
YUGANING WONG (1478 M) adalah sangkala Pararaton menandai runtuhnya Keraton Mojopahit. Pararaton adalah surat wasiat Trah dinasti Siwa dan Iswara (Hindu Jawa) dan disusun atas perintah Maharaja Ranawijaya Girindrawardhana, keponakan Sang Sinagara, Arya Lembusura alias Srigiripati Singhawikramawardhana. Sang Sinagara adalah paman dari Prabu Brawijaya Pamungkas. Pararaton memang menunjukkan secara halus tetapi sangat tajam sebab musabab dan benih2 kehancuran Majapahit yang intinya bahwa Putera-puteri Jawadwipa itu tidak melakukan Dharmanya sebagai YUGANING WONG, yaitu para panditho tidak lagi pinandhito sehingga para Satriyo juga menjadi tidak sinatriyo lagi. Sangkala itu adalah AMANAT, PESAN, WASIAT dari leluhur bagi kita semua, putra-putri Jawadwipa, bahwa hilangnya seluruh kesejahteraan bhumi jawa adalah akibat perilaku manusia2 nuswantara yang tidak menepati Dharma Hidupnya karena tidak mempunyai SRADDHA / SADA / IMAN kepada Pribadinya sendiri, kepada Hidupnya sendiri, kepada Buddhinya sendiri, kepada TUHAN YANG HIDUP yang sesuai dengan HUKUM KAJATEN atau Karsaning Gusti. Memang selama 500 tahun ini kita mewarisi ketidak sejahteraan jagad karena kita tidak mempunyai Sraddha Sempurna sehingga kita tidak mampu untuk mengerti mana bukan apa sesungguhnya DHARMA HIDUP PRIBADI yang tertulis nyata di KALBU kita. Memang arti kata SADA itu dari SRADDHA yang artinya IMAN, rasa percaya kepada Gusti yang tumbuh bukan karena pemikiran tetapi karena Wahyu / Kurnia Gusti sendiri. Itulah Pesan Sabdopalon………SADA SEMPURNA!
Upacara Sraddha Sempurna pada Jaman Mojopahit itu arti sesungguhnya untuk jaman ini adalah IMAN YANG BULAT. Upacara Sraddha Agung atau Sempurna hanya pernah dua kali dilakukan dalam cerita Sejarah Jawa Kuna, yaitu pada Jaman Majapahit yang diadakan bagi MAHARANI SUCI RAJAPATNI pada tahun 1362 dan bagi MAHARAJA SINGHAWIKRAMAWARDHANA pada tahun 1486. Upacara Sraddha diiringi dengan tari2an dan bunyi2an merupakan Upacara 12 tahun kematian dengan mempunyai tujuan mengantarkan roh2 yang diupacarakan agar dapat memasuki Swarga Tertinggi. Tetapi memang dijawa sekarang ini isltilah Sraddha sudah berubah menjadi sadranan atau nyadran yaitu nyekar dan menabur bunga di atas makam.
Bagi saya pribadi, SABDOPALON NAYAGENGGONG (ASMARASANTA, SASTRO CETHO, KALAM HIDUP, SABDA ALLAH, SEMAR BODRONOYO adalah PRADJNA PARAMITHA, BUDDHA JAWA…JIWA MANUSIA YANG SEMPURNA, yang bukan laki – bukan perempuan, bukan pula banci, sebab itulah HIDUP / HYANG MOHO SUCI dari seluruh anasir diri manusia, Sabdo Palon itulah SEJATINING URIPNYA BRAWIJAYA, GURU SARIRONYA BRAWIJAYA, BUDDHI dan HIDUPNYA BRAWIJAYA PAMUNGKAS yang hakikatnya BUDDHI dan URIPNYA MANUSIA JAWA. DIA tertidur atau SEMARE karena putra momongnya itu senang berzinah dan mangro tingal yaitu lebih percaya dan beriman kepada KEBUDDHAYAAN MATI, KEBUDDHAYAAN DUNIAWI dan KEBUDDHAYAAN PAMRIH (untung-rugi, dagang, pahala) akibat pengaruh buku2 dan kitab2 serta pengaruh dari luar diri pribadinya sendiri daripada Anggugu dan tut wuri kepada HIDUP dan BUDDHINYA SENDIRI. Kebudhayaan mati, dunia dan pamrih untung rugi itulah yang diterima oleh si penulis dalam bahasa sanepan sebagai Agama Islam, Putri Cempa, Bangsa Tionghwa dan Arab! Jadi kita yang muda2 itu tidak perlu salah terima sebab segala sesuatu yang tertulis dan tersurat itu hanyalah sekedar BAYANGAN daripada Keadaan yang sesungguhnya. HIDUP itu SAWETAH tidak mengenal bangsa dan agama, jadi tidak ada SESUATU YANG HIDUP dan MENGHIDUPI itu membenci bangsa ini atau agama itu, menyalahkan golongan ini dan golongan itu karena Dia SANG ASMARASANTA itu tidak bisa mengingkari sifatnya sendiri yaitu HIDUP. Dan HUKUM KEHIDUPAN adalah KASIH!
SIRNA ILANG KERTANING BHUMI saka SUNYO NORA YUGANING WONG….yah sirnanya kesejahteraan bhumi Nuswantara karena anak2 manusia yang kosong dari rasa percaya kepada HIDUP dan BUDDHINYA sendiri sehingga tidak mampu untuk menetapi Dharma hidup pribadi. Rahayu 3X
Pangeran Karyonagoro
Dewan Penasehat Forum Satu Bangsa
Totok Budiantoro
Koresponden MM.com