Workshop Penulisan Babad Desa

 

Oleh: Wawan Susetya*

 

Disampaikan dalam Workshop Penulisan Babad Desa bersama Diskursus Institute (Yayasan Nurul Afkar Nusantara) Tulungagung

Nangkula Park Kendalbulur-Kec. Boyolangu, Rabu 13 Oktober 2021

 

Arti Penting Mengenai Buku

  1. Buku (tulisan) identik dengan “jendela dunia”; artinya dengan membaca dan menulis buku, maka kita dapat mengetahui seluk-beluk mengenai kehidupan di berbagai negara di dunia, misalnya berkaitan dengan bahasa, budaya dan adat-istiadat, ilmu pengetahuan, potensi Sumber Daya Alam, dan sebagainya.
  2. Buku atau tulisan identik dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan kemajuan peradaban suatu negara. Dengan demikian, semakin banyak anak bangsa yang menulis buku, maka negara tersebut memiliki peluang yang lebih besar menjadi negara yang berperadaban tinggi.

Demikian halnya bila gagasan mengenai penulisan Babad Desa ini mendapat respon atau sambutan hangat dari para Kades (kepala desa) sebagai pemangku desa, niscaya semua potensi desanya akan terangkat ke permukaan sebagai ekspresi sosialisasi kepada masyarakat luas.

 

Menemukan Jati Diri sebagai Bangsa Nusantara

Membaca, meneliti (research) atau mempelajari dan mengkaji sejarah atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu pada bangsa dan peradaban kita merupakan sesuatu yang sangat penting. Selain dapat menambah wawasan peristiwa di masa lalu, dengan mempelajari dan mengkaji sejarah, kita akan dapat menemukan nilai-nilai positif atau baik, sehingga diharapkan akan menjadi lebih bijaksana.

Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah mengatakan, semakin jauh seseorang menelaah atau mempelajari peristiwa sejarah peradaban bangsa di masa lalu, maka kita akan semakin besar mendapatkan peluang menemukan jati diri kita sebagai bangsa.

Siapa yang menyangka bahwa Nusantara sebagai bangsa, ternyata pernah mengalami masa kejayaan atau masa keemasan di dunia ini, yakni;

  1. Pada masa Kerajaan Sriwijaya abad VII (di Palembang, Sumatera Selatan)
  2. Pada masa Kerajaan Majapahit abad XIV yang konon kekuasaannya mencapai sepertiga dunia lebih.

Dari fenomena atau momentum hebat tersebut, nampaknya ada siklus (perputaran) 7 (tujuh) abad yaitu abad 7 ke 14. Bila abad 14 ditambah 7 abad, yakni abad 21 (dari tahun 2001-2009) yang tidak menutup kemungkinan bangsa (Nusantara) akan mengalami masa kejaayan atau masa keemasan kembali. Hal itu tidak berlebihan karena pada masa lalu kita sebagai bangsa Nusantara pernah mengalami masa keemasan atau masa kejayaan itu. Beberapa tokoh nasional, seperti Bung Karno, paranormal Permadi, budayawan Emha Ainun Nadjib dan masih banyak lagi bahkan pernah melontarkan pemikirannya tentang masa depan (futurolog) bahwa bangsa Indonesia akan menjadi negara mercusuar dunia. Bahkan Presiden Jokowi pun telah mempersiapkan negara kita menjadi “negara maju” pada tahun 2045 yang bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka.

Kalau kita sebagai bangsa Nusantara pada masa lalu merupakan bangsa yang besar yang kekuasaannya sepertiga dunia lebih dan disegani negara-negara lain, lalu mengapa kita sekarang ini merasa rendah diri atau minder kepada bangsa lain di dunia? Yang membanggakan kita lainnya, misalnya diakuinya Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah sebagai tujuh (karya) keajaiban dunia. Bukan hanya itu, bahkan kesenian wayang kulit, gamelan, dan keris sudah diakui sebagai “warisan dunia” oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York AS.

