Selamat Ulang Tahun Mas Ulil Abshar Abdalla Ke 55

 

Catatan Mohamad  Guntur Romli.8

Saya pertama kali bertemu dengan Mas Ulil di Cairo Mesir tahun 1999. Saya diajak senior saya, yang kini Dubes RI untuk Tunisia YM Zuhairi Misrawi menemani Mas Ulil yang saat itu berkunjung ke Cairo untuk bertemu dan mewancarai beberapa tokoh intelektual Mesir. Mas Ulil masih di Lakpesdam dan di Majalah Panji Masyarakat. Bertemu dengan alm Prof Hassan Hanafi di rumahnya. Bertemu Alm Prof Ali Mabruk di kampus Cairo University.

Mas Ulil tidak hanya wawancara namun sebenarnya mengadu gagasan dan melontarkan pertanyaan yang berasal dari kegelisahannya terhadap wacana keislaman. Yang saya kagum meskipun Mas Ulil tidak pernah kuliah di negeri Arab, tapi bahasa Arabnya sangat fasih dan menguasai perkembangan pemikiran dunia Arab yang kemudian saya ketahui belakang, berkat diskusi intens Mas Ulil sebagai aktivis muda NU, baik di PMII, Kajian 164 & Gus Dur yang mengenalkan pemikiran Hassan Hanafi, Abid Al-Jabiri dll.

Pertemuan dgn Hassan Hanafi yang paling mengesankan bagi saya. Proses rekaman yang masih menggunakan kaset dan tape recorder mengabadikan lontaran-lontaran gagasan Hassan Hanafi pada kritik tradisi Islam yang terlalu teosentris (keilahian) daripada antroposentris (kemanusiaan), pdhal agama diturunkan untuk kepentingan manusia, untuk membela rakyat (دفاعا عن الشعوب) bukan untuk membela Tuhan.

Misalnya ilmu aqidah adalah alat unt membela ketuhanan dengan teori yang abstrak, ghaib, padahal Tuhan kata Hassan Hanafi terkait dengan hal-hal konkret yang kemudian mengutip ayat 3-4 surat Quraisy “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah)”.

“Siapa Tuhan yg dimaksud ayat ini? Apa Dia ghaib, abstrak dgn teori2 yg njlimet?”

Kira-kira begitu kata Hassan Hanafi.

Tuhan itu kongkret, karena Dia “yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan”.

Jadi Tuhan itu konkret, Tuhan itu terkait dengan “hubz” (roti) [makanan pokok orang Mesir], dengan sistem yang memberikan rasa aman bagi manusia. Artinya, hal-hal ketuhanan itu bertranformasi dgn kemanusiaan yang konkret.

Saat itu Mas Ulil juga aktif melontarkan gagasan-gagasannya di milis KMNU dan selanjutnya mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) tahun 2001 bersama Mas Luthfi Assyaukanie, Nong Darol dll yang saya juga nikmati perkembangannya dari Mesir melalui milis Islam Liberal.

Gagasan-gagasan Mas Ulil dan JIL menghebohkan, khususnya tulisannya di Kompas tahun 2002 “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” dengan kalimat pembuka yang ciamik:

“Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.”

Namun yang lebih menohok lagi adalah kritik-kritik selanjutnya termasuk terhadap apa yang disebut sebagai jantung ajaran Islam, syariat Islam:

“Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.”

Ini yang lebih menonjok lagi:

“Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.”

Tidak adanya istilah ‘hukum Tuhan’ merupakan pandangan yang khas Abdullahi Ahmed Annaim, pemikir dari Sudan, murid Mahmud Thaha. Karena setiap hukum yang dipraktikkan di bumi untuk manusia, apapun sumbernya maka telah menjadi ‘hukum sekuler’ yang artinya sudah ada campur tangan manusia dengan proses penafsiran, pemilihan, kodifikasi dll.

