Menyoal Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Soal Peradilan Etik

 

Bandung-Menaramadinah.com-Putusan peradilan etik apakah bersifat final atau tidak. Apakah putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) soal etik itu bisa diuji atau dikoreksi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara?

Untuk menjawab pertanyaan ini coba disimak diskusi PTUN Bandung . Kali ini diskusi Reboan, bertema Titik Singgung Putusan Peradilan Etik dengan Putusan Peradilan Administrasi, Rabu (9/3/2022).

Diskusi yang digelar secara daring tersebut dihadiri oleh Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI, Profesor Supandi, Dr Idham Holik M, si, Angota KPU Provinsi Jawa Barat yang juga komisioner terpilih terpilih KPU Pusat, Profesor Dr Muhammad MSi, Ketua DKPP, Hakim PTUN Bandung Dikdik Somantri SH, SIP, MH dengan moderator Irvan Mawardi, hakim PTUN Bandung.
Kemudian ada Ramdansyah Bakir , mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta, mantan Sekjen Partai Idaman dan Pimpinan Rumah Demokrasi yang diundang untuk menanggapi diskusi tersebut.

Diskusi diawali oleh paparan Profesor Supandi yang menyitir pendapat Profesor Doktor Bagir Manan, Mantan Ketua Mahkamah Agung yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara. “Hati-hati melahirkan Peradilan Khusus. Karena jika tidak cermat kajiannya justru akan menghasilkan, mengacaukan sistem peradilan Indonesia”.
‘Itulah peringatan beliau dalam sebuah seminar yang kita catat dan disampaikan dalam forum ini,” ujanya.

“Bagaimana kita seharusnya menguji tentang penyalagunaan wewenang pejabat yang seharusnya. Karena jika tidak bisa terjadi over kriminalisasi,” sambungnya.

Lantas bagaimana dengan peradilan etik? Sesungguhnya bukan lembaga peradilan, tetapi lembaga pengawal profesionalisme dan pengawal kode etik profesi.
“Dalam peradilan etik kecelakaan pesawat misalnya , yang dicari bukan siapa yang salah, tapi yang dicari yang utama adalah apanya yang salah,” ujar dalam diskusi daring Titik Singgung Putusan Peradilan Etik dengan Putusan Peradilan Administrasi.

Menyoal penyelenggaraan pemilu, kata Profesor Supandi harus berdasarkan hukum dan beradab,. “Kita semua harus taat asas dan sistem hukum,”terang dia.
Dalam kesempatan ini, dia menjelaskan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu pengawal kehormatan profesi para penyelenggara pemilu kita. oleh karena itu sifat putusan dari DKPP itu mengikat dan final; “Putusannya final dan mengikat,” dia menerangkan.

Ia pun lantas mengingatkan hakim PTUN agar jangan masuk kesubtansi putusan DKPP. Karena yang bisa dikoreksi itu adalah aspek yuridisnya bukan etiknya.

Sedangkan Ketua DKPP Profesor Muhammad dalam kesempatan ini menyampaikan satu contoh bagaimana putusan DKPP di uji di PTUN. Dimana menurut pendapat dia bukan koreksi pada keputusan etik DKPP karena itu memang ranahnya DKPP, Bahkan ada sebuah kasus dimana DKPP mengatakan yang bersangkutan menyalahi melanggar etik, justru dibatalkan oleh PTUN dan disebutkan tidak melanngar etik. DKPP sebagai lembaga kata dia, bersifat pasif, menunggu aduan, “DKPP itu tidak aktif mencari pelanggaran atau kesalahan. Sifatnya pasif menunggu aduan,”ujarnya.

Anggota KPU Provinsi Jawa Barat Idham Holik mengatakan, sebagai penyelenggara harus berorientasi kepada kesempurnaan kerja dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu, dimana dari 11 prinsip itu, 8 dinataranya adalah soal etik. “Tidak sekadar kesadaran etis, namun hasur mengedepankan prinisp prinsip etis sebagai penyelenggara pemilu,” ujar Idham, Kendati demikian, sebagai penyelenggara Pemilu harus memiliki literasi hukuim, bukan hanya literasi etik.
Sementara itu, mantan anggota Panwalu DKI Jakarta, Ramdansyah Bakir, yang hadir sebagai penanggap menceritakan bagaomana dirinya diberhentikan sebagai ketua Panwaslu DKI Jakarta, dengan sebuah laporan terkait dengan kasus, misalkan waktu itu adalah kasus terkait dengan laporan asosiasi pedagang yang kemudian menggugat dirimua dianggap tidak netral. “Nanti dibaca pada majalah Mahkamah Konstitusi yang membahas laporan utamanya terkait Putusan MK 31/PUU 2013. Jadi intinya adalah ketika itu saya dianggap tidak netral,” ujarnya.

Padahal, kata dia, putusannya adalah kolektif kolegial dari temen-temen panwas provinsi.

Kemudian ketika membawa ini ke SPK mendampingi pelapor , dia diwawancarai oleh wartawan. Dan itu kemudian diliput oleh salah satu media, lantas di scan, di print dan kemudian jadi bukti di DKPP
Sidang DKPP berlangsung dua kali sidang. “Waktu itu adalah pelantikan 15 Oktober, pelantikan gubernur dan wakil gubernur, saya tidak hadir. Karena harus mendampingi sebagai panwas mendampingi , acara bersamaan.

Sehingga Kemudian pada sidang yang kedua maka saya dianggap bandel atau ngeyel,” Ramdansyah menerangkan.

