
Paulus Sarwendo (26 November 1948 – 19 Juli 2019) adalah sang pengarang. Lewat mengaranglah, kita kenali ia sebagai Arswendo Atmowiloto. Pengubahan dari Sarwendo ke Arswendo, membuktikannya.
ARSWENDO, MASUK SORGA ITU GAMPANG | Paulus Sarwendo (26 November 1948 – 19 Juli 2019) adalah sang pengarang. Lewat mengaranglah, kita kenali ia sebagai Arswendo Atmowiloto. Pengubahan dari Sarwendo ke Arswendo, membuktikannya.
Tapi dengan ketentuan dan syarat berlaku tentunya. Ketika menulis buku ‘Mengarang itu Gampang’, ia sangat serius membuktikannya. Setidaknya, setahu saya, buku itu ditulis di salah satu mesin ketik diantara 3 mesin ketik lainnya, yang masing-masing juga sedang berproses melahirkan kata-kata. Ia bisa mengarang berpindah-pindah di 4 mesin ketik yang ditata melingkar di ruang kerjanya.
Arswendo, sebagaimana Remy Sylado, pengarang yang bisa dalam waktu relative bersamaan, menulis 3-4 karangan sekaligus. Karangan itu bukan hanya berupa cerpen, atau novel, tetapi juga kadang artikel untuk koran, majalah, juga puisi, atau karangan-karangan lain berupa refleksi. Salah satu puncaknya, best-seller novel ‘Senopati Pamungkas’ (1986 – 2003) yang belum tertandingi di Gramedia. Meski, saya juga menduga, karya ini lahir setelah Kompas memuat cerber Musashi karya Eiji Yoshikawa (1983).
Mengapa saya lebih menyebut Mas Wendo sebagai pengarang? Karena sebutan itu tak lebih rendah dari sebutan penulis, jurnalis, wartawan, atau seniman dan budayawan, yang layak disandangnya. Sebutan pengarang, hanya untuk menunjukkan betapa piawai ia merangka kata menjadi makna. Itu juga menunjukkan bagaimana produktivitasnya.
Di luar kerja rutinnya dunia jurnalistik (majalah, tabloid, koran), Arswendo bak pemain sirkus. Jumpalitan ke sana-kemari, dan indah. Serangkaian buah karangannya, sebagiannya menjadi legenda. Imung, Keluarga Cemara, Senopati Pamungkas, juga karangan lain berupa ‘Hai’, ‘Monitor’, adalah bukti-bukti itu, di samping serentetan skenario film layar lebar, seperti ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ dan ‘Opera Jakarta’.
Darimana semua itu? Saya kira dari latar belakang keluarga. Ayahnya, Atmowiloto, seorang yang berkecimpung di media, Darmo Kondho (memang demikian namanya yang mulai terbit 1920. Kita perlu cek lagi soal ini, karena tahun 1913 terbit koran dengan nama Darmo Kandha, namun tahun 1969 ada pula Dharma Kandha) Solo.
Saya menduga, kemampuannya ‘mengarang’ Senopati Pamungkas, bisa jadi berawal dari dokumentasi bapaknya, Pak Atmowiloto. Itu pun bisa jadi sekiranya Pak Atmo menyimpan kitab-kitab lama. Sebagaimana di dunia komik, Jan Mintaraga, juga bisa mengarang komik silat berjudul ‘Imperium Majapahit’, ‘Api di Rimba Mentaok’, dll, yang tebalnya minta ampun. Saya baru ngeh ketika mewawancarainya dulu (1984), Jan mengatakan karena ayahnya adalah pegawai perpustakaan di Kraton Yogyakarta.