Tahun 2000 saya pernah ikut diskusi dengan Annaim di Markaz al-Qahirah lid Dirasat wa Huquq al-Insan (Cairo Institute for Human Rights Studies), Annaim menolak keras pembedaan syariat dan fiqih. Karena menurutnya apa yang disebut syariat yang dipraktikkan tidak lepas dari penafsiran manusia yang sama dengan fiqih. Waktu itu hadir Dekan Fakultas saya, dari Fakultas Ushuludin Univ Al-Azhar, alm Prof Abd Mu’thi Bayumi yang mengkritik keras Annaim yang tidak mau membedakan antara syariat dan fiqih.

Sementara tulisan Mas Ulil di Kompas itu mengingatkan saya pada 2 tulisan dari 2 tokoh yang melakukan kritik terhadap wacana keislaman di masanya, yakni Soekarno pada tahun 1940 dan Nurcholish Madjid pada tahun 1970.

Yang unik mulai dari pemilihan judul. Bung Karno menggunakan istilah “Me-muda-kan Pengertian Islam”, Cak Nur memakai “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam”, Mas Ulil mengambil judul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”.

Tiga tulisan itu secara substansi hampir sama, semangatnya pun sama, dan bisa ditarik benang-benang merahnya.

Soekarno menulis “Me-‘muda’-kan Pengertian Islam” tahun 1940 di “Pandji Islam” yang melontarkan kritik pada wacana keislaman saat itu yg membuat heboh kelompok “modernis” dan “tradisonalis”.

Bung Karno mengajak umat Islam untuk melakukan perubahan terhadap pengertian/pemahaman terhadap agama. Bagi Bung Karno pemahaman agama adalah “panta-rei”, segala hal mengalir, segala hal berubah.

“Pokok tidak berubah, agama tidak berubah, Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan Sunnah Nabi tidak berubah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal inilah yang berubah. Pengoreksian pengertian itu selalu ada, dan mesti selalu ada. Pengoreksian itulah hakikat semua ijtihad, pengoreksian itulah hakikatnya semua penyelidikan yang membawa kita ke lapang kemajuan.”

Penyebab kemunduran dunia Islam menurut Bung Karno bukan karena Islamnya tapi karena Islam disalahpahami.

“Islam tidak menghalangi kemajuan, Islam hanyalah salah ditafsirkan, salah diinterpretasikan,”

Kemudian artikel dan pidato alm Cak Nur (Nurcholish Madjid) tahun 1970 “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang mengagas kebebasan berpikir dan sekularisasi yang memantik perdebatan.

“Dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme, sebab, secularism is the name of an ideology, a new closed world view which functions very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini terutama diperlukan karena umat Islam, akibat daripada perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan di antara nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu mana yang transendental dan mana yang temporal.”

Sayangnya istilah ‘sekularisasi’ yang dipakai Cak Nur disalahpahami dgn dituduh Cak Nur mau men-sekuler-kan agama Islam. Karena istilah sekuler dianggap negatif. Ini juga nasib yang sama dgn istilah ‘liberal’ yang dianggap negatif. Sehingga wacana ‘sekularisasi’ ala Cak Nur dan ‘liberal’ ala Mas Ulil lebih banyak disalahpahami daripada dimengerti, sehingga muncul kontroversi.

Soal pentingnya kebebasan berpikir, Cak Nur menulis:

“Dalam hal inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali lagi akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya.”

Karena tulisan itu, Mas Ulil pernah difatwa mati. Kerasnya kritik Mas Ulil tidak bisa dipisahkan dari konteks kekerasan atas nama yang sedang memuncak saat itu. Bom 11 September 2001 di AS. Bom Bali pertama 12 Oktober 2002.

Waktu itu, Jaringan Islam Liberal terhitung sendirian berperang melawan radikalisme dan terorisme atas nama Islam. Ormas-ormas Islam yang lain, serta tokoh-tokoh Islam lainnya kecuali Gus Dur masih sibuk menafikan kaitan antara aksi terorisme dengan wacana keislaman.

Bagi saya, kontribusi besar Jaringan Islam Liberal terhadap perang wacana anti radikalisme dan terorisme keagamaan tidak bisa dihapuskan.

