
: ngablak dalu. Mashuri Alhamdulillah.
Pengantar: Rame-rame hari raya Imlek, saya jadi teringat tulisan jadul saya yang beraroma pseudo-sejarah, melacak persebaran eksponen Geger Pecinan di Batavia 1740–1743, yang melanjutkan hidup di Jawa Timur. Anak-cucu mereka menyebar dan membaur dengan masyarakat lokal. Bahkan, di antaranya menjadi pemimpin wilayah. Meski tulisan ini agak sedikit panjang walau tak sepanjang sepur kluthuk, tapi tulisan sekadarnya ini saya turunkan semuanya, yang awalnya terbagi menjadi tiga bagian ngablak bersambung. Tabik.
DIJADIKAN MENANTU ADIPATI BOJONEGORO TEMPO DOELOE
Kawasan Ujung Timur Jawa (Java Ooshoek) pernah diperintah oleh kalangan Cina Muslim, baik itu di Poeger, Panaroekan, Besoeki, maupun Probolinggo. Di antara yang terkenal adalah Baba Sam dan Baba Midun. Keduanya pernah memerintah Besoeki dan Poeger pada abad ke-18 dan namanya hingga kini dikenal sangat baik, di antara penghormatan masyarakat kepadanya adalah jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Agung Besoeki. Tahukah Anda bahwa kakek mereka adalah eksponen Geger Pecinan yang menggegerkan Batavia di awal tahun 1740 dan menyebar ke seantero Jawa, termasuk Jawa Timur dan sekitarnya di akhir 1743? Tak usah kaget, Saudara, berikut ini kisahnya.
Tak banyak yang tahu bahwa kalangan kapiten Cina yang memiliki nama Jawa ketika menduduki kekuasaan di Jawa Timur adalah eksponen Geger Pecinan 1740–1743 dan termasuk anak buah Kapiten Sepanjang yang mashur itu. Mereka adalah orang-orang yang sudah berbaur dengan pribumi, baik adat-istiadat, agama dan hal-hal kehidupan sehari-hari, bahkan pada suatu ketika nama Cina atau Tionghoa bagi keturunan ini sudah tidak dikenali lagi karena mereka menggunakan nama Jawa. Onghokham, sejarawan terkemuka Indonesia, termasuk salah satu orang yang berhasil mengendus keberadaan sisa-sisa geger Pecinan yang menelan korban dari kalangan cina puluhan ribu tersebut. Di antaranya mereka menetap di pelosok Jawa, berbaur dengan masyarakat kebanyakan dan melanjutkan hidup dan keturunannya.
Salah satu di antaranya yang kelak menurunkan orang-orang penting adalah Han Hien Siong. Ia merupakan anak seorang totok dengan wanita bumiputera atau peranakan. Ia pernah ikut pemberontakan 1740—1743, lalu lari ke Rajegwesi, Bojonegoro sekarang, beragama Islam dan menjadi orang Jawa. Mau tahu mata pencahariannya? Ia bekerja sebagai dukun! Sedikit mirip dengan Eyang Djoego, anak turun dan prajurit Pangeran Diponegoro, yang kini bersemayam di Gunung Kawi, Malang. Namun, si Han Hien Siong lebih dulu melakukannya.
Namanya juga nasib, kedatangan Han Hien Siong ke Bojonegoro bertepatan dengan adanya pagebluk. Pagebluk itu khusus menyerang puteri penguasa Bojonegoro, yang bergelar Tumenggung. Sayangnya Onghokham tidak menyebutkan nama lengkap si Tumenggung karena dia juga mendapatkan kisah ini dari naskah RAA Nitiadiningrat, seorang mantan regen Surabaya, yang gemar mencatat kisah-kisah sejarah orang-orang tertentu sebelum dia. Sahdan, sakit yang diderita oleh Puteri Bojonegoro itu sudah berusaha disembuhkan oleh ratusan tabib, puluhan dukun, bahkan dokter kolonial juga turun tangan, tapi hasilnya nol besar. Tak seorang pun juru sembuh yang mampu membuat si Puteri, yang konon berwajah kinclong dan bertubuh sentausa tersebut, sembuh dari penyakitnya.
