TRADISI KUPATAN (Angleluri Budhayane Leluhur)

 

Kudus -menaramadinah.com
Kupatan atau sering disebut lebaran kecil atau juga Idul Fitri Ketupat adalah sebuah tradisi yang dijalankan turun temurun khususnya di pantura jawa tengah bagian timur hingga pantura jawa timur bagian barat tepatnya Kabupaten Tuban.
Menurut sejarah lisan masyarakat Tradisi ini sudah ada sejak Penyebaran Agama Islam abad pertengahan yang dilakukan oleh para Walisongo.
Di Kudus hal ini konon dilakukan oleh Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Ketupat dan lepet sejatinya adalah sebuah simbolis.
​Filosofi dan Makna Ketupat yang Menjadi Makanan Khas Lebaran
Ketupat adalah makanan khas yang disajikan bertepatan Hari Raya Idul Fitri.
ketupat melambangkan permintaan maaf dan berkah.
Bahan utama ketupat yakni nasi dan daun kelapa muda memiliki makna khusus. Nasi dianggap sebagai lambang nafsu, sedangkan daun berarti “jatining nur” (cahaya sejati) dalam Bahasa Jawa yang artinya hati nurani.
Sehingga, ketupat digambarkan sebagai simbol nafsu dan hati nurani. Artinya, manusia harus bisa menahan nafsu dunia dengan hati nuraninya.
Dalam bahasa Sunda, ketupat disebut juga dengan “kupat,” yang artinya manusia tidak diperbolehkan untuk “ngupat,” yaitu membicarakan hal-hal buruk kepada orang lain.
Selain itu, makna ketupat atau kupat juga diartikan sebagai “Jarwa dhosok”, yang juga berarti “ngaku lepat”. Dalam hal ini, di dalamnya terdapat pesan bahwa seseorang harus meminta maaf ketika mereka melakukan sesuatu yang salah.

Ketupat juga digunakan sebagai simbol pengakuan kepada Tuhan dan manusia.
Tingkah laku ini sudah menjadi kebiasaan atau tradisi pada saat hari pertama Syawal atau Idul Fitri. Nah, biasanya pada hari terakhir bulan puasa sudah mulai ditandai dengan makan ketupat beserta beberapa lauk pauk.
Selain ngaku lepat, makna ketupat diartikan juga sebagai laku papat. Laku papat terdiri dari empat tindakan, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Kata lepet berasal dari kata ‘silep’ yang berarti ‘kubur atau simpan’ dan ‘rapet’ yang berarti ‘rapat’. Peribahasa yang terkenal tentang lepet adalah ‘mangga dipun silep ingkang rapet’ yang berarti ‘mari kita kubur yang rapat’.
Selain itu, lepet juga mempunyai simbol kesucian dan kebersihan. Untuk itu banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai gantungan di depan rumah (atap, pintu, dan lainnya) untuk mengusir hal-hal negatif.
Bentuk lepet sangat unik karena menyerupai mayat. Lepet juga diberi tali tiga melingkar seperti pembungkus jenazah. Inilah yang mempertegas bentuknya yang menyerupai mayat. Secara filosofis, ditali tiga seperti mayat ini berarti kesalahan seyogyanya tidak menjadi dendam sampai mati.
Seperti halnya yang di lakukan Jamaah Musholla Nu Al Ikhlas Desa Karangmalang Kidul.
Acara Kenduri Kupatan di lakukan setelah Jamaah Sholat Subuh , dilakukan dengan doa bersama kemudian bermusyafaah (salam salaman) dan di tutup dengan doa Bersama.setelah itu sarapan dengan kupat dan lepet bersama.
” Dilakukan atas dasar ingin kembali ke fitrah yang jauh jadi dekat dan yang benci jadi cinta, selalu amemayu hayuning bawana ambrasta nir hing sambikala “papar edy kurniawan pengurus Musholla Al Ikhlas saat tim redaksi menemuinya.

suryopramono-mm.com