Selain direspon kelompok intoleran dan garis keras (Mas Ulil sampai dikirim bom buku!) wacana Islam Liberal memantik kreativifas dari kalangan pembaru lainnya, muncul wacana Islam Emansipatoris, Post-Tradsionalisme Islam, Islam Pembebasan, Islam Sosialis, Islam Moderat, Islam Rasional dll yang artinya membaca pemikiran Islam dgn perspektif. Karena atribut yang diletakkan setelah Islam itu sebenarnya adalah perspektif, seperti halnya dulu membaca Islam dari perspektif ilmu fiqih, ilmu kalam, tasawuf dll demikian pula belakangan muncul istilah Islam Nusantara ala KH Said Aqil Sirodj dan Islam Wasathiyah ala MUI merupakan pembacaan terhadap ajaran Islam dengan perspektif.

Kekaguman saya pada Mas Ulil, kagum pada pemikiran dan keberaniannya, saat saya menjadi Wakil Ketua Tanfidziyah PCI NU Mesir tahun 2003, waktu itu kami menyelenggarakan Silaturahim Kader NU Luar Negeri, kami mengundang tokoh-tokoh dari PBNU di Indonesia, saya mengajukan nama Mas Ulil dan Mbak Musdah Mulia sebagai pembicara. Selain itu KH Said Aqil Sirodj dan alm KH Hasyim Muzadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU.

Mas Ulil satu panggung bersama pemikir-pemikir Mesir, Hassan Hanafi dengan membawakan makalah berbahasa Arab. Demikian pula KH Said Aqil Sirodj dan Mbak Musdah Mulia, kami, kader-kader NU di Mesir saat itu merasa bangga, pemikir-pemikir Indonesia tidak kalah dengan pemikir-pemikir Mesir yg kala itu menjadi gara terdepan pembaruan pemikiran Islam di dunia Arab.

Akhir tahun 2004 saya kembali ke Indonesia, pertengahan tahun 2005 saya diajak Mas Ulil gabung Jaringan Islam Liberal. Di Utan Kayu, selain di Jaringan Islam Liberal saya juga diminta menjadi host, bersama Alif dan KH Wahid Maryanto di acara Kongkow Bareng Gus Dur di KBR 68 H, acara rutin tiap Sabtu pagi bersama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tahun 2005 sampai Gus Dur wafat tahun 2009.

Dalam tahun-tahun belakangan, tak sedikit yang menganggap Mas Ulil sudah berubah. Alasannya karena rajin mengaji kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali, yg dikenal kritis terhadap filsafat, mencurigai rasionalitas dan mengagungkan tasawuf. Disebut kontras dgn wacana Islam Liberal yg sebelumnya digelorakan Mas Ulil. Karena tokoh pemikir klasik yang sering dijadikan rujukan wacana Islam Liberal adalah Ibn Rusyd (Averroes) bukan Imam Al-Ghazali.

Ibn Rusyd pula yang menulis bantahan terhadap Imam Al-Ghazali dalam kitab Tahafut Tahafut (Kerancuan Buku Kerancuan) atas karya Imam Al-Ghazali Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf). Ibn Rusyd sebagai filosuf yang mengkritik balik Imam Al-Ghazali, seorang teolog.

Ada yang menyebut, ada ‘Ulil Lama’ ada ‘Ulil Baru’. Seperti halnya dulu Imam Syafii yang memiliki dua pendapat. ‘Qaul Qadim’ (Pendapat Lama) dan ‘Qaul Jadid’ (Pendapat Baru). Ulil Lama pendiri dan tokoh Islam Liberal. Ulil Baru, Penafsir dan Pembela Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.

Namun saya tidak melihatnya demikian. Karena, Mas Ulil tidak pernah mengoreksi pendapat-pendapat lamanya. Wacana Islam Liberal yang pernah dilontarkan Mas Ulil tidak ada yang dikoreksi.

Pandangan-pandangannya terkait dialog antar agama, kesetaraan kaum beriman, nikah beda agama, penolakannya terhadap kelompok intoleran dan garis keras, dll yg bisa kita baca arsip tulisan-tulisan Mas Ulil di website islamlib.com atau buku-buku yang ia terbitkan.