Seperti dalam negeri dongeng, akhirnya Tumenggung pun membuat sayembara. Barang siapa yang bisa menyembuhkan sang puteri, jika perempuan akan dijadikan saudaranya, sedangkan jika lelaki akan diangkat menjadi menantunya. Mungkin karena kisah ini mirip dongeng, Onghokham yang sejarawan tulen itu tidak berani memutuskan apakan kisah ini benar sebagai fakta sejarah atau hanya sekedar dongeng pengantar tidur bagi masyarakat Rajekwesi pada masa itu.
“Sukar untuk mengetahui kebenaran cerita ini, tetapi yang pasti adalah anak perempuan Tumenggung Bojonegoro menikah dengan orang Tionghoa,” demikian tulis Onghokham, dalam artikel “Perkawinan Indonesia—Tionghoa Sebelum Abad ke-19 di Pulau Jawa”, yang pernah dimuat dalam Star Weekly, No. 633, tanggal 15 Februari 1958 tersebut.
Han Hien Siong akhirnya berhasil menyembuhkan puteri Tumenggung tersebut. Sesuai dengan janji si Tumenggung, ia pun mengambil menantu lelaki keturunan Cinta tersebut. Pasangan Cina—Jawa ini pun menetap di Rajekwesi. Dari pernikahan tersebut, Han Hien Siong dikaruniai lima orang anak. Dalam sejarah yang dikenal dan tercatat adalah dua, yaitu Han Hien Sing dan Muchsin. Yang kedua inilah yang terkenal dalam catatan sejarah karena ia dipungut menjadi anak oleh seorang pembesar Belanda dan menjadi cikal sebuah keluarga pembauran Jawa-Cina yang agung, serta menjadi sumber kekayaan dari keluarga kaya tersebut.
Jika pembaca bertanya apa benar namanya Muchsin? Memang, namanya adalah Muchsin. Onghokham menulisnya Muchsin. Von Faber dalam Oud Soerabaia pun menyebutnya Muchsin. Saya yakin Anda pasti penasaran dengan tokoh yang satu ini. Menurut sebuah sumber, nama Muchsin atau Muksin adalah nama Islamnya. Ia memiliki nama Cina, tapi beberapa versi menyebutkannya secara berbeda-beda. Oleh karenanya dalam kesempatan ini, tokoh kita ini disebut Muchsin saja. Dari Muchsin itulah, beberapa keponakannya menjadi penguasa di Jawa Timur jadul, termasuk Pasuruan dan Java Ooshoek dan dikenal sebagai Cina Muslim yang gigih dan ulet.
PENDIRI MASJID AGUNG BESUKI SITUBONDO
Bagian ini menelusuri muasal Muchsin menjadi pembesar Java Oosthoek (Ujung Timur Jawa) yang kini fasih disebut tapal kuda Jawa Timur, sekaligus kiprah keponakannya –Baba Sam, Baba Midun, dan Baba Padang, sebagai pembesar sekaligus pendiri Masjid Agung Besuki Situbondo, yang di masa lalu Besuki adalah sebuah Karesidenan yang membawahi Java Oosthoek. Begini detailnya.
Muchsin terdidik secara baik. Bisa jadi karena ia merupakan cucu dari penguasa Bojonegoro, juga dari seorang tokoh terpandang dari kalangan Tionghoa peranakan. Ia pun meniti karier sebagai pegawai pada residen Rembang, yang kala itu dijabat Hendrik Breton. Breton langsung kepincut dengan sosok Muchsin karena di usia muda, ia sudah menampakkan kecakapannya dalam bekerja. Terlebih, ia rajin dan dapat dipercaya. Alhasil, karena hingga sampai usia udzur, Breton mandul, alias gabuk, alias tidak dikaruniai anak, akhirnya Muchsin pun ketiban durian runtuh. Ia diangkat Breton sebagai anak.