Karena itu, bagi Arswendo, mengarang itu gampang, sepanjang sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku. Apa saja syarat dan ketentuannya? Bukan sekedar bakat, melainkan bagaimana lingkungan mengasah. Ia diasah literasi oleh orangtuanya. Ia juga terdidik oleh penderitaan dan kemiskinan, sampai pernah jadi kuli pabrik mie bihun. Hingga kemudian pada pertengahan dekade 70-an, bersama kakaknya, Satmowi, naik sepeda motor goncengan dari Solo ke Jakarta, untuk ‘mengarang’ kesuksesan itu menjadi nyata.
Mas Wendo banyak menulis, apa saja, dengan berbagai nama samaran. Nama-nama samaran yang cem-macem, seenaknya, untuk sekedar mengatakan betapa semuanya itu tak penting, kecuali honornya. Karena dengan itulah ia menghidupi anak dan isterinya. Arswendo benar-benar hanya hidup dari dan untuk mengarang. Mbak Agnes, isterinya, mengurus segala sesuatu urusan rumah tangga. Sampai soal memberesi genteng bocor Mas Wendo nggak ngerti. Meski yatim piatu sejak remaja itu, menurut majalah Tempo, kadang harus melolosi beberapa biji genteng rumah orangtuanya, dijual untuk membeli beras.
Fenomena lain Mas Wedo adalah ‘Monitor’. Dari sebuah majalah kehumasan TVRI, ia sulap menjadi tabloid yang menghebohkan, dari segi isi dan oplah. Tabloid yang bukan hanya diisi dengan acara televisi pada awalnya, melainkan juga berisi gossip artis. Dan hal itu belakangan menjadi trend (viral istilah sekarang). Bayangkan, Monitor hidup pada jaman belum ada televisi swasta, tetapi ia bisa mengolah gossip artis menjadi berita panas yang meledakkan oplah tabloid itu hingga mendekati 1 juta eksemplar.
Mas Wendo cerita rahasianya, bagaimana bisa mendapat gossip paling panas dari artis dengan cerita-cerita miringnya. Ia membayar memberapa artis papan atas (juga yang senior yang sering jadi tempat curcol), menjadi informannya! Bukan barang baru sih, mungkin Mas Wendo meniru Harmoko dalam menghidupkan koran Pos Kota. Yakni membayar polisi-polisi sektor di seantero Jakarta, yang ketika membuat BAP juga sekaligus mengirimkannya ke Pos Kota. Dan Pos Kota memberi honor untuk itu.
Selepas dari Monitor, ‘ dan pernah mampir di bui 1990, Arswendo diambil konglomerat Sudwikatmono, berkantor di Petamburan. Di depan Mas Wendo, saya dan Rohi pernah mendebat optimismenya, yang hendak meluncurkan ‘Tabloid Dangdhut’ waktu itu. Saya bilang padanya, pandemen musik ndangdhut bukan pembaca media. Mereka penikmat musik, goyang pinggul dan susu. Tabloid Dangdhut nggak sukses. Dan saya benar, dan Mas Wendo bayar kost-kostan saya di Slipi, untuk 3 bulan yang tertunggak.
Mas Wendo orang baik, kadang menjengkelkan meski dalam anekdotis. Pernah suatu ketika, ia dolan ke sebuah penerbitan koran. Sang redaktur rubrik budaya menyambutnya senang. Tapi katanya kemudian, “Mas, mana cerpen yang dijanjikan?”
Mas Wendo lupa, dia pernah utang (istilah kerennya kasbon), dengan janji menulis cerpen. Tapi seperti biasa, ia lupa. Padahal duit sudah tak ada bekasnya. Mungkin untuk bayar SPP anaknya, atau untuk memperbaiki rumah. Jaman dulu, kasbon dengan janji karya, hal biasa. Masih banyak media yang manusiawi dan baik budi. Nah, ditagih begitu, Mas Wendo bergaya garuk-garuk kepala, terus bilang, “Ya, kosik,…”
Ia pinjam mesin tulis yang ada di meja sang redaktur. Ketak-ketik-ketuk, 15 menit kemudian sebuah cerpen kelar. Hahahahahahahaaakkk, tawa Mas Wendo pun pecah dengan khasnya. Dan utang pun lunas.