Kemudian anehnya secara materil
dia digugat atau d verifikasi sebagai orang yang tidak netral.” Tapi ini kok dengan Rhoma Irama. kan aneh,”paparnya.
Selanjutnya pada Maret i 2013 dia melakukan uji materiil dan pada 3 Maret 2014 dan dia memenangkan uji materil.” Ada 6 saya tiga memenangkan,” sambungnya. Kemudian konsederansi adalah terkait dengan frase final dan mengikat. “Saya menolak frase ini karena ketika saya diputuskan kemudian katakanlah bersalah atau tidak netral, melanggar etik. Saya tidak bisa kemana-mana,” ujarnya.

Ramdansyah kemudian mengugat ke PTUN terhadap keputusannya pun tidak bisa karena normanya masih di MK dan belum diputus.

“Kemudian saya kalah di PTUN, kemudian ketika putusan ini muncul, terkait dengan apa 31/PUU 2013. Frase ini dihilangkan saya sudah nggak bisa punya kekuatan lain,” ujar Ramdansyah.

Tetapi dalam rapat dengan dengan DPR, Ramdhansyah melihat pada surat presiden terkait naskah akademik, itu sudah usulan dari pemerintah itu bukan lagi putusan.
“Jadi Bawaslu atau KPU wajib untuk melaksanakan keputusan.

Nah inikan menarik menurut saya. Dan ketika RDP pun saya mengingatkan kembali .Jangan sampai nanti saya gugat lagi Ini saya sampaikan dalam RDP terkait RUU nomor 7/ 2017. Intinya saya menolak itu muncul lagi. Tapi karena UU nomor 7 ini banyak muatannya penyelenggaraan, penyelenggara dan seterusnya. Maka kemudian ini tidak masuk. Usulan saya adalah bahwa DKPP harus dikembalikan arwah nya sesuai dengan konstitusi.,”ujar dia.

Keputusan DKPP itu dalam kacamata Ramdansyah sifatnya hanya rekomendasi. Tidak kemudian final dan mengikat. Kalaupun misalnya, final dan mengikatnya itu hanya kepada presiden, KPU dan Bawaslu.

“Seperti Evi Ginting (anggota KPU, red) memenangkan gugatan karena yang digugat adalah keputusan kepres presiden itu sendiri. Jadi catatan terakhir, DKPP tidak bisa tidak, adalah lembaga politik.

Walaupun itu sebagian itu ada dipilih oleh DPR dan dipilih oleh pemerintah. “Misalnya ketua DKPP saat ini Pak Muhammad, adalah sama sama dengan saya. Mantan ketua panwaslu. Ia panwaslu Sulawesi Selatan. Dan saya juga mantan panwas DKI, iorang politik,” Ramdansyah menjelaskan,
Dia menegaskan, bukan menolak. PTUN harus tetap mengecek substansi, karena apa?

“Sifat dari asas asas umum pemilihan yang baik itu harus cermat. Nggak bisa kemudian orang ketika digugat ke DKPP terkait dengan di Polda Metro . Ada bacaannya direskrimum, kemudian saya diberhentikan,” sambungnya.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta ini diberhentikan oleh DKPP. Ia lantas mengajukan gugatan ke PTUN. Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Ramdansyah menjelaskan permohonan yang diajukan, termasuk petitum dan legal standing-nya. Dia mengatakan bahwa pada prinsipnya permohonan tersebut diajukan ketika dirinya diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada tanggal 31 Oktober 2012.

Kemudian, dia mengatakan  dengan berbagai pertimbangan yang menyebutkan bahwa UU  No. 15 Tahun 2011 mengatakan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat sehingga menegasikan kewenangan pembinaan dan supervisi yang dimiliki oleh Bawaslu dan KPU sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.

Dalam pandangan Ramdansyah , DKPP bukan lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, sehingga tidak dapat membuat putusan final mengikat melainkan hanya dapat memberikan rekomendasi. Untuk itu, menurutnya, norma dalam UU No. 15 Tahun 2011 yang menyatakan DKPP menetapkan putusan merupakan norma yang bertentangan dengan pengaturan kekuasaan kehakiman.

Selain itu, dia menjelaskan bahwa keputusan dari sebuah kode etik seperti DKPP seharusnya tidaklah bersifat final, hal itu dikarenakan perlu persetujuan lebih lanjut dari Bawaslu dan KPU untuk mengeluarkan keputusan yang bersifat final.

Keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat menyebakan dirinya tidak dapat mengajukan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap putusan DKPP.  “Saya kesulitan untuk menjadi penyelenggara Pemilu baik sebagai tim seleksi maupun bawaslu terkait dengan pemberhentian DKPP,” ujar Ramdansyah kala itu.

Menurut pendiri Rumah Demokrasi ini keputusan DKPP yang melampaui kewenangan bukan dikarenakan permasalahan penerapan terhadap norma, melainkan dikarenakan norma Pasal 112 ayat (12) yang menyatakan putusan DKPP bersifat final.

Sifat putusan yang bersifat final tersebut sudah menciptakan kondisi tidak adanya mekanisme saling kontrol antara DKPP dengan KPU dan Bawaslu.

Apalagi DKPP, terangnya, memiliki posisi yang sama dengan KPU dan BAWASLU. Maka putusannya juga merupakan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dapat diuji langsung kepada pengadilan tata usaha negara (PTUN).

Pendiri Rumah Demokrasi ini mengatakan, tidak bisa DKPP kedudukannya lebih superior atau tinggi dari lembaga KPU dan Bawaslu. Karena ketiga lembaga tersebut satu kesatuan yang telah diatur diamanatkan sebagai penyelenggara pemilu.*** gus