Selepas itu, keberuntungan Breton melesat naik. Oleh gubernur jenderal di Batavia, Breton diangkat menjadi gubernur pantai timur laut, alias NO Kust. Derajat Muchsin pun ikut naik. Ia didapuk menjadi rombo polisi atau ronggo, setingkat bupati di Panareokan (kini Situbondo) dengan gelar Ngabei. Adapula yang menyebut bahwa bukan Panaroekan, tetapi Bangil. Nama Jawanya adalah Ngabei Suropernolo. Nama Panaroekan pada masa itu dikenal sebagai daerah kurang aman, namun karena pemerintahan Muchsin yang bijaksana, baik, terlebih bertangan dingin, Panaroekan menjadi salah satu daerah teraman di Jawa. Tentu saja, kondisi demikian berimbas pada reputasi Breton. Ia pun mendapatkan nama baik, lalu diangkat menjadi Raad van Indie.
Pascaperistiwa itu, kekuasaan Muchsin pun melebarkan sayapnya. Meski ia masih tinggal di daerahnya, tetapi kekuasaannya diperluas sampai Besoeki. Keberuntungan memang seakan-akan memihak hidup orang satu ini. Bagaimana tidak, ketika Breton meninggal dunia, Muchsin ditunjuk sebagai satu-satunya ahli warisnya. Tentu saja, kekayaan Breton di Hindia Belanda, alias di bumi Nusantara jatuh ke tangan Muchsin, apalagi semasa hidupnya Breton dikenal aktif juga sebagai pedagang. Konon, kekayaannya tidak akan habis dimakan tujuh turunan! Saya sendiri sulit membayangkannya.
Ihwal kemujuran Muchsin ini juga menyedot perhatian seorang sejarawan Surabaya Von Faber. Dalam buku legendarisnya, Oud Soerabaia, halaman 24, sejarah hidup Muchsin digurat jelas. Namun, di situ tidak dijelaskan tentang Muchsin yang menjadi pejabat di Java Ooshoek, ia hanya dikatakan sebagai orang yang membantu perdagangan Breton di Batavia, lalu menjadi ahli waris Breton, ketika Breton koit.
Tentu dengan demikian Muchsin tidak hanya kaya, tetapi sangat kaya, sebagaimana yang sudah disinggung. Namun, namanya nasib memang sulit diprediksi, begitu juga Muchsin. Meski ia dilimpahi kekayaan yang sukar ditakar, dengan kata lain: uangnya tidak ada serinya, kata orang sekarang, tetapi ada yang kurang sempurna dalam hidupnya. Ia tidak dikaruniai keturunan. Walhasil, begitu ia wafat pada 1776, kekayaannya beralih ke tangan anak-anak kakaknya, yang menurut sebuah sumber adalah Han Tjin Sing, ada pula yang menyebutnya Kan Tjin Sing. Anak-anak tersebut adalah Baba Sam dan Baba Midoen. Dua tokoh yang tidak asing lagi bagi masyarakat Besoeki, Sitoebondo.
Onghokham menyebut Baba Midoen pernah menjadi rombo polisi, atau ronggo di Panaroekan. Sebenarnya, ia lebih dikenal sebagai Ronggo Besoeki. Ketika ia diangkat menjadi bupati Poeger, ia diberi gelar Tumenggung Adiwikromo. Dia menikah dengan anak bupati Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Anak dari perkawinan itu dinamakan Raden Bagoes Han Soe Tik, dan kelak menggantikan anak pamannya sebagai bupati Besoeki. Gelarnya Tumenggung Adiwikromo I. Adapun, Baba Midoen dimakamkan di belakang masjid besar Besoeki, karena dialah penggagas pembangunan menara masjid besar, dan bersanding dengan ronggo Besoeki sesudahnya, Baba Padang, yang berhasil merampungkan pembangunan tersebut.
