Mandor Jentrung Inovasi Gennuine dari Kawasan Pedesaan

 

Rio NS
Pengamat Sastra Budaya
Alumnus Fakultas Sastra Universitas Jember.

Pola hubungan antar manusia di era Society 5.0 secara nyata telah kita lihat dinamika perubahan, gejolak beserta ekses-eksesnya yang kian menyulitkan praduga mengenai pola terbaiknya kelak. Lunturnya ketegasan batas antar negara dan kawasan, krisis identitas pada masing-masing kelompok manusia yang disertai gejala semakin mengentalnya politik identitas, tercerabutnya akar kedarahan dan kedaerahan pada nyaris semua generasi yang melingkupi hampir semua aspek kehidupan serta kemudahan berinteraksi antar individu maupun komunitas adalah gejala yang dengan mudah bisa kita amati.

Di tengah hiruk pikuk gelombang disrupsi seperti teersebut di atas, merupakan sebuah kejutan yang melegakan ketika di suatu malam yang kering pertengahan tahun lalu, saya berkesempatan menghadiri kenduri brokohan atas lahirnya satu bentuk seni pertunjukan dengan nilai kebaharuan sangat tinggi. Di sebuah halaman rumah yang relatif tidak luas di wilayah desa Mangunan, sebuah desa yang wilayahnya dilalui jalan raya penghubung Blitar dan Kediri, bersama tak lebih dari 50 orang hadirin, malam itu saya menyaksikan bahwa geliat kreatifitas, semangat menjaga warisan budaya dan upaya sporadis merawat puing-puing peninggalan leluhur nyata adanya.

Peristiwa itu adalah upacara kelahiran bagi Mandor Jenterung. Jangan bayangkan ia adalah seorang bayi mungil dan menggemaskan dengan jadwal tidur yang panjang di awal hari-hari kehadirannya di dunia. Mandor Jenterung adalah satu format baru seni pertunjukan yang sejak pembuahan, masa dalam kandungan sampai kelahirannya tak bisa dilepaskan dari nama Ki Maryani. Beliaulah tokoh utama yang dengan cermat menyiapkan lahirnya entitas baru karya seni ini. Secara nama, Mandor Jenterung adalah akronim dari Macapatan, Jedor, Jemblung, Teater, dan Kentrung. Kelima unsur inilah yang diramu oleh Ki Maryani menjadi satu formula pertunjukan seni tutur.

Di atas panggung setinggi setengah meter dengan luas tak lebih dari 2×2 meter, Ki Maryani duduk di belakang beberapa bentukan terbuat dari kulit layaknya wayang purwa namun dengan gambaran tokoh yang mewakili orang-orang di keseharian masyarakat Jawa. Sebuah batang pisang sebagai media untuk menanancapkan bilah-bilah penegak tokoh pembangun karakter ditutup rapat oleh sehelai kain hitam. Para niyaga (pemusik yang mengiringi pertunjukan) duduk dibelakang Ki Maryani dalam jarak yang berhimpitan dengan sejumlah pesinden. Jangan pula dibayangkan pesinden yang menghias pementasan Mandor Jenterung adalah mereka dengan dandanan menor dan kemolekan yang bisa menjadi tamba ngantuk. Sungguh, para niyaga dan pesinden adalah yang secara usia masuk dalam kategori tak lagi muda dengan penampilan apa adanya.

Pesona kesederhanaan itulah yang justru menghisap perhatian saya dan hadirin yang memadati halaman rumah Ki Maryani malam itu. Kisah yang diangkat disemangati oleh upaya untuk memanjangkan usia kebijakan leluhur dan kelesetarian alam utamanya sebuah pohon besar yang menaungi satu mata air di sebuah tanah perdikan. Penokohannya tidak berkenaan dengan raja-raja di istana. Kalaupun ada punggawa, “eselon” nya sekitar 4 atau 5 saja. Tokoh yang sangat dihormati dalam cerita itu justru seorang Resi, guru dengan beberapa cantrik (murid) yang diwarnai dengan intrik personal di antara mereka.

Disebabkan oleh format Mandor Jenterung yang merupakan paduan beragam seni pertunjukan, tak mengherankan jika muatan yang dibawakan oleh Ki Maryani pun sangat kompleks. Ia melompat-lompat dengan lincah dari khasanah cerita rakyat ke mitos, dari pakem pewayangan ke hadist Nabi dan pitutur sepuh yang mulai dilupakan. Ditambah dengan keandalannya sebagai seorang “master” macapatan, olah vokal yang terbilang sulit untuk menggambarkan masing-masing tokoh dimanipulir oleh kemampuannya mengolah lantunan nada, irama dan wacana.

Mencoba mengambil sudut pandang selain sebagai sebuah seni pertunjukan lisan, informasi yang disampaikan Ki maryani pada sesi diskusi malam itu tak kalah menariknya. Beberapa fenomena di luar nalar yang mengiringi lahirnya Mandor Jenterung menjadi alasan kuat untuk memperlakukan Mandor Jenterung ini lebih dari sekedar karya seni. Mungkin, itulah alasan mengapa acara yang juga dihadiri beberapa petinggi Kabupaten Blitar serta sejumlah Doktor Ilmu Budaya tidak dinamai dengan—misalnya—pentas perdana atau peresmian.

Sisi tersembunyi yang mesti saya ungkap adalah bauran getir, haru sekaligus suka cita di perjalanan pulang saat malam menyisakan dinginnya. Sisi melankolis saya hadir mengingat munculnya karya inovatif seperti Mandor Jenterung ini lahir justru tidak dari kantung-kantung budaya “mayor” yang selama ini kondang dengan tokoh-tokoh nasional atau bahkan internasionalnya. Ia lahir dari kawasan pedesaan oleh tangan-tangan renta bertenaga besi kaum yang tak pernah diperhitungkan oleh dunia seni dan budaya. Adapun sisi sumringah saya tak kalah dominannya karena kemunculan Mandor Jenterung memberi penegasan ulang betapa kita masih bisa berharap akan kemilaunya jaya kawijayan Nusantara.

—oOo—

*Seorang penikmat sastra dan budaya, tinggal di Blitar