
Elektronik Bro J
Imlek. Orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda menyebutnya Sincia. Hari pertama bulan pertama pada kalender Tiongkok yang merujuk hari kelahiran Kaisar Hung Di—Kaisar Kuning, leluhur bangsa Tiongkok yang berkuasa pada 2597 – 2697 Sebelum Masehi.
Sincia membawa banyak tradisi dan mitologi. Mulai kepercayaan hujan turun di pagi hari yang mengucurkan rezeki bersama jatuhnya air dari Kaisar Langit, tradisi pernak-pernik berwarna merah, sampai keberadaan makhluk jahat pemangsa hewan ternak dan anak-anak. Itu sebabnya, malam Sincia selalu lekat dengan persembahyangan.
Seperti lazimnya tradisi penyambutan Imlek oleh peranakan Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan kian condongnya matahari ke ufuk barat, perayaannya kami lakukan dengan sederhana di rumah. Hanya ada A Pa, A Ma, Koko, dan aku di meja persembahyangan.
Satu per satu, mereka membakar hio, lalu berdoa sesuai tradisi etnis kami. Mengharap segala yang baik-baik selama setahun ke depan kepada Sang Pencipta. Selain rezeki, kesehatan, dan umur panjang, biasanya juga permohonan ampunan untuk arwah para leluhur yang sudah berpulang.
Tiba giliranku untuk berdoa. Tidak seperti sincia tahun-tahun sebelumnya, mendadak ada rasa yang tidak biasa, menyasar kepalaku. Diawali dari pandangan mata yang kabur, mata pedih terkena asap hio, kemudian diakhiri dengan rasa pusing yang teramat sangat ketika aku menghirup aromanya. Aku mundur dari meja persembahyangan, lalu berpamitan kepada A Pa, A Ma, dan Koko tanpa sempat berdoa. Lalu buru-buru aku masuk kamar dan menjatuhkan badan ke tempat tidur.
Setengah jam setelah persembahyangan itu, A Ma menyusulku. “Kamu sakit, Hong?” tanya A Ma. Aku hanya mengangguk pelan. Oh, iya, namaku adalah Tjioe Ping Hong. Keluargaku memanggil A Hong. Menurut A Pa, namaku memiliki arti Naga yang Agung. Entah apa alasan A Pa memberikan nama itu. Barangkali A Pa ingin aku menjadi anak lelaki yang tangguh seperti sosok naga yang sering ditarikannya di klenteng. A Pa memang seorang penari Barongsai dan Liong yang piawai.
“Istirahatlah, Nyo. A Ma akan membuatkanmu bubur hangat,” lanjut A Ma sambil melangkah keluar kamar. Namun, satu langkah sebelum sampai di daun pintu, A Ma menoleh ke tumpukan rak buku. Matanya terbelalak, menikam sebuah sampul buku yang kutaruh paling atas.
Mendadak tubuhku menggigil. Wajahku mengkerut, melihat buku yang sedang dipegang A Ma. Ukurannya tidak terlalu tebal. Sampul buku itu didominasi warna biru keabu-abuan. Terlihat pula gambar seorang lelaki yang memakai songkok sedang melakukan sebuah gerakan jongkok. Sebuah judul terpampang begitu jelas: Risalah Tuntunan Salat.
A Ma nyaris menjerit, lalu membungkam mulutnya sendiri.
“Apa yang telah kuperbuat, Nyo?” tanya A Ma.
Wajar A Ma bersikap seperti itu. Aku bisa membayangkan, hukuman apa yang akan menimpa keluarga kami atas aib—bagi marga Tjioe—yang aku lakukan. Barangkali, arwah leluhur kami di alam lain sana juga akan menanyakan hal yang sama seperti A Ma.
Tangis leluhurku sore ini telah diwakili A Ma. Mungkin, baginya aku adalah sang Naga yang telah mencabik-cabik kehormatan keluarga dengan membelot dari keyakinan turun-temurun leluhur kami. Sebagaimana tarian Liong yang dibawakan A Pa—gemar mencabik-cabik tubuh lawan.
Isak tangis A Ma mereda ketika terdengar suara yang sering kami tangkap dari rumah. Iya, dari tempat tinggal kami, asal suara itu dikumandangkan memang sangat jelas terlihat. Sebuah bangunan menjulang tinggi di tengah kota bernama Masjid Baitussalam. Orang-orang muslim menyebutnya sebagai suara azan.
***
Sebuah tamparan mendarat di pipiku, setelah lukisan naga yang ada di dinding ruang tengah rumah kami pecah berkeping-keping oleh bantingan A Pa. Tubuhku menggigil di sudut kursi tamu.
