Haul Agung Ke 65 Mbah Yai Istad Djanawi

 

Mojokerto-menaramadinah.com-Hadlratussyaikh Mbah Yai Istad Djanawi dengan Mbah Nyai Fathimah Jayun Yaumi dikarunia dua belas anak, yang enam laki-laki dan enamnya lagi perempuan. Tiga diantara anak laki-laki beliau meninggal sejak usia kanak-kanak, sedang tiga anak pria yang lain tumbuh berkembang dewasa, berumahtangga, dan melanjutkan perjuangan sang ayah untuk meninggikan panji agama Allah. Tiga anak tersebut adalah KH Sulaiman Afandi (Wafat 30 Juni 1997 dalam usia 72 tahun), dan KH Muhajir yang berdomisili di Mojokarang Dlanggu Mojokerto (Wafat pada tahun 1983 dalam usia sekitar 51 tahun), sedangkan yang ketiga adalah KH Ahmad Syamsuddin yang saat ini berusia 78 tahun.

Pada masa pertumbuh-kembangan tiga putra tersebut Mbah Yai Istad Djanawi membimbing mereka dengan cara dan pendekatan yang berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan karakter masing-masing anak, seraya penuh harap kelak ketiga-tiganya bisa menjadi penerus dakwah beliau dengan sekali-kali _Nyongklok,_ mengutarakan pandangan batin _(Bashirah)_ beliau tentang masa depan mereka.

Kepada KH Sulaiman Afandi (anak nomor dua) sebagai wujud kasih sayang seorang ayah kepada anaknya Mbah Yai Istad menerapkan pendekatan yang sangat tegas sehingga tidak jarang beliau memarahi sang putra, namun dalam sebuah kesempatan beliau berkata; _*”Anakku Pandi jange dungane mandhi”*_ (Anakku Sulaiman Afandi kelak do’anya manjur mustajab). Akhirnya sepeninggal sang ayah, Kyai Fandi tumbuh dewasa menjadi pribadi yang sangat kuat dalam mengarungi kehidupan, meskipun sebagai anak seorang kyai dia memulai membangun rumah tangganya yang baru dalam keadaan kurang baik, sering mendapatkan cibiran dari orang sekitarnya, setiap mencoba membuktikan diri untuk menaklukkan tantangan kehidupan dengan berusaha dan bekerja keras dia selalu mengalami kerugian dan kegagalan, cobaan serta ujian datang silih berganti, belum lagi dia harus mempertahankan Madrasah dan Pesulukan Tarekat peninggalan sang ayah, dia tetap kokoh bak karang di tengah samudera berkat didikan tegas dan keras Mbah Yai Istad, walaupun harus dengan tangisan darah untuk menelan semua penderitaan kehidupan sebagai penerus perjuangan sang ayah.

Selang beberapa tahun Kyai Fandi akhirnya menjumpai kejayaan dan kekayaan, ia pada masanya mampu meneruskan perjuangan beliau dengan kemasyhurannya sendiri sebagai seorang kyai _Tarekat_ yang oleh masyarakat luas dikenal do’anya sangat mustajab, bahkan setiap hari rumahnya tidak pernah sepi dari tamu yang memohon bantuan do’a kepada beliau. Antara lain bukti _ke-Mandhian_ beliau adalah KH Ahyat Halimi (pimpinan para kiai NU Mojokerto) waktu itu seringkali mempercayakan kepada Kyai Fandi setiap ada even-even besar keagamaan di Mojokerto agar dido’akan aman, berjalan lancar, dan berakhir dengan kesuksesan, bahkan ketika mendirikan RSI Sakinah maka Kyai Fandi lah yang bertugas membereskan lahan agar proses pembangunannya berjalan lancar dan aman dari kendala, rintangan, dan segala bentuk gangguan termasuk dari bangsa jin.