Lalu bagaimana dengan Baba Sam? Onghokham mencatat kronologi yang lain dan berbeda urutan penguasa Besoeki yang digurat oleh sejarawan lokal Besoeki, yang kebetulan saya pegang datanya. Itung-itung sebagai pelengkap dari versi sejarah yang sudah ada, berikut ini dikutip lengkap, karena informasi yang diungkap tidak ada dalam versi lainnya.
“Baba Sam yang merupakan anak lain dari Djajeng Tirtorolo juga mempunyai karir yang tinggi. Dia dijadikan rombo polisi Besuki (ronggo, red.) dan terkenal sebagai Soerjo Adiwirjo. Kemudian dia diangkat sebagai raden adipati dan karena jasa-jasanya diberi bintang ridderorde. Sejak itu ia dikenal sebagai Kandjeng Ridder. Pada 1810 Kandjeng Ridder meninggal dunia dan dimakamkan di Ngampel. Setelah Han Soe Tik, atau Raden Bagoes, dan Baba Sam, nama-nama Tionghoa akhirnya lenyap dari keluarga Jawa yang agung itu,” tulis Onghokham.
Baba Sam dimakamkan di Ngampel mana? Sebuah sumber menyebut bahwa yang dimaksud dengan Ngampel adalah Ngampeldenta Surabaya, alias di kompleks makam Sunan Ampel yang kondang itu. Namun, ketika saya berusaha menelusurinya, hingga boyok terasa pedot, saya tidak kunjung menemukannya. Hmmm.
KENAPA BERSEMBUNYI DI RAJEKWESI
Karena Geger Pecinan 1740–1743 sudah disinggung di awal tulisan ini, tentu saja, sudah menjadi kewajiban saya untuk melanjutkannya. Jika tidak, bisa kualat, apalagi bagi mereka yang masih penasaran dengan peristiwa ini lalu mengumpat-umpat: kasih informasi kok diincrit-incrit, awas lo, nanti kejatuhan durian satu truk! Nah, dapat modar kan?!
Sebenarnya, dulu, tepatnya pada Orde Lama (1953), peristiwa ini masuk buku ajar sejarah untuk pendidikan guru dan disebut-sebut bukan dengan nama Geger Pecinan 1740—1743, tetapi Revolusi Tahun 1740—1743. Ada pula yang menyebut Perang Sepanjang 1740—1743, merujuk pada pemimpin perang tersebut yaitu Kapitan Sepanjang. Namun, ketika masa Orde Baru, peristiwa tersebut seakan lenyap ditelan bumi dalam buku pelajaran sejarah. Hingga kini tidak diketahui sebabnya.
Sebenarnya peristiwa tersebut memiliki pelajaran yang luar biasa buat bangsa kita karena di dalamnya terdapat persekutuan antar-ras di Indonesia, yaitu Tionghoa-Jawa, melawan VOC-Belanda. Secara ringkas, peristiwa tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut. Pada tahun 1740, tentara Belanda di Batavia bertindak brutal dengan melakukan pembantaian massal orang Tionghoa.
Daradjadi (2013), peneliti dan penulis peristiwa tersebut memperkirakan jumlah orang Tionghoa yang dibantai adalah 7000—10.000 orang, dalam tempo dua hari. Tepatnya pada 9—10 Oktober 1740. Selanjutnya, Laskar Tionghoa yang didukung balatentara Jawa menyerang balik pos-pos VOC. Peranga balas dendam inilah yang disebut dengan Perang Sepanjang atau Geger Pecinan atau Revolusi 1740—1743 dalam istilah Orde lama itu berlangsung empat tahun, antara 1740—1743.
Selama berlangsungnya perang, laskar Tionghoa dipimpin oleh Kapitan Sepanjang dari Batavia dan Tan Sin Ko, yang karib disapa dengan Singseh, dari Jawa bagian Tengah. Balatentara Jawa dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Amangkurat V) dan Raden Mas Said yang bergelar Pangeran Sambernyowo (Mangkunegara I). Perang itu memang bermula dari Gandaria, sebuah kampung di pinggiran Batavia atau Jakarta kini, lalu menyebar hampir merata di Jawa.