Mengarang itu gampang. Hidup itu gampang. Dan semoga Mas Wendo juga digampangkan, dilapangkan, dikeabadian Sang Maha Pengarang.
(Sunardian Wirodono)
Tapi dengan ketentuan dan syarat berlaku tentunya. Ketika menulis buku ‘Mengarang itu Gampang’, ia sangat serius membuktikannya. Setidaknya, setahu saya, buku itu ditulis di salah satu mesin ketik diantara 3 mesin ketik lainnya, yang masing-masing juga sedang berproses melahirkan kata-kata. Ia bisa mengarang berpindah-pindah di 4 mesin ketik yang ditata melingkar di ruang kerjanya.
Arswendo, sebagaimana Remy Sylado, pengarang yang bisa dalam waktu relative bersamaan, menulis 3-4 karangan sekaligus. Karangan itu bukan hanya berupa cerpen, atau novel, tetapi juga kadang artikel untuk koran, majalah, juga puisi, atau karangan-karangan lain berupa refleksi. Salah satu puncaknya, best-seller novel ‘Senopati Pamungkas’ (1986 – 2003) yang belum tertandingi di Gramedia. Meski, saya juga menduga, karya ini lahir setelah Kompas memuat cerber Musashi karya Eiji Yoshikawa (1983).
Mengapa saya lebih menyebut Mas Wendo sebagai pengarang? Karena sebutan itu tak lebih rendah dari sebutan penulis, jurnalis, wartawan, atau seniman dan budayawan, yang layak disandangnya. Sebutan pengarang, hanya untuk menunjukkan betapa piawai ia merangka kata menjadi makna. Itu juga menunjukkan bagaimana produktivitasnya.
Di luar kerja rutinnya dunia jurnalistik (majalah, tabloid, koran), Arswendo bak pemain sirkus. Jumpalitan ke sana-kemari, dan indah. Serangkaian buah karangannya, sebagiannya menjadi legenda. Imung, Keluarga Cemara, Senopati Pamungkas, juga karangan lain berupa ‘Hai’, ‘Monitor’, adalah bukti-bukti itu, di samping serentetan skenario film layar lebar, seperti ‘Pacar Ketinggalan Kereta’ dan ‘Opera Jakarta’.
Darimana semua itu? Saya kira dari latar belakang keluarga. Ayahnya, Atmowiloto, seorang yang berkecimpung di media, Darmo Kondho (memang demikian namanya yang mulai terbit 1920. Kita perlu cek lagi soal ini, karena tahun 1913 terbit koran dengan nama Darmo Kandha, namun tahun 1969 ada pula Dharma Kandha) Solo.
Saya menduga, kemampuannya ‘mengarang’ Senopati Pamungkas, bisa jadi berawal dari dokumentasi bapaknya, Pak Atmowiloto. Itu pun bisa jadi sekiranya Pak Atmo menyimpan kitab-kitab lama. Sebagaimana di dunia komik, Jan Mintaraga, juga bisa mengarang komik silat berjudul ‘Imperium Majapahit’, ‘Api di Rimba Mentaok’, dll, yang tebalnya minta ampun. Saya baru ngeh ketika mewawancarainya dulu (1984), Jan mengatakan karena ayahnya adalah pegawai perpustakaan di Kraton Yogyakarta.
Karena itu, bagi Arswendo, mengarang itu gampang, sepanjang sesuai dengan syarat dan ketentuan berlaku. Apa saja syarat dan ketentuannya? Bukan sekedar bakat, melainkan bagaimana lingkungan mengasah. Ia diasah literasi oleh orangtuanya. Ia juga terdidik oleh penderitaan dan kemiskinan, sampai pernah jadi kuli pabrik mie bihun. Hingga kemudian pada pertengahan dekade 70-an, bersama kakaknya, Satmowi, naik sepeda motor goncengan dari Solo ke Jakarta, untuk ‘mengarang’ kesuksesan itu menjadi nyata.