Beberapa menit sebelumnya, aku sedang bergumam menghapal bacaan kalimat syahadat pada buku pemberian Mustofa—teman sekolahku. Buku yang beberapa hari lalu telah diketahui A Ma. Aku terlena dengan lafaz kalimat itu. Makin lama, aku melantunkannya kian keras, hingga A Pa yang sedang berada di ruang tengah mendengar.
“Apa yang sedang kaulakukan, Nyo?!” tanya A Pa dengan membentak. Kulit wajahnya tampak berwarna merah. Matanya menyala seperti Barongsai yang sering dia tarikan jika ada perayaan Imlek di klenteng. Tangannya mengepal. Giginya gemeletuk menahan amarah. Jika A Ma tidak menangis merengek-rengek menahannya, mungkin aku sudah menjadi bulan-bulanan pukulan dan tamparan A Pa.
“Tahan, Pa. Sabar … cukup!” A Ma memegangi tangan A Pa.
“Kau bukan hanya mencoreng keluarga, tapi sudah membuat para leluhur kita menangis, A Ma-mu menangis!”
“Apakah A Pa lupa dengan Laksmana Ceng Ho?”
Tak tega melihat A Ma terus menangis, akhirnya aku memberanikan diri menyanggah. Tentu dengan tubuh masih menggigil ketakutan di sudut kursi.
“Bukankah A Pa pernah mengajakku ke klenteng Sam Po Kong di Semarang? Klenteng itu dibangun atas gagasan Laksmana Ceng Ho. Tidak tahukan A Pa bahwa laksmana dari Tiongkok itu adalah seorang muslim dengan nama Haji Mahmud Shams?!” jelasku. “Bukankah itu artinya sang laksmana juga leluhur kita? Kaisar Yongle dari Dinasti Ming saja sangat menghormati keyakinan Laksmana Ceng Ho!”
Tangisku pun ikut pecah.
“A Pa dan A Ma juga jangan menutup dengan Raden Patah, Sultan pertama Demak.”
“Cukup, Ping Hong!” bentak A Pa.
“Raden Patah yang juga muslim itu sejatinya adalah putra Tionghoa. Nama kecilnya Jin Bun. Anak dari Shiu Ban Ci. Apa salahnya kalau aku memilih keyakinan seperti Sultan!”
Kulihat A Pa mundur beberapa langkah sambil memegangi kepala dan dadanya. Tangannya gemetar menuding ke arahku, sebelum tubuhnya roboh. A Ma membawanya ke rumah sakit.
***
Hanya satu orang yang boleh menjenguk A Pa. Setelah melalui berbagai pemeriksaan sesuai protokol kesehatan selama pandemi, aku diizinkan masuk ke ruang A Pa dirawat. Memakai jubah khusus berwarna serba hijau, lengkap dengan masker dan kap penutup kepala, aku bersimpuh di samping tubuh penari Barongsai yang kini terbaring tak berdaya di ICU itu.
Aku tak kuasa membendung isak tangis. A Pa tak bergerak sedikit pun. Kuraba jarum infus yang menyisakan darah kering dan menancap di tangan kirinya. Kucium pula selang oksigen yang ada di dua lubang hidung A Pa.
“Maafkan Ping Hong, Pa. Aku tahu semua ini mencoreng A Pa dan keluarga,” bisikku di telinga A Pa.
“Jika menurut A Pa tindakan Ping Hong ini sudah tidak bisa dimaafkan, aku ihklas menerimanya. Meski harus terusir dari keluarga,” lanjutku. “Satu hal, meskipun Ping Hong nantinya menyeberang dari keyakinan A Pa dan keluarga, aku tetap mencintai A Pa.”
Isak tangisku semakin menjadi-jadi.
“Naga yang Agung tetaplah putra dari Penari Singa, Pa!”
Sebuah butiran bening tiba-tiba menetes di keningku. Ketika mendongakkan kepala, kulihat butiran itu berasal dari pelupuk mata A Pa, mengalir ke sudut bibir, lalu jatuh mengenai wajahku. Barangkali butiran air mata itu ingin mewakili tangannya yang tak lagi mampu digerakkan.
Mendadak terlintas dalam benakku sebuah keinginan untuk membuat keluarga kami tetap utuh. Hidup damai dalam besutan keberagaman yang dulu selalu diperjuangkan Gus Dur, Allahu Yarhamuhu. Bukankah Tuhan adalah milik semua etnis dan keyakinan?
Tjioe Ping Hong,
Penulis prosa dan puisi lintas etnis. Karya-karyanya telah mewarnai sastra tanah air melalui rubrik sastra di koran cetak dan media online.
Catatan kaki:
A Pa (bahasa Hokkian) = Ayah.
A Ma (bahasa Hokkian) = Ibu.
Koko (bahasa Hokkian) = Kakak lelaki.
Hio = Dupa China.
Barongsai = Tari Singa.
Liong = Tari Naga.
Nyo = Nak.
Sumber gambar: pixabay