih menyukai ucapan selamat. Bagiku ucapan selamat lebih enak didengar daripada kata sabar, yang sabar, dan yang ikhlas. Sabar bagiku hanya sekadar ucapan, tidak terlihat. Berbeda dengan ucapan selamat apalagi diiringi dengan pemberian hadiah.”

Asih mengaku sebagai sosok penggila ucapan selamat. Apa pun pencapaian dalam hidup kecil maupun besar, dia mau orang lain mengucapkan selamat. Terlebih saat ulang tahun. Asih akan marah jika teman atau kerabatnya lupa mengucapkan selamat di hari spesial.

‘Selamat ulang tahun, ya Asih. Kamu adalah perempuan kuat yang dipilih Tuhan.’

“Aku ingat, almarhum Pakdhe Suparlan selalu mengucapkan itu setiap kali datang pada syukuran ulang tahunku.”

Kemudian, dua saudara sepupu itu sama-sama membisu. Hanya menyisakan suara pijakan kaki-kaki mereka di atas jalan paving pekuburan.

***

Tujuh hari setelah kematian Suparlan, Asih menggelar syukuran ulang tahun. Sebuah tumpeng nasi kuning dan makanan ringan lainnya telah disiapkan. Asih adalah orang yang tidak ingin melewatkan momen ulang tahun. Sejak sebelum bapaknya pergi hingga sekarang dia tidak tahu di mana orang tuanya itu berada, Asih tetap rutin menggelar syukuran setiap tahun. Tak perlu pesta meriah ala anak orang kaya, dia sungguh hanya suka dengan ucapan-ucapan yang akan diberikan oleh teman dan kerabatnya.

Sesaat setelah membaca doa dan tumpeng itu dipotong tanda syah perayaan ulang tahun, suara sirine ambulan terdengar nyaring memekak telinga. Semua orang pun berdiri dan mencari sumber suara yang terdengar semakin keras saja.

Orang-orang berhambur keluar rumah sesaat ketika mobil ambulan itu berhenti tepat di depan rumah Asih.

“Siapa yang meninggal.”

“Salah alamat itu pasti ambulannya.”

Begitulah ucapan orang-orang saling bersahutan.

Seorang petugas mengenakan baju dan celana putih turun dari mobil dan mendekat ke kerumunan orang di teras rumah Asih.

Ibu Asih melangkah maju menyibak kerumunan orang, sedang Asih mengekor di belakang.

Rupanya petugas rumah sakit ingin berbicara dengan ibu Asih di dalam rumah setelah menunjukkan selembar kertas yang dia keluarkan dari dalam map berwarna merah. Seketika di depan rumah Asih ricuh dan mempertanyakan kedatangan mobil jenazah itu.

Asih segera mencari tahu terlebih setelah seorang laki-laki yang biasa dia panggil paman turun dari mobil jenazah. Asih bergegas mendatangi petugas yang sedang berbicara dengan ibunya.

“Akhirya pencuri itu mati.”

“Pulang juga penjahat itu rupaya.”

Celutuk beberapa orang. Beberapa orang yang lain hanya diam saling menatap.

Asih hanya diam. Matanya menatap lurus ke arah mobil jenazah di depan rumah. Mendadak, hari ulang tahunnya menjelma menjadi hari yang aneh.

Iya, berbeda dengan perkabungan Suparlan sepekan silam, perkabungan bapak Asih bertolah belakang.

Sesaat setelah petugas mobil jenazah dan tiga pemuda menurunkan jenazah bapak Asih, mendadak rumah itu sepi. Orang-orang hanya bergerombol sambil berbisik-bisik di emperan tetangga. Mereka enggan melibatkan diri pada proses pemandian dan pengkafanan jasad lelaki yang pernah menjadi buah bibir orang sekampung. Hanya ada kerabat saja yang melakukannya.

Pak Lurah keluar menemui warganya. Sesaat kemudian, beberapa orang mengikuti masuk ke dalam rumah. Barangkali merasa tak pantas membangkang perintah tetua desa, mereka pun mengusung keranda dengan setengah hati.

Matahari sudah condong ke ufuk barat, memoles bayang-bayang panjang dari keranda dan barisan pengusung tanpa belasungkawa itu, memanjang hingga jatuh ke ujung desa. Tepat di ujung bayangan itu, pada tanah yang dipijak beberapa lelaki penggali kubur, tampak bayang-bayang hitam dari tangan-tangan yang mengayunkan cangkul, membuka secelah liang untuk jasad lelaki yang sedang diusung di dalam keranda. Siluet gelap para penggali kubur, yang terantuk-antuk menghunjam tanah, bergerak melambai-lambai menyambut iring-iringan keranda, diselingi sambaran kilau mata cangkul yang seolah-olah ingin menyayat jasad di dalamnya.

Sampai di makam, Sekar mendekat, mengelus pundak Asih. “Aku tidak akan mengatakan sabar kepadamu, karena kamu sudah menjadi perempuan tersabar.”

Orang-orang yang hanya berkerumun di balik batang kemboja, dengan menjaga jarak dua puluh meter dari liang lahat bapak Asih.

Tak sekali pun Asih mengedipkan mata, tak sepatah pun ia berucap. Dia benci kematian. Dia takut saat hari ini terjadi dia tidak bisa merasakan sedih. Dia takut ketika bapaknya meninggal, tidak ada orang yang mau mengurus jenazahnya. Dia juga takut, jika hari ini terjadi, dia tak bisa menitikkan air mata. Bahkan dia takut, tidak ada orang yang mengatakan harus sabar kepadanya. Kebencian telah menguasai kesedihan.

“Akhirnya hari ini datang juga, ya Sekar?” ucap Asih lirih kepada Sekar.

“Yakinlah jika di dunia ini masih ada orang baik, seperti kamu. Ayo temui bapakmu!”

Tanpa digandeng siapa pun, Asih melangkah menuju keranda jenazah bapaknya yang sudah dibaringkan di samping sepetak liang. Tak ada isak tangis keluarga yang mengiringi jenazah, tidak seperti pada umumnya.

“Ayo Asih. Kamu kan kuat. Lihat wajah bapakmu untuk yang terakhir kali,” bisik Sekar kepada Asih.

Asih maju beberapa langkah, membuat jaraknya semakin dekat dengan jenazah. Selangkah mendekati keranda yang telah terbuka, dia membalikkan badan, berjalan menjauh. Belum genap tiga langkah, dia kembali berbalik arah. Begitu sampai tiiga kali, hingga bibirnya mendesis,“Terima kasih sudah datang di hari ulang tahunku, Bapak.”

Mendadak penglihatan Asih ditaburi ratusan kunang-kunang. Sepasang air mata membelah dua pipinya yang tirus. Dia tak bisa lagi melihat apa-apa, kecuali warna hitam, gelap, hingga dua titik cahaya memanjang, datang menumbuk kegelapan itu. (*)

Mahfida Ustadhatul Umma, bergiat sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk (Kopling), pernah menjadi anggota redaksi Harian Umum BERNAS.ID.

Ilustrator: Kevin Sang Mahadewa
Editor: Heru Sang Amurwabumi