Pesan Moral Gandrung

Catatan Aekanu Hariyono.

“Apa sih pesan-pesan moral dari Gandrung itu Pak?”, tanya jurnalis itu kepadaku.

Aku melihat gandrung bukan dari fisik atau luarnya saja, tapi secara keseluruhan mulai
dari struktur gerak tari, kostum dan gending pengiring, karena semua itu ada maknanya.
Gandrung itu mengajarkan tentang harmonisasi hidup antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitar.
Dalam foto terlihat Gandrung Temu yang sudah tidak muda lagi, tapi tampak anggun alami dengan kostum yang dikenakannya.
Ia menjalani profesi sebagai Gandrung sudah lebih dari setengah abad, stamina harus fit, wajah tetap sumringah, menyanyi sambil menari semalam suntuk dari jam 9 malam sampai sebelum subuh.

“Apa dia menjalani ritual tertentu untuk menjadi gandrung?”, tanya dia lagi.
Mak Temuk dan gandrung2 yang lain ya memang harus menjalani ritual tertentu pada awal untuk menjadi gandrung.
Bahkan sampai kini Mak Temuk tetap menjalankan aturan tertentu berdasar norma adat tradisi yang diajarkan dari para leluhurnya.
Lihatlah para penari gandrung yang tampak elegan dengan Omprok atau mahkota di kepalanya yang penuh dengan arti dan pesan moral yang mengajarkan untuk menjadi manusia yang lentur ramah adaptip fleksibel dan selalu memberi manfaat kepada makluk lain, cerdas pemikirannya, halus budi pekertinya, bersih hatinya, dan tampil selalu menarik hati. Dalam hal ini agar semua orang tertarik, jatuh hati saat melihat tarian gandrung yang ditampilkan sesuai makna gandrung adalah jatuh cinta yang mendalam.
Gandrung tidak hanya untuk fungsi ritual (tanggapan orang nadar, di upacara petik laut atau petik kopi), tapi gandrung juga berfungsi profan bahkan pernah berperan dalam perjuangan mengusir penjajah. Gandrung juga mempunyai peran penting sebagai fungsi sosial untuk merekatkan tali persaudaraan dengan tidak memandang perbedaan, ini sebabnya gandrung pernah diundang untuk tampil di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri.
Lihat saja pada episode “paju gandrung – menari bersama gandrung” yang terinspirasi dari “tundikan Seblang” dengan mata terpejam Seblang melempar sampur (selendang) ke arah penonton tanpa tebang pilih untuk menari bersama sebagai tanda persaudaraan dengan dasar saling menghormati.
Gandrung berselendang merah sebagai media untuk menghormati Dewi Sri, menghormati ibu, menghormati kaum perempuan yang lebih mempunyai peran dalam berbagai ritual masyarakat agraris Osing yang berhubungan dengan kesuburan dan kesejahteraan.

Kini coba perhatikan “Kelat Bahu” berupa hewan Kupu – Kupu yang ada di kedua lengan penari gandrung yang penuh makna itu.
Gandrung mengajarkan kita untuk belajar dari kodrat metamorfosis akhir kupu-kupu yang berproses dari ulat menjadi kepompong dan kepompong menjadi kupu-kupu. Ulat adalah hewan yang menjijikan. Banyak manusia merasa tidak nyaman jika mendekatinya bahkan ulat dianggap sebagai hama perusak tanaman. Akan tetapi dengan keyakinan, keteguhan, optimis pada dirinya seekor ulat melakukan ‘samadi – kontemplasi’ untuk sukses dalam evolusinya, dan ternyata berhasil menjadi mahluk mulia yang indah.
Belajar dari kupu-kupu yang awalnya dia hanya seekor ulat yang menjijikkan.Tapi setelah ia berubah rupa menjadi kupu-kupu yang cantik, siapa yang tidak suka melihatnya? Indah di lengan gandrung kan?
Dulu, ia hanya seekor ulat yang buruk rupa.
Dalam proses kehidupan ia pun berubah menjadi kepompong. Badannya terbujur kaku menggantung di dahan dan dedaunan.
Dengan perjuangan dan kesabarannya ia tetap kokoh di tempatnya bersemedi untuk berubah menjadi diri yang baru, menjadi kupu-kupu yang penuh pesona keindahan beterbangan ke sana kemari membantu penyerbukan bunga menjadi buah dari berbagai jenis tanaman.
Kupu menerima kodrat dalam siklus hidupnya, ia akan segera mati dengan meninggalkan segala keindahannya tapi sesudah dia memberi manfaat pada makhluk lain.

Nah…jadilah manusia yang belajar dari kupu-kupu, semua akan mati meninggalkan dunia, maka berusahalah saat masih hidup suka berbuat kebaikan, suka menolong orang lain dan hidupnya bisa memberi manfaat kepada siapapun.

(By Aekanu – Kiling Osing Banyuwangi)