Ratu Pitu dan Satriyo Wirang

Catatan Mas Aryo Ronggolawe.

Percaturan & perebutan tahta kekuasaan di Tanah Jawa, jauh sebelum negara ini berdiri sudah seringkali terjadi. Mulai era Mataram Kuno (Medang) antara Wangsa Sailendra dan Sanjaya. Ketika Mataram migrasi ke Jawa Timur dibawah kekuasaan wangsa Isyana, anak cucu keturunan Mpu Sendok pun terlibat pertikaian. Sehingga Kahuripan di bagi menjadi 2, Jenggala dan Panjalu.

 

Berlanjut ke era Singhasari dan Tumapel, Ken Arok yang berhasil membunuh Tunggul Ametung mendeklarasikan diri sebagai Raja Singhasari dan memulai membangun wangsa (dinasti) baru. Namun pada akhirnya, Ken Arok pun tewas bersimbah darah dibunuh oleh anaknya sendiri. Bagaikan dendam tujuh turunan, anak cucu Ken Arok pun saling bunuh, antara Tohjaya dan Anusapati.

Kemudian di era Kediri, Kertanegara yang masih trah wangsa Ken Arok Singhasari dibunuh oleh Jayakatwang Raja Kediri. Dan ketika di era awal Majapahit berdiri, Jayakatwang berhasil dilenyapkan oleh Wijaya (menantu Kertanegara) dengan strategi politik “nabok nyilih tangan” menggunakan kekuatan pasukan Tar Tar Mongol.

Perebutan kekuasaan berlanjut kembali diakhir kemunduran Majapahit, Raden Patah berhasil mengkudeta ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya V Majapahit atas ‘dukungan politik’ dari Wali Sanga.

Di era Demak pun perebutan tahta terus mengalirkan darah. Dendam kesumat & permusuhan satu keluarga antara Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat, Jaka Tingkir melawan saudara sepupunya sendiri yaitu Aryo Penangsang (Adipati Jipang Panolan) yang menuntut balas atas kematian ayahnya Pangeran Seda Lepen yang dibunuh oleh anak Sultan Trenggono untuk menguasai tahta Kesultanan Demak Bintoro.

Perseteruan berlanjut ke era Pajang dan Mataram Islam, juga terjadi kemelut politik antara Jaka Tingkir (Sultan Hadi Wijaya) dengan Ki Ageng Pemanahan & Sutawijaya (Panembahan Senapati) yang menuntut realisasi janji pemberian hadiah tanah Mentaok atas kemenangannya dalam sayembara membunuh Adipati Jipang Aryo Penangsang.
(bersambung..)