Dengan demikian, ternyata kita sebagai bangsa Nusantara pada masa lalu identik dengan Burung Garuda yang menjadi lambang negara kita yang gagah perkasa. Ternyata kita sebagai bangsa Nusantara di masa adalah Burung Garuda yang dapat terbang bebas melanglang buana. Namun, kita juga tidak menutup mata bangsa kita pernah dijajah dan ditindas oleh Belanda selama 350 tahun dan Jepang selama 3.5 tahun. Kita yang semula bangsa yang besar dan bangsa yang disegani bangsa-bangsa lain akhirnya menjadi bangsa yang kerdil, bangsa yang dihina-hinakan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, bahkan hendak dijadikan sebagai antek-anteknya pula. Berkat rahmat Tuhan, akhirnya kita dapat melepaskan diri dari penjajahan tersebut. Dalam hal ini tentu kita merasa ‘berhutang budi’ kepada para pahlawan kita yang telah rela mengobarkan diri dan nyawa mereka demi kemerdekaan bangsa kita.

Wajar pula jika Bung Karno pernah berpesan; “Jangan pernah melupakan sejarah!”

Hal ini penting, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para pahlawannya. Padahal, seseorang tidak akan mengetahui pahlawannya jika tidak mengkaji masalah sejarah. Dan ada baiknya pula kita mengingat-ingat pesan Trisakti Bung Karno:

  1. Berdaulatan dalam politik
  2. Berdikari dalam perekonomian
  3. Berkepribadian dalam kebudayaan

Sejarah besar bangsa kita di masa lalu tentu hanya menjadi kenangan saja jika kita tidak berupaya menggali potensi sejarah bangsa untuk diambil pelajaran dan hikmahnya; bagaimana kita memiliki kesadaran kembali untuk menjadi bangsa yang besar seperti di masa lalu?

Dalam konteks ini, patut kiranya kita memandang kisah sejarah dengan penuh kesadaran, sebagaimana dinyatakan oleh James Thurber: “Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan lihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah di sekitarmu penuh kesadaran!”

 

Jati Diri dalam Skala Kecil Melalui Babad Desa

Jika kita melacak tokoh spiritual yang sangat terkenal numbali Tanah Jawa yaitu Syekh Subakir sekitar abad 14. Tugu (pathok)-nya ditancapkan di puncak Gunung Tidar Magelang yang konon tempat tersebut merupakan titik tengah atau berada di tengah-tengh (sentral) Pulau Jawa, dari barat, timur, utara, selatan.  Syekh Subakir bersama para tokoh Wali Sanga generasi awal (seperti Syekh Jumadil Qubra, Syekh Maulana Maghrib Ibrahim dan lain-lain) melakukan syi’ar dakwah di Tanah Jawa. Dengan demikian, dalam konteks Tanah Jawa, Syekh Subakir selain dikenal sebagai yang numbali (Tanah Jawa) sekaligus dikenal sebagai yang akal-bakal atau yang telah babad alas (membuka hutan) di Jawa.

Dari skala besar (nasional) yang lebih mengarah pada tujuan menemukan jati diri kita sebagai bangsa Nusantara (dalam skala nasional) hingga ke skala di bawahnya (Tanah Jawa), lalu kita berlanjut menemukan jadi diri kita dalam skala yang lebih kecil melalui penulisan babad desa; yakni berusaha mengangkat cerita sejarah yang pernah terjadi di desa kita. Boleh jadi kita berangkat untuk mencari tahu; siapakah tokoh yang pertama kali melakukan babad desa (membuka desa) atau yang kemudian dikenal dengan istilah akal-bakal atau cikal-bakal desa setempat? Pada prinsipnya cerita mengenai babad desa identik dengan sejarah yang pernah terjadi di desa tersebut, baik yang berhubungan dengan legenda, cerita rakyat atau tutur-tinular (cerita dari mulut ke mulut).

Untuk menggali lebih dalam mengenai cerita atau sejarah yang terjadi di desa melalui penulisan babad desa berdasarkan studi Anthropologi, maka diperlukan pelacakan melalui beberapa hal, yakni;

Pertama, melalui situs (merupakan benda peninggalan sejarah), manuskrip (catatan tertulis peninggalan sejarah), dan sebagainya.

