Madrasah; Elan Vital Harmoni Paham Negara dan Agama

 

Oleh: I.Musthofa Zuhri
( Kamad MTsN 8 Jember).

Kedatangan Habib Rizieq Sihab (HRS) di Indonesia kemarin, tentu telah membuat paham agama kembali diperdebatkan di ruang publik. Walaupun perdebatan yang terjadi juga berkenaan dengan pelanggaran PSBB, namun sebenarnya yang mencuat kepermukaan tetap ada kaitanya dengan wacana agama.

Hal ini tidak terlepas dari peran HRS sendiri sebagai Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), yang sejak awal mengkritik pemerintah atas dasar agama. Latar demikian yang membuat publik selalu menengahkan pertikaian paham agama dengan negara pada apapun dan bagaimanapun berita berkembang mengenai HRS.

Tidak heran, jika isu pelanggaran PSBB, rekonsiliasi, pencekalan di Arab Saudi dan lain sebagainya, selalu dihubungkan dengan konflik paham agama dan pemerintah negara.

Persepsi publik yang demikian tidak akan pernah berakhir. Wacana agama memiliki kebenaran yang transenden irrasional, sedangkan negara dibangun atas dasar rasional.

Pihak yang membela HRS tentu akan selalu membangun nalar agama sebagai kontra rasional kebijakan pemerintah. Persoalan ini akan berakhir pada sesuatu yang konfliktif, baik dalam hal politik bernegara maupun kehidupan beragama. Dalam hal politik, wacana agama terutama Islam, akan terus menjadi lencana perang hegemoni kekuasaan.

Dalam kehidupan beragama, masalah yang tak dapat dihindari, adanya konflik paham keagamaan fundamental. Pada intinya, akhir yang terjadi adalah perdebatan harmoni paham agama dan negara.

Masalah counter argument

Memahami masalah demikian, sudah semestinya kita mencari jalan penyelesaian dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Di titik ini, penulis menawarkan beberapa hal yang secara mendasar sangat penting untuk dijadikan jalan perdamaian dan penyelesaian. Masalah terbesar yang sebenarnya terjadi adalah tidak bertemunya beberapa paham agama dan nalar kebijakan pemerintah sendiri. Pada sudut pendang ini, penulis terlebih dahulu ingin memperjelas bahwa perang wacana agama bagaimana pun bentuknya, akan berakhir pada kompleksitas konflik publik.

Sebagaimana yang Rendra ungkapkan, wacana agama sebagai lencana politik akan menyebabkan erosi moral dan kemanusian. Basaam Tibi memperinci persolaan ini. Ia menyebut wacana agama yang selalu disengketakan akan menyebabkan fanatisme, sehingga ujungnya lahir jihadsm intoleransi karena merasa paling benar.

Jika demikian, maka wacana agama yang dihembuskan oleh pihak yang bersengketa dalam politik sebenarnya akan bermuara pada sikap ektrismis masing-masing pihak. Dalam hal ini, baik pemerintah dan kubu HRS, akan terus membentuk benih-benih tindakan ektrimis.

Salah satu jalan yang sebenarnya dapat ditempuh adalah menghindari kontestasi wacana yang berkembang dengan membangun wacana lain.

Jonathan Stevenson telah menjelaskan bahwa wacana agama dalam politik bernegara tidak perlu ditandingi dengan wacana agama juga. Menururnya, cukup membangun counter argument yang bermuara pada kuatnya perdamaian dan kemanusian.

Pembangunan wacana ini tentu tidak dapat dibangun secara seporadis dalam kebijakan politik. Sebab wacana kemanusian sebagai counter argument wacana agama dalam politik akan melahirkan fanatisme juga.

Sehingga, cara yang paling tepat adalah membuat counter argument dengan menghindari kontestasi wacana agama di arena politik. Artinya, proses penguatan wacana kemanusian dan perdamaian dalam membangun keharmonisan bernegara dan beragama tidak baik dikembangkan di dunia politik.

Madrasah: Elan Vital Penyelesaian

Jalan lain yang menurut hemat penulis begitu penting adalah penguatan lembaga pendidikan yang secara sempurna telah menyatukan paham agama dan negara untuk perdamaian dan kemanusian. Tentu lembaga yang penulis maksud adalah Madrasah. Eksistensi madrasah dalam menjawab kontestasi wacana berkembang tentu sepintas tidak ada hubunganya.

Namun lebih mendalam lagi memahami-secara historis-madrasah merupakan lembaga yang sejak awal berdiri untuk secara dinamis menjadi tempat harmoni paham agama dan negara. Walaupun dalam penamaanya, istilah “madrasah” berasal dari Arab, namun secara praksis keberadaanya selalu menjadi tempat sumber wacana dan pertahanan kesadaran masyarakat Indonesia.

Kita bisa menelusuri peran madrasah sejak kolonial hingga hari ini. Berawal dari adanya ordonansi tahun 1905 dan formalisasi pada tahun 1935, membuat madrasah menjadi tempat pertemuan paham agama dan negara dipersatukan.

Terlepas dari adanya perdebatan kala itu, proses pemaduan paham agama dan kesadaran bernegara terbukti terus dikuatkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan Surat Keputusan Tiga Menteri (SKB) Tanggal 24 maret tahun 1975. Asas pemaduan paham inilah yang berkembang hingga saat ini. Madrasah memiliki kurikulum yang terpadu.

Peyusunanya selalu dilandasakan pada kepentingan membangun kesadaran bernegera dan sekaligus agama dengan bermuara pada penguatan ajaran Islam yang rahamtul lil ‘alamin. Tidak heran, jika menteri agama priode lalu, Lukman Hakim, mendengungkan penguatan madrosah sebagai pusat pendidikan moderasi dan megitasi radikalisme.

Realitas keterpaduan pendidikan madrasah inilah, yang semestianya terus dikembangkan dan didengungkan. Tentunya targetnya adalah mencetak generasi yang telah “selesai” memperdebatkan hubungan agama dan negara. Generasi yang dididik untuk memiliki kesadaran dan pengatahuan multi disipliner. Sehingga, mereka dapat bertindak rasional dalam bernegara dan juga mampu dimensi transenden agama sebagai pondasi kemanusian dan perdamaian sosialnya. Hal demikian ini akan malahirkan nilai-nilai kuat yang dapat diandakan untuk menangani konflik agama.

Nilai ini yang oleh Alwi Shihab disebutkan sebagai keseimbangan dalam beragama, penerimaan, moderasi, toleransi dan keadilan dalam pola hubungan sosial dengan orang lain.

Berdasar pada penjelasan tentang urgensi penguatan penidikan madrasah inilah, sudah semestinya seluruh pihak menghindari kontenstasi pertikaian wacana yang tak berkesudahan itu. Lalu fokus pada upaya membangun pendidikan yang terpadu.

Sebagaimana madrasah, yang sejak awal telah disusun dan dikembangkan dengan kesadaran penguatan paham agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga harmoni dapat tercipta, agar kedamaian dan kemanusian kita semakin menguat. Semoga….!!