GEMA MKGR Jember Sejahterakan Petani Kopi, Putus Peran Tengkulak dengan Dirikan Koperasi.

Jember, Menaramadinah.com-Sudah jatuh tertimpa tangga pula, pepatah itu dirasa cocok untuk menggambarkan nasib para petani Kopi, khususnya di Wilayah Kecamatan Silo, Jember.

Bagaimana tidak? Alih alih bisa memperbaiki dan meningkatkan perekonomian keluarga, kebanyakan mereka justru hidupnya berada dalam jeratan dan cengkraman para tengkulak “rentenir” sebagai pemilik modal. Tidak mudah untuk mengurai benang khusut akar masalah yang menjadikan mereka selalu dalam posisi subordinat dan tidak berdaya, tidak memiliki daya tawar, apalagi keleluasaan untuk menjual hasil komoditas ketika panen kopi tiba.

Mereka terbelenggu dalam siklus mata rantai yang membuat ketidakberdayaan itu terjadi. Hal itu terungkap dalam giat NGOBRASS (Ngobrol Bareng Sambil Santai) Generasi Muda (Gema) Ormas MKGR Jember dengan Komunitas Hamka Puncak Jaya, Minggu, (20/03/2022) di Desa Harjomulyo, Silo.

NGOBRASS yang dipandu Muhamad Dayat berlangsung dalam suasana penuh kehangatan. Ditemani camilan ringan, dari obrolan santai bisa menjadi inspirasi.

“Tidak sekedar berkaitan dengan merubah pola mindset petani dengan transformasi pemikiran, tetapi juga secara bertahap, berkelanjutan diperlukan pendampingan, pelatihan ataupun obrolan seperti sekarang ini.” Tutur Dayat.

Suriyanto selaku Koordinator Hamka menyatakan, sebagai konskuensi dari tingginya biaya produksi, para petani mengambil langkah instan dengan meminjam uang kepada para Tengkulak.

Bahkan untuk menopang, bertahan hidup sehari-hari, mereka tak segan-segan menambah jumlah pinjaman itu dengan jaminan ketika panen tiba, mereka wajib menjual hasil panennya kepada tengkulak tersebut. Pola pikir instan dan konsumtif menjadi fakta yang acapkali menyerua. Dari titik inilah parasitisme itu muncul dan terjadi. Para tengkulak sengaja menekan harga jauh lebih murah dari harga pasaran.

“Berangkat dari kesadaran bersama untuk bangkit, Hamka hadir sebagai ikhtiar untuk menjadi wadah berkomunikasi, membangun kesadaran demi dan untuk kesejahteraan melalui Koperasi. Dengan bergabung bersama koperasi, para petani akan mendapatkan banyak pengetahuan baru mengolah kopi, mendapatkan pinjaman dan menjual dengan harga yang lebih baik. “Hamka itu kepanjangan dari kelompok petani dari empat desa yakni HArjomulyo, Mulyorejo, Karangharjo dan PAce). Imbuhnya.

Ketua Gema MKGR Jember Suprayuga mengemukakan bahwa kehidupan para petani kopi tidak seharum aroma minuman tersebut. Mayoritas petani kopi di Indonesia belum memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual kopi. Hal itulah yang membuat kehidupan petani kopi tetap “melarat” meski bisnis minuman pahit tersebut terus menggeliat. Ungkapnya.

Padahal apabila petani melakukan penyortiran dan pengolahan, harga kopi bisa meningkat 10 kali lipat dibanding menjual kepada tengkulak dengan proses pemetikan ceri kopi. Ketiadaan alat membuat petani kopi mengelola secara manual dan membutuhkan waktu 2-3 bulan.

“Masalah hulu sampai hilir perkopian harus ada jembatan penghubung yang bisa membuat ruang gerak tengkulak menjadi terbatas. Untuk itu perlu ketegasan serta keberpihakan, terutama dari pemerintah daerah melalui dinas terkait,” Tandas Yoga. (Red./Alien)