Dari Batavia merembet ke hampir seluruh wilayah pantai utara Jawa, dan pedalaman Jawa, bahkan hingga ke Pasoeroean dan berakhir di ujung timur Jawa (Java Ooshoek). Hal ini dapat ditengarai dari adanya desa atau kota kecamatan yang bernama Sepanjang di sepanjang pulau Jawa. Toponim tersebut berasal dari nama Kapitan Sepanjang yang melakukan perlawanan kepada VOC di beberapa tempat di Jawa.
Daradjadi mencatat, pada September 1743, Sunan Kuning (sebutan Raden Mas Garendi) dan Kapitan Sepanjang bergabung dengan Laskar Untung Surapati dan bergerilya di selatan Surabaya. Dalam sebuah pertempuran, Sunan Kuning terpisah dari Kapitan Sepanjang. Pada 2 Desember 1743, VOC menahan Sunan Kuning yang menyerah di Surabaya. Ia lalu dibawa ke Batavia dan dibuang ke Sri Langka. Akhir 1743, Kapitan Sepanjang dan sisa pasukannya bergerak ke arah ujung timur Jawa, masuk wilayah Blambangan dengan melewati jalur Pasoeroean-Probolinggo-Loemadjang-Djember dan Blambangan atau Banjoewangi, sambil menyerang pos-pos VOC yang berderet di sepanjang pergerakannya. Catatan terakhir VOC, sekitar tahun 1750—an, menyebutkan bahwa Kapitan Sepanjang pindah ke Bali dan mengabdi pada sebuah kerajaan di pulau dewata tersebut.
Pertanyaannya, kenapa setelah peristiwa 1740—1743 usai, Han Hien Siong melarikan diri ke Rajekwesi? Usut punya usut, Rajekwesi termasuk salah satu daerah di Jawa Timur yang tidak tersentuh oleh pergerakan Kapitan Sepanjang dan pasukannya dan tidak pernah terjadi pertempuran antara pasukan Mataram—Cina dengan VOC, Belanda dan sekutunya. Berikut ini akan dinukil beberapa catatan Daradjadi ihwal perang tersebut di lokasi yang dekat dengan Rajekwesi.
Awal Agustus 1741, Sunan Pakubuwana II minta Pangeran Mangkubumi, yang kelak menjadi Sultan Hamengkubuwana I memimpin pasukan Mataram-Tionghoa menghadang pasukan Cakraningrat di Tuban—Lamongan. September—Oktober 1741, fron Jawa Timur: Pasukan Mataram-Tionghoa memukul mundur pasukan Cakraningrat kembali ke Madura. Setelah pasukan VOC di bawah Kapten Gerrit Mom tiba di Sedayu, Cakraningrat mendarat di Ujung Surabaya. Sawunggaling dan Bupati Japan menahan serbuan pasukan Madura. Cakraningrat berhasil menduduki Lamongan.
Januari 1742, fron Jawa Timur: Lasem-Gresik diduduki pasukan Madura pimpinan Bupati Cakraningrat IV. Laskar Tionghoa yang mundur dari Semarang berkonsolidasi di Grogoban, Demak, Kudus, Pati, Jepara, dan Lasem.
Demikianlah, Han Hien Siong termasuk orang yang jeli mencari tempat untuk meneruskan hidupnya. Kelak, pascatahun 1825—1830, kurang lebih 100 tahun setelah Geger Pecinan, apa yang dilakukan Han Hien Siong ternyata juga dilakukan oleh para pengikut Pangeran Diponegoro. Sisa-sisa pasukan pangeran Jawa yang diperdayai Jenderal de Kock itu berlari dan menyebar ke timur, membuka desa-desa baru dan melanjutkan hidupnya setelah perang yang pahit dan berkepanjangan itu usai. Dari mereka-lah, generasi unggul dan bernas macam saya dilahirkan. Cik PD dan narsise, rek! Icikiwir! Tarik, Jeng!
MA
On Sidokepung, 2022
Ilustrasi Jepretan sendiri di dua kelenteng di Tuban.