Kedua, dokumen berupa buku atau jurnal hasil riset sebelumnya.

Ketiga, cerita tutur melalui tokoh desa (masyarakat) setempat.

Model penulisan buku babad desa seperti itu sebagaimana hadirnya buku yang berjudul Sambijajar Tempo Doeloe (Melacak Sejarah Desa dari Cerita) tentang babad desa karya Sdr. Saiful Mustofa (Penerbit Diskursus Institute, 2021). Lembaga Diskursus Institute sendiri merupakan lini dari Yayasan Nurul Afkar Nusantara yang concern pada kajian dan riset di bidang keagamaan dan budaya.

Pada dasarnya desa-desa di wilayah Kabupaten Tulungagung memiliki potensi besar untuk diangkat menjadi tulisan berupa buku babad desa seperti buku Sambijajar Tempo Doeloe itu. Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak desa di Tulungagung yang memiliki situs atau peninggalan sejarah yang belum diangkat menjadi buku. Situs peninggalan sejarah tersebut, misalnya peninggalan Kerajaan Majapahit dan Kasultanan Mataram.

  1. Situs atau peninggalan sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit, misalnya Candi Gayatri Boyolangu, Candi Cungkup di Sanggrahan, Gua Selomangleng di Pucung Kidul, Candi Dadi di Wajak Kidul, Gua Pasir di Pasir, Pegunungan Wali Kukun yang memanjang di kawasan Wajak Kidul, Gua Tritis di Tanggung Campurdarat, Candi Mirigambar, dan sebagainya.
  2. Situs atau peninggalan Islam berupa masjid dan pendapa atau peniggalan Kasultanan Mataram, seperti Perdikan Tawangsari, Winong, dan Majan.
  3. Situs bekas pertapaan Raden Wijaya (Raja Majapahit pertama) di daerah Tanggung gunung.
  4. Masjid Macan Bang (di Desa Macan Bang, Kec. Gondang) yang diperkirakan peninggalan Sunan Kuning (nama aslinya Syekh Zaenal Abidin, menantu Sunan Ampel) di zaman Wali Sanga
  5. Makam Bedalem di Desa Besole yang diduga makam Pangeran Benawa, putra Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) Raja Pajang.
  6. Makam Mbah Wali Mesir di Podorejo, Kec. Sumbergempol yang merupakan tokoh spiritual sekaligus guru Bupati Ngrowo (di Tulungagung) ke-11 Parto Wijoyo.
  7. Makam Surontani di Wajak yang merupakan tokoh bergelar Tumenggung pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).
  8. Prasasti Penampihan I dan Prasasti Penampihan II (Prasasti Kubu-Kubu I) di lereng barat daya Gunung Wilis pada tahun 898 M (tahun 820 Saka) yang merupakan peninggalan masa pemerintahan Raja Balitung (Kerajaan Mataram Kuno) pada abad X.
  9. Setelah itu juga bisa digali dan dilacak sejarah Kabupaten Ngrowo (Tulungagung) dari Katumenggungan Wajak, Kabupaten Ngrowo di Kalangbret, Kabuten Ngrowo di Tulungagung, Kabupaten Tulungagung di Tulungagung.

 

10 OPK (Obyek Pemajuan Kebudayaan)

Berdasarkan UU Pemajuan Kebudayaan nomer 5 tahun 2017, ada 10 obyek utama, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, pengetahuan tradisional, olah raga tradisional, dan permainan rakyat.

Dalam hal ini tindakan yang dilakukan terhadap obyek pemajuan kebudayaan yakni;

  1. Inventarisasi
  2. Pengamanan
  3. Pemeliharaan
  4. Penyelamatan

Dalam konteks penulisan babad desa sebagaimana yang digagas oleh Diskursus Institute (Yayasan Nurul Afkar Nusantara) Tulungagung setidaknya ada beberapa hal yang sinkron dengan OPK (Obyek Pemajuan Kebudayaan) tersebut, yakni adat-istiadat, manuskrip, ritus, tradisi lisan dan sebagainya. Artinya, tidak menutup kemungkinan ketika hendak menulis buku babad desