DIALOG ANTARA LOKAL DAN GLOBAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG BERNILAI BUDAYA

 

Febriarsita Eka Sasmita
Mahasiswa S3 Pendidikan Dasar Universitas Negeri Surabaya
Dosen Prodi PGMI Universitas Sunan Giri Surabaya.

 

Berdasarkan pendapat Ernest (1991), Matematika sendiri terdiri dari dua aliran. Aliran Matematika tradisional memiliki pendapat bahwa Matematika merupakan sebuah ilmu yang tidak berkaitan dengan ilmu yang lainnya. Sedangkan Matematika menurut pandangan modern terkait dengan ide “Social Constructivism”.

Konstruktivisme sosial memandang Matematika sebagai produk aktivitas manusia yang terorganisir selama perjalanan waktu. Semua bidang pengetahuan yang berbeda adalah ciptaan manusia, saling terkait dengan asal usul dan sejarah bersama mereka.

Akibatnya, Matematika juga terikat pada budaya, dan diwarnai oleh nilai para pembuat dan konteks budaya mereka. Matematika yang terkait dengan budaya atau sering dikenal dengan Etnomatematika digambarkan sebagai sebuah studi terperinci tentang prosedur maupun praktik Matematika dari sebuah anggota kelompok yang memungkinkan kita untuk lebih memahami logika internal dan ide Matematika mereka (D’Ambrosio, 1990).

Menurut Barton (1996), Etnomatematika mencakup ide-ide Matematika, pemikiran dan praktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Etnomatematika juga dapat dianggap sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana siswa untuk memahami, mengartikulasikan, mengolah, dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep, dan praktek-praktek yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari mereka.

Etnomatematika dinilai sebagai sebuah keterkaitan atau jembatan antara Matematika dan juga budaya yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang berkaitan dengan budaya siswa.

Selain budaya dari siswa, kita dapat mengadaptasi atau memodelkan sebuah penemuan atau praktik budaya tertentu (lokal) yang disesuaikan dengan Matematika global yang digunakan dalam pembelajaran (global).

Pendekatan ethnomodelling dapat menjembatani kesemuanya itu sehingga menghasilkan irisan antara pemikiran local dan juga global (Orey dan Rosa, 2021). Pemikiran global tidak hanya selalu berhubungan dengan masyrakat di luar negeri namun pembelajaran Matematika atau konsep Matematika yang telah diakui juga merupakan pemikiran global.

Sebagai contoh dapat diambil adalah metode pengukuran batang pohon yang seringkali dilakukan oleh masyarakat Brazil atau dikenal dengan kubikem dapat disesuaikan dan dimodelkan dengan menggunakan rumus Matematika yang ada atau biasa digunakan di sekolah dengan cara menentukan titik tengah atau diameter dari batang pohon dan kemudian mengidentifikasi silinder atau bentuk asli batang pohon menjadi sebuah prisma segi empat dan kemudian menghitung volume nya. (Orey dan Rosa, 2021).

Sebagai negara yang kaya akan suku dan budaya, Indonesia juga menyimpan beragam pengukuran, perhitungan, permainan, navigasi atau bahkan astronomi yang dikembangkan masyarakat lokal dan bisa untuk dimodelkan dan disesuaikan dengan Matematika global. Ada banyak ragam satuan panjang tradisional di berbagai kebudayaan. Di Indonesia dikenal satuan panjang tradisional menggunakan tangan. Satuan panjang tradisional tersebut bahkan masih digunakan untuk pengukuran informal.

Contoh yang sering didengar dan ditemui khususnya oleh masyrakat Jawa adalah depa dan kilan. Pada kamus besar Bahasa Indonesai (kbbi) depa dapat diartikan sebagai ukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan.

Kilan sendiri juga dapat diartikan sebagai ukuran panjang telapak tangan yang direntangkan dari ujung ibu jari sampai ujung jari kelingking. Dapat disimpulkan bahwa satu depa adalah sepanjang dua tangan, satu kilan adalah sepanjang satu tangan. Jika pada masyarakat jawa kita sering mendengar “sak depa”dan “sak kilan”. Pengukuran yang muncul dari ide kearifan lokal ini ternyata dapat dimodelkan ke dalam pembelajaran Matematika global yaitu pada materi satuan tidak baku.

Keterkaitan antara unsur lokal pada Matematika dan unsur global ini seringkali mengakibatkan hegemoni atau dinilai tidak mungkin untuk diintegrasikan (Rosa dan Orey, 2021), namun ethnomodel glokal dalam Matematika dapat menjembatani kedua hal ini sehingga dapat terjalin sebuah dialog antara pemikiran lokal dan juga global yang bersinergi.

Dialog ini memberikan pengembangan pengetahuan Matematika glokal yang berpotensi menghasilkan sebuah sinergi yang memberdayakan lokalisasi dari keberagaman Indonesia yang sangat luas dan menarik dan globalisasi. Proses ini memungkinkan untuk menemukan cara untuk mengartikulasikan Matematika dalam mode yang lebih sinergis.

Irisan antara global dan lokal yang terjadi dalam pembelajaran Matematika ini menjadikan sebuah inovasi dalam pembelajaran Matematika yang penuh dengan nilai. Pembelajaran Matematika menjadi sebuah sarana untuk menekankan konsep Matematika sebagai aktivitas memecahkan masalah, mencari masalah dan aktivitas mengorganisasi konsep-konsep materi pelajaran yang terkait dengan konteks yang ada pada kehidupan sehari-hari. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa Matematika merupakan alat bantu manusia dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupannya melalui nilai budaya dari nenek moyang kita.

Selain berdampak bagi siswa yang mendapatkan pembelajaran Matematika yang bernilai, sinergi antara pemikiran global dan lokal ini jika diterapkan menjadi upaya glokalisasi pada matematika. Guru yang menerapkan aktivitas ini pada pembelajarannya disebut sebagai guru yang mengadaptasi glokalisasi pada proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Contoh penerapan glokalisasi pada pembelajaran Matematika di SD dapat dikembangkan melalui penemuan ide dan konsep Matematika pada budaya di sekitar masyarakat atau Etnomatematika. Salah satu contoh yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan glokalisasi ini adalah konsep Matematika yang terkandung dalam gerakan kesenian tari gembira, kesenian tari Bungong Jeumpa dan kesenian tari Dindin Badindin (Maritaria dan Mariana, 2019).

Dari ketiga kesenian tari disebut bisa ditemukan konsep sudut, konsep pola bilangan, konsep ruas garis pada bangun datar, bilangan asli, nilai tempat, perbandingan dan perkalian (Maritaria dan Mariana, 2019). Konsep Matematika yang lain yang bisa diterapkan adalah konsep Matematika yang terkandung dalam motif beras Utah pada Batik Jetis Sidoarjo (Sholihah, Dewi, dan Mariana, 2021).

Terdapat banyak konsep Matematika yang terkandung dalam pembuatan batik Jetis motif beras Utah khas kota Udang Sidoarjo, antara lain: Bilangan cacah, operasi bilangan bulat, satuan baku, penyajian data dan lain-lain. Konsep Matematika yang ditemukan pada konteks tarian dan juga pada konteks batik sama sama bisa diterapkan dalam pembelajaran Matematika di SD. Pembelajaran dengan konsep Matematika di atas yang diwarnai dengan konteks lokal yang terkandung pada budaya mereka akan membuat pembelajaran Matematika di SD menjadi menarik, bermakna dan bernilai.

Perpaduan konteks budaya yang dapat diambil dari batik, pola lantai pada gerak tari maupun jenis kearifan lokal dan nilai budaya yang lain (lokal) dengan konsep Matematika yang digunakan oleh seluruh siswa di dunia (global) menjadikan sebuah perpaduan yang baik untuk sering dilaksanakan di pembelajaran di sekolah dasar. Problematika pembelajaran Matematika yang dinilai sulit (problem global) dapat diselesaikan dengan menggunakan sebuah opsi pembelajaran Matematik berbasis budaya (lokal). Pembelajaran matematika membutuhkan suatu pendekatan agar dalam pelaksanaannya memberikan keefektifan.

Sebagaimana dari salah satu tujuan pembelajaran Matematika itu sendiri bahwa pembelajaran dilakukan agar peserta didik dapat mampu menguasai konten atau materi yang diajarkan dan menerapkannya dalam memecahkan masalah. Konsep glokalisasi pada Matematika (etnomatematika) mampu memberikan sebuah pembelajaran Matematika bermakna yang akan semakin meningkat kemampuan pemahaman matematika siswa, yaitu dalam hal mengidentifikasi, menerjemah, menafsirkan simbol, memahami dan menerapkan ide matametis, membuat suatu eksplorasi (perkiraan) menyelesaikan masalah matematika serta menyadarkan siswa akan nilai-nilai budaya yang ada di sekitar mereka yang berkaitan dengan pembelajaran Matematika.

Melalui glokalisasi pembelajaran metamatika guru dapat mengkaji budaya-budaya yang berada dalam lingkungan siswa kemudian mengkaji nilai-nilai yang ada dalam budaya tersebut. Guru dapat menyampaikan dan menekankan betapa pentingnya nilai budaya-budaya tersebut.

Sehingga nantinya diharapakan siswa tidak hanya mengerti matematika tetapi lebih menghargai budaya-budaya mereka dan dapat mengambil nilai-nilai yang ada di dalamnya yang berimbas pada pembentukan karakter bangsa.