Hal ini berbeda dari “qaul jadid” Imam Syafii yang berbeda dari “qaul qadim”. Kalau ada yang berbeda dari Mas Ulil mungkin gayanya saja.

Kalau wacana ‘Islam Liberal’ tidak ada yang diubah dan dikoreksi, maka, wacana ‘Islam Tasawuf’ merupakan hal yang “plus” bagi Ulil Abshar-Abdalla.

Kalau di wacana ‘Islam Liberal’ Mas Ulil mengedepankan dan berkutat di rasionalitas, dan bisa jadi sudah sampai di batasnya (limit/mentok) maka, Mas Ulil pun merambah jalur baru: spiritualitas. Artinya “Ulil plus” yang menggabungkan rasionalitas dan spiritualitas. Mas Ulil adalah musim liberal plus sufi.

Saya teringat dengan ‘jalan tengah’ yang pernah disampaikan alm Jalaludin Rakhmat (Kang Jalal), sewaktu diminta respon soal wacana ‘Islam Fundamentalis’ dengan ‘Islam Liberal’, Kang Jalal menyuguhkan ‘Islam Sufistik’ yang menurutnya lebih akan bisa diterima oleh masyarakat Indonesia.

Gus Dur juga punya pendapat yang senada. Wacana ‘Islam Liberal’ disalahpahami karena istilah ‘liberal’nya. Gus Dur pun melakukan pembaruan baik di tubuh NU atau di pemikiran Islam di Indonesia, tanpa embel-embel.

“Coba JIL ganti nama dengan Jilbab, atau Jidat (Jaringan Islam unt Demokrasi dan Toleransi) gak akan ditolak” hehehe kata Gus Dur sambil bergurau di Utan Kayu saat tahun 2005, sewaktu ada aksi pembubaran JIL.

Namun bagi saya Imam Al-Ghazali bisa diletakkan dalam rumpun ‘sufi yang liberal’ kalau mau menggunakan perspektif liberal terhadap tradisi tasawuf. Parameternya adalah otonomi individu dan kebebasan.

Karya-karya Imam Al-Ghazali sangat mementingkan otonomi individu dalam perjalanan spiritualnya (seorang “salik”), tidak terikat dan fanatik pada satu tarekat (thariqah), keintiman dengan ilaihi merupakan pengalaman yang sangat individual.

Membaca karya-karya Imam Al-Ghazali, setiap kita, setiap individu kita diajak untuk mendaki menjadi individu yang memiliki imajinasi dan pengalaman personal dalam berelasi dengan Tuhan.

Kemesraan dengan Tuhan merupakan pengalaman personal yang membebaskan dan sangat pribadi bukan pengalaman komunal yang sering merepresi.

Namun pembahasan ini bisa di lain tulisan karena bisa kepanjangan. Sambil merujuk ke kitab karya Prof Abu Ala Afifi bahwa tasawuf adalah “ats-tsawrah ar-ruhiyyah fil Islam” (revolusi spiritual dalam Islam).

Walhasil, ‘memahami’ Mas Ulil saat ini mungkin bisa juga dengan istilah pesantren, saat ini Ulil sedang me-‘nashab’-kan dirinya menjadi ‘abdallah’ (hamba Allah) dengan tenggelam dalam tasawuf setelah sebelumnya menjadi ‘abshar’ yang lebih dekat dengan akal, rasionalitas.

Meng-abdallah-kan Ulil Abshar ini yang sedang terjadi.

Mohamad Guntur Romli

Keterangan foto:

Mengunjungi kediaman Mas Ulil & Mbak Ienas @tsuroiya bersama @nongandah Cak Fu @bahrulfuad @pradhanaadimukti unt mengucapkan selamat ulang tahun. Istimewanya hadir juga KH Zainal Abidin al-Hafidz yg tunanetra yg tdk dikabari yg ‘kebetulan’ ikut datang dan memberikan doa 🙏.