JAKARTA -Sudah dua bulan berlalu, keterpurukan harga TBS semakin tak berujung. Problem ini bermula akibat kelangkaan minyak goreng di Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia.
Diketahui sebelum pemerintah melarang ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng pada bulan April lalu harga TBS petani berada pada harga Rp 3.000 – Rp 4.500/kg.
Namun sekarang petani harus rela TBS nya di hargai Rp800-900/kg jika dijual ke langsung ke PKS. Harga tersebut akan semakin anjlok jika petani menjualnya ke pedagang pengumpul, bisa hanya Rp.300-500/kg TBS.
Kondisi ini membuat Ketua Umum DPP Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia, Amir Aripin Harap, Sabtu (16/07/2022) meradang akibat harga TBS orang tuanya yang semakin anjlok. Organisasi mahasiswa anak-anak petani sawit Indonesia menilai Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan, tidak serius dan tidak fokus dalam mencari solusi, sementara petani sudah menjerit dan berteriak.
“Bahkan anak-anak petani sawit terancam putus sekolah dan para mahasiswa sudah banyak yang mengambil cuti kuliah” karena anjloknya perekonomian orang tua kami,
Problem minyak goreng sawit (MGS) sudah jauh lebih baik saat ini, namun justru TBS orang tua kami yang jadi tumbal”
ujar Amir yang saat ini sedang melanjutkan studi Magister Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Islam Riau.
Lanjut Amir Semula kami mengira pasca larangan ekspor dicabut maka semua akan kembali normal tapi kok malah makin gak karuan saat ini Saya dan kawan-kawan anak petani sawit saat ini “ngeri-ngeri ngilu”, bagaimana tidak, kami gak tau apakah kuliah kami, sekolah adik-adik kami akan bisa berlanjut?. Kawan-kawan sesama anak petani sawit sudah ngutang kesana kemari menunggu kiriman orang tua sampai, orang tua kami dikampung sudah kewalahan, mengeluh dan selalu bertanya kepada kami anak-anaknya tentang mengapa sampai terjadi hal seperti ini.
Saya melihat Menteri Pertanian (Mentan) yang menaungi tanaman kelapa sawit, sepertinya menutup mata dan telinga atas kondisi yang sudah dua bulan lebih berlangsung. Lihat saja Mentan “apakah pernah muncul dimedia menjelaskan kondisi dan resolusi apa yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian?”. Meskipun kami sebagai mahasiswa yang hanya kos-kos an “tapi TV kami belum pernah menampilkan Mentan memberi arahan kepada Petani sawit”. Setiap ada berita di TV, kami berharap Mentan tampil untuk memberikan pencerahan dan penyemangat tentang kondisi saat ini.
“Kami tidak cemburu akan full perhatiannya Mentan ke cabe rawit, penyakit PMK Sapi, atau porang”. Tapi yang benar sajalah, masak sudah dua bulan lebih petani sawit berteriak-teriak, Mentan sepertinya cuek, ujar Amir dengan
kesal.
Sawit seperti “anak yatim-piatu”, gak ada Bapak dan Mak nya, mengakibatkan petani sawit terlontang-lanting tanpa arah.
“Kami sebagai anak petani sangat prihatin mendengar cerita dari orang tua kami dari Kampung”.
Kadang Saya sebagai mahasiswa berpikir bahwa tanaman sawit ini dipindahkan saja dibawah Kementerian Koperasi dan UKM atau mungkin Kementerian Perindustrian, mungkin akan lebih banyak perhatian yang diterima petani sawit.
Kami gak bisa diam dan pasrah, kami sudah menggalang komunikasi ke kampus-kampus dimana anak-anak petani sedang belajar, hitungan kami yang sudah terdaftar ada 142 kampus. “Kami akan bergerak, kami akan ke Jakarta menuntut hak orang tua kami petani sawit”, ujar Amir dengan tegas.
Masalah saat ini sangat sederhana “yang masalah berat jika harga CPO Dunia sedang anjlok”. Harga CPO referensi Kementerian Perdagangan masih diangka USD1.615/ton CPO (Rp23.750), yang artinya harga TBS orang tua kami berkisar Rp4.750/kg TBS. Katakan setelah dikurangkan dengan beban pajak dan beban potongan (DMO, DPO, FO, BK dan PE) , maka harga TBS orang tua kami harusnya masih diangka Rp2.730/kg TBS. Sementara hasil tender CPO di KPBN hanya Rp7.900/Kg CPO (15/7), akibatnya harga TBS orang tua kami saat ini hanya dihargai Rp.800-1000/kg. Inilah salah satu masalah fatalnya “tender CPO di KPBN harusnya berkiblat ke harga Referensi Kementerian Perdagangan, bukan ke tender KPBN”,
sebagaimana diatur dalam Permendag No 55 Tahun 2015. Kami akan laporkan ini ke APH (aparat penegak hukum) di Jakarta. Jauhnya selisih harga referensi Kemendag dengan harga setelah dipotong beban-beban “menggambarkan bahwa setiap 1 kg TBS orang tua kami, harus menyumbang paling tidak Rp2020/kg ke Negara dan BPDPKS, luar biasa. Lantas, selisih harga Referensi Kemendag setelah dipotong beban-beban siapa yang menikmati? (Rp2.730 – Rp1.000 = Rp1.730/kg), tanya Amir.
“Jika dihitung beban-beban tadi (USD688, atau setara Rp.10jt/ton CPO), maka dapat dikatakan bahwa 42% dari harga referensi Kemendag (USD1.615) adalah beban pajak dan beban pungutan. Apapun namanya, mau pajak, mau pungutan, faktanya di sektor hulu semuanya yang menanggung, sehingga Harga TBS orang tua kami anjlok” ujar Amir.
Coba bandingkan dengan Malaysia dimana Pajak CPO hanya 7%, Thailand haya 3%, atau Kolombia 13%.
Sebagai negara produsen CPO terbesar, harusnya semakin banyak produksi CPO kita, maka pajaknyapun akan semakin kecil, itu sudah berlaku umum.
Kami mahasiswa tidak mau di “adu” dengan Korporasi yang seakan-akan selama ini digambarkan bahwa anjloknya harga TBS karena korporasi sedang ambil kesempatan. “Semua babak belur saat ini gak petani, gak korporasi, maupun negara”, semua sama-sama rugi. Lantas siapa yang diuntungkan saat ini?, ujar Amir bertanya.
Untuk mencari jawabannya kami akan ke Jakarta dalam waktu dekat Pokoknya kami anak-anak petani gak mau putus sekolah, putus kuliah, kami punya cita-cita, kami harus segera turun ke Jakarta.(gus)
Ket foto
-Ketum Forum mahasiswa sawit orasi saat demo petani sawit di Jakarta
-Petani sawit sedang mengkais rejeki untuk biaya sekolah putra putrinya
