Paguyuban Trah Eyang Krama Semits Temu Kangen yang Ke 28 Tahun

 

*Laporan: Wawan Susetya*

Setelah vakum 2 tahun (2020 dan 2021) karena pandemi Covid-19, akhirnya Paguyuban Krama Semita dapat menyelenggarakan Temu Kangen Trah Eyang Krama Semita yang ke-28 tahun di rumah Ibu Murti Sukesi, Tanggung Glotan, Campurdarat, Tulungagung, Minggu (8/5). Sekitar 200-an orang anak cucu Eyang Krama Semita saling bermaaf-maafan dan berhalal bihalal pada momentum lebaran Idul Fitri tahun 1443 H.

Penyerahan wayang Bima Sena dari Pangarsa Ki Wawan Susetya kepada Ki dhalang Supandi.

 

Dalam kesempatan itu, Sdri Purwaningsih dan Agus Sunaryo, MM selaku pengurus paguyuban Krama Semita membagikan naskah foto kopi tentang sejarah para leluhur yakni Eyang Krama Semita dan Eyang Mertodrono alias Sodrono. Dijelaskan bahwa Eyang Mertodrono alias Sodrono beserta saudara-saudaranya (semuanya 9 orang) merupakan pengikut Pangeran Diponegoro dari daerah Jawa Tengah (Klaten) yang berhijrah sampai ke wilayah Tulungagung dan sekitarnya (Jawa Timur).

Ki Wawan Susetya, pangarsa Paguyuban Krama Semita.

 

Kisah sejarah Eyang Mertodrono beserta saudara-saudaranya itu ditulis oleh alm. Ki Sudjinal dalam bentuk Tembang Macapat. Alm. Ki Sudjinal termasuk pendiri paguyuban Krama Semita bersama alm. Beri Sudiro dan Bapak Sudjono.

Seperti biasanya acara temu kangen trah Eyang Krama Semita tersebut diawali dengan panembrama (tembang dengan diiringi gamelan) untuk menyambut kedatangan para keluarga, para tamu maupun undangan. Panembrama yang berisi teks tembang penuh makna karya alm. Ki Sudjinal tersebut diperagakan oleh anak cucu Eyang Krama Semita dengan diiringi gamelan (Sasana Budaya Ngesthi Laras) pimpinan Ki Handaka.

Pagelaran pakeliran padat dengan lakon Begawan Bima Suci

Wawan Susetya selaku pangarsa atau ketua paguyuban mengingatkan kembali mengenai semboyan paguyuban, yakni memetri budaya Jawa, Memayu hayuning bawana dan Mikul dhuwur mendhem jero.
Ia bersyukur bahwa kegiatan temu kangen atau reuni Eyang Krama Semita tersebut telah berjalan 28 tahun sehingga menjadi tauladan bagi keluarga lain untuk mengadakan reuni keluarga seperti itu. Wajar kiranya sekarang banyak dijumpai keluarga sekitar yang mengadakan temu kangen keluarga.

Setelah itu acara taushiyah yang disampaikan KH. Dr. M. Teguh Ridwan (Wakil Dekan Fuad UIN Satu Tulungagung). Dalam kesempatan itu, Dr. Teguh mengingatkan pentingnya kerukunan dan kebersamaan dalam keluarga besar sehingga terjalin guyub rukun selawase.
KH. Teguh yang juga pimpinan ma’had (pondok pesantren kampus UIN se-Indonesia) juga menjelaskan mengenai falsafah lakon Bima Suci atau Dewa Ruci dalam perspektif Manunggaling kawula Gusti (ittihad dan hulul).

Dalam lakon Dewa Ruci atau Bima Suci tersebut, sebelumnya Bima bertemu dengan dua orang raksasa jelmaan Bathara Endra (simbol air) dan Bathara Bayu (simbol angin). Air dan angin tersebut merupakan entitas alam yang sangat penting dalam kehidupan ini. Setelah itu Bima Sena berjumpa dengan guru sejatinya (Dewa Ruci) di dasar samudera yang kemudian diberikan wejangan ilmu kasampurnan (ilmu sejati) sehingga Bima merasa ayem-tentrem, damai dan bahagia.

Karena itu ia merasa nyaman berada di dalam gua garba Dewa Ruci. Tetapi Sang guru sejati Bima (Ruci Bathara) justru memerintahkan kepada Bima Sena supaya kembali ke negaranya Ngamarta untuk menjalankan tugas sebagai ksatria; menjaga kedaulatan negara, mengamankan rakyatnya dari serangan negara lain dan sebagainya. Dr. Teguh mengontekstualkan momentum lebaran saat itu idealnya seperti yang terjadi pada Bima Sena. Kaum muslimin yang baru saja menunaikan ibadah puasa sebulan penuh (hablum minallah, secara vertikal) lalu bermaaf-maafan dan bersilaturahmi dengan sesama manusia (hablum minannas, secara horisontal).

Dr. Teguh yang alumni S-3 UIN SUKA Yogyakarta itu kebetulan disertasinya mengangkat tentang nilai-nilai moral dan spiritual lakon wayang Bima Suci.
Puncak acara temu kangen Trah Eyang Krama Semita yakni pementasan pakeliran padat bersama dhalang Ki Supandi dengan lakon Begawan Bima Suci. (WN)