Panglima Mataram dan Pengorbanan Seorang Ibu

Catatan Sosio-Tour (3) Dr. Taufik Al Amin.

========
Suatu diktum terkenal dari Lord Acton yang mengatakan bahwa “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kekuasaan cenderung untuk menjadi sewenang-wenang, dan dalam kekuasaan yang bersifat mutlak, kesewenang-wenangannya juga bersifat mutlak’. Pernyataan tersebut sangat relevan untuk menggambarkan relasi antara seorang ayah yang juga sebagai raja dengan anaknya – darah dagingnya sendiri.
Alkisah sebagaimana ditulis dalam Babat Tanah Jawa, bahwa Ki Ageng Giring setelah melihat teman seperguruannya yaitu Ki Ageng Pemanahan, yang justru meminum air kelapa miliknya, maka Ki Ageng Giring saat itu pula meminta kepada Ki Ageng Pemanahan agar anak turunnya kelak juga dapat menjadi penguasa di tanah Jawa. Sebagai bukti dari komitmen tersebut, anak Ki Ageng Pemanahan yaitu Danang Sutawijaya dijodohkan dengan putri Ki Ageng Giring yang bernama Rara Lembayung.
Dari perjodohan tersebut ternyata tidak berjalan harmonis. Danang Sutawijaya yang akhirnya menjadi raja Mataram pertama dan bergelar Panembahan Senopati ini memilih meninggalkan Rara Lembayung yang masih dalam keadaan mengandung. Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang bayi lelaki yang diberi nama Jaka umbaran.
Setelah Jaka Umbaran beranjak dewasa mulai mempertanyakan siapa bapak kandungnya. Ada dua versi mengenai peristiwa ini. Yang pertama, Kanjeng Ratu Giring (Rara Lembayung) tak sampai hati pada sang putra dan memberi tahu siapa bapak kandungnya. Namun versi lain menyatakan, bahwa ibunya memberi teka-teki bahwa ayahnya adalah pemilik alun-alun di sebuah kerajaan.
Singkat cerita, Jaka Umbaran berhasil menemui sang raja di istana kerajaan Kotagede. Panembahan Senopati tampaknya tidak mau mengakui Rara lembayung sebagai istrinya. Lalu kepada anak muda tersebut, Panembahan Senopati menunjukkan sebilah keris sambil menyampaikan sebuah syarat, bahwa ia akan mengakui Jaka Umbaran sebagai anaknya, jika ia dapat menemukan warongko (wadah) dari keris tersebut.
Setelah itu, Jaka Umbaran sambil membawa keris tersebut menemui ibunya, dan diceritakanlah semua kejadian saat ketemu ayahnya. Mendengar cerita Jaka umbaran, ibunya lalu melakukan tindakan dengan menabrakkan tubuhnya di ujung keris – yang saat itu dipegang oleh Jaka Umbaran. Sebelum ajal menjemput, Rara Lembayung menyampaikan pesan bahwa semua itu dilakukan untuk menutupi aib suaminya tetapi juga untuk kemuliaan anaknya sendiri yaitu Jaka umbaran.
Setelah itu, Jaka Umbaran kembali ke istana dan menceritakan peristiwa tragis tersebut kepada ayahnya. Tidak lama kemudian Jaka Umbaran diakui sebagai anak dan diangkat sebagai panglima perang bergelar Panembahan Purbaya.
Dalam perkembangan sejarah Mataram, peran Panembahan Purbaya sangat besar, baik dalam mempertahankan kerajaan Mataram dari rongrongan internal kerajaan maupun saat melakukan ekspansi mengusir VOC dari Batavia di era pemerintahan Sultan Agung dan Amangkurat I.
Ia sangat disegani oleh lawan maupun kawan. Panembahan Purbaya dikenal juga sebagai ahli strategi perang dan memiliki kesaktian yang tinggi. Ketokohan dan kesaktiannya tersebut diyakini oleh masyarakat Yogyakarta hingga setelah kewafatannya. Setelah wafat Penambahan Purbaya dimakamkan di sebelah barat Masjid Sulthoni Wotgaleh kecamatan Berbah Kabupaten Sleman.
Masjid dan makam yang terletak di selatan Bandara Adisutjipto tersebut terdapat mitos dan terlarang untuk melintas pesawat di atasnya. Jika hal tersebut dilanggar akan menimbulkan malapetaka, baik berupa jatuhnya pesawat atau bahaya kematian bagi pengemudinya. Wallohu a’lam bishawaf.

Penghujung Malam Nisfu Sa’ban, 18 Maret 2022

#ProdiSosiologiAgamaIAINKediri #PanembahanPurboyo
#SitusWotgaleh #HMPSSosiologiAgama #KearifanLokal
#ModerasiBeragama #Localwisdom #SejarahIndonesia
#Historicalthinking