Sedangkan terhadap KH Muhajir (anak nomor lima), Mbah Yai Istad menggunakan cara mempercayainya dan mengapresiasinya, seringkali dia diutus mencucikan pakaian beliau, bahkan kadang pakaian beliau yang telah dicuci oleh orang lain dia disuruh mencucinya kembali, dan dalam sebuah kesempatan beliau berkata; _*”Anakku Muhajir lho atine bening”*_ (Anakku Muhajir hatinya jernih). Akhirnya, Kyai Jir mampu memadukan prinsip-prinsip kejernihan hati dan keikhlasan dengan hafalan Al-Quran yang mulai membudaya di tengah-tengah masyarakat saat itu, kejernihan hatinya mampu membuatnya sangat mudah untuk menghafalkan Al-Quran serta mengamalkan kandungannya, kemudian ia tularkan kepada para santri penghafal Al-Quran di PP Nurul Hidayah, pesantren yang ia dirikan di Desa Mojokarang Dlanggu Mojokerto. Bahkan Kyai Jir juga menjadi salah satu penggagas berdirinya Yayasan Hamalatil Quran, YHQ di Mojokerto (sekarang Jam’iyah Hamalatil Quran, JHQ) bersama para kyai pondok pesantren Al-Quran yang lain, dan sejak saat itu di Mojokerto ini ketika ada musibah kematian atau selamatan kirim do’a untuk ahli kubur maka muncul sebuah tradisi baru, yaitu ahli warisnya mengundang para penghafal Al-Quran untuk melaksanakan Khotmil Quran di rumah duka.

Adapun KH Ahmad Syamsuddin dengan nama kecil Syamsudian dan dipanggil Sudian (anak nomor 10 dari 12 saudara), Mbah Yai Istad membiarkan semaunya, memberinya kebebasan, dan tidak ditegasi sama sekali, tetapi juga tidak diapresiasi, jika ibu nyai memarahinya maka Mbah Yai Istad melindunginya, dia tumbuh sebagai anak kecil yang nakal, jika mempunyai sebuah keinginan maka tidak ada yang mampu melerainya dan memaksa harus dituruti, hobinya mengadu hewan sampai ada yang kalah, dan gemar menonton pagelaran wayang kulit, sayangnya ketika sang ayah memenuhi panggilan Ilahi (wafat) ia baru memasuki usia akil baligh. Suatu ketika Mbah Yai Istad memimpin kegiatan di masjid dan para murid sedang melihatnya sedang bermain, kemudian beliau menyampaikan terawangan _Bashiroh_ (pandangan batin) kepada para murid itu _*”Anakku Sudian iki jange dadi obore agama”*_ (Anakku Syamsuddin ini kelak menjadi lampu penerang agama) sesuai dengan namanya.

Hari dan bulan berganti tahun demi tahun pun berganti, sepulang Kyai Syam pada tahun 1970 dari pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu barulah mulai berdatangan para santri, dan sejak saat itu resmi di Tawar ini ada sebuah pondok pesantren untuk pertama kalinya, yang sejak masa hidup sang ayah masih sekedar menjadi sebuah cita-cita yang belum bisa terwujud sebagai tindak lanjut dari _Pesulukan Tarekat_ dan Madrasah yang lebih dulu didirikan. Siang dan malam Kyai Syam mengasuh para santri, beliau juga menjaga kedekatan hubungan dengan masyarakat Tawar dan sekitarnya melalui pengajian rutin dengan keterangan yang sangat lantang, jelas, dan tegas, juga bertakziah ketika ada masyarakat sekitar yang meninggal, ikut _Melekan_ ketika ada orang selamatan, mendatangi undangan, dll. Akhirnya, meskipun agak lambat namun pasti caranya yang tegas dalam mengisi pengajian, ketelatenan dan keluwesannya dalam menjaga kedekatan masyarakat sekitar seperti ini membuahkan hasil yang nyata, kegelapan dan kebodohan masyarakat Tawar dan sekitarnya berubah menjadi terang tersinari cahaya keimanan dan keislaman, yang asalnya mereka tidak mau jum’atan, bodoh tentang syari’at, dan masih mengagungkan perhitungan klenik perdukunan, dan tata-cara budaya yang berbau kemusyrikan, kemudian berkat penjelasan dan ketegasannya dalam pengajian maka masjid menjadi penuh ketika jumatan, masyarakat sekitar semangat mengaji, dan keimanan serta syari’at Islam menjadi pedoman bagi kehidupan mereka, bahkan saat ini mereka rela berkorban untuk menunjang pesatnya perkembangan pondok pesantren dengan mewakafkan sebagian tanahnya, menyumbangkan penghasilannya, dan mendharma-baktikan tenaganya ketika ada pembangunan, kegiatan keagamaan, peringatan haul, dll. demi mendapat sebuah pengakuan sebagai murid KH Ahmad Syamsuddin.