Mas Wendo banyak menulis, apa saja, dengan berbagai nama samaran. Nama-nama samaran yang cem-macem, seenaknya, untuk sekedar mengatakan betapa semuanya itu tak penting, kecuali honornya. Karena dengan itulah ia menghidupi anak dan isterinya. Arswendo benar-benar hanya hidup dari dan untuk mengarang. Mbak Agnes, isterinya, mengurus segala sesuatu urusan rumah tangga. Sampai soal memberesi genteng bocor Mas Wendo nggak ngerti. Meski yatim piatu sejak remaja itu, menurut majalah Tempo, kadang harus melolosi beberapa biji genteng rumah orangtuanya, dijual untuk membeli beras.
Fenomena lain Mas Wedo adalah ‘Monitor’. Dari sebuah majalah kehumasan TVRI, ia sulap menjadi tabloid yang menghebohkan, dari segi isi dan oplah. Tabloid yang bukan hanya diisi dengan acara televisi pada awalnya, melainkan juga berisi gossip artis. Dan hal itu belakangan menjadi trend (viral istilah sekarang). Bayangkan, Monitor hidup pada jaman belum ada televisi swasta, tetapi ia bisa mengolah gossip artis menjadi berita panas yang meledakkan oplah tabloid itu hingga mendekati 1 juta eksemplar.
Mas Wendo cerita rahasianya, bagaimana bisa mendapat gossip paling panas dari artis dengan cerita-cerita miringnya. Ia membayar memberapa artis papan atas (juga yang senior yang sering jadi tempat curcol), menjadi informannya! Bukan barang baru sih, mungkin Mas Wendo meniru Harmoko dalam menghidupkan koran Pos Kota. Yakni membayar polisi-polisi sektor di seantero Jakarta, yang ketika membuat BAP juga sekaligus mengirimkannya ke Pos Kota. Dan Pos Kota memberi honor untuk itu.
Selepas dari Monitor, ‘ dan pernah mampir di bui 1990, Arswendo diambil konglomerat Sudwikatmono, berkantor di Petamburan. Di depan Mas Wendo, saya dan Rohi pernah mendebat optimismenya, yang hendak meluncurkan ‘Tabloid Dangdhut’ waktu itu. Saya bilang padanya, pandemen musik ndangdhut bukan pembaca media. Mereka penikmat musik, goyang pinggul dan susu. Tabloid Dangdhut nggak sukses. Dan saya benar, dan Mas Wendo bayar kost-kostan saya di Slipi, untuk 3 bulan yang tertunggak.
Mas Wendo orang baik, kadang menjengkelkan meski dalam anekdotis. Pernah suatu ketika, ia dolan ke sebuah penerbitan koran. Sang redaktur rubrik budaya menyambutnya senang. Tapi katanya kemudian, “Mas, mana cerpen yang dijanjikan?”
Mas Wendo lupa, dia pernah utang (istilah kerennya kasbon), dengan janji menulis cerpen. Tapi seperti biasa, ia lupa. Padahal duit sudah tak ada bekasnya. Mungkin untuk bayar SPP anaknya, atau untuk memperbaiki rumah. Jaman dulu, kasbon dengan janji karya, hal biasa. Masih banyak media yang manusiawi dan baik budi. Nah, ditagih begitu, Mas Wendo bergaya garuk-garuk kepala, terus bilang, “Ya, kosik,…”
Ia pinjam mesin tulis yang ada di meja sang redaktur. Ketak-ketik-ketuk, 15 menit kemudian sebuah cerpen kelar. Hahahahahahahaaakkk, tawa Mas Wendo pun pecah dengan khasnya. Dan utang pun lunas.
Mengarang itu gampang. Hidup itu gampang. Dan semoga Mas Wendo juga digampangkan, dilapangkan, dikeabadian Sang Maha Pengarang.
(Sunardian Wirodon
Jurnalis Citizen