Itulah antara lain ketajaman _Bashiroh_ (pandangan batin) Mbah Yai Istad Djanawi yang beliau gunakan untuk menerawang karakter dan masa depan anak anaknya, seraya penuh harap bisa menjadi sebuah untaian do’a sang ayah untuk anaknya. Diketahui pada medio tahun 1970 – 1983 ketiga anak beliau tersebut bersama-sama memantapkan langkah untuk mengembangkan dakwah sebagai penerus sang ayah dengan karakteristik serta bidang keahlian yang berbeda-beda. Tentunya sebuah kebersamaan tidak selalu sesuai harapan bisa berjalan mulus dalam kekompakan, kadangkala muncul perbedaan pendapat namun tidak menimbulkan perselisihan apalagi yang berujung sebuah perpecahan. Sebagai penerus prinsip dakwah Mbah Yai Istad Djanawi apapun yang terjadi mereka bertiga tetap rukun, saling menjaga, dan saling memberikan dukungan, masing-masing mempunyai pengakuan kekaguman untuk saudaranya yang bersumber dari kalimat terawangan sang ayah.

Kepada KH Sulaiman Afandi, dua adiknya berkata; _”Ngguk Mojokerto iki gak ono wong mandhi koyo sampean”._ artinya dua adiknya mengakui bahwa di Mojokerto saat itu tidak ada orang yang do’anya mustajab yang kemasyhuran serta kehebatannya menandingi Kyai Fandi, bahkan pada masa jaya dan kaya pun Kyai Fandi tetap bermasyarakat sebagaimana orang desa dan bergaya hidup sederhana.
Untuk KH Muhajir, sang kakak dan adiknya mempunyai statemen yang sama; _”Sak Mojokerto gak ono wong moco Quran sing rasane adem lan enak koyo wacaane Muhajir / Gus Jir”,_ artinya kakak dan adiknya mengakui bahwa di Mojokerto saat itu tidak ada penghafal Quran yang bacaannya melebihi bacaan Kyai Jir dalam segi kefasihan dan kenikmatan rasa hati ketika mendengarnya, karena kejernihan hati dan keikhlasannya.
Terhadap KH Syamsuddin, dua kakaknya tersebut membuat pengakuan; _”Nang Mojokerto gak ono wong ngaji kitab koyo awakmu”,_ maksudnya, kedua kakaknya mengakui bahwa di Mojokerto tidak ada orang yang pemahamannya terhadap kitab kitab ulama salaf seketat dan se-adil Kyai Syam. Bahkan KH Sulaiman Afandi menyampaikan langsung sebuah pengakuan yang heroik kepada Kyai Syam begini, _”Ancen omongane bapak (Mbah Yai Istad) dideleh nang awakmu”,_ artinya dawuh-dawuh isyarat, firasat, dan kalimat sang ayah yang masih sulit dipahami oleh siapapun maka Kyai Syam lah yang mampu menguraikan dan menjabarkannya, sehingga uraian dan jabaran keteranganya terasa mirip dengan yang dimaksudkan oleh sang ayah, bahkan seolah-olah secara subtantif memiliki bobot yang sama mengena dalam hati.

By : Joko _Mbote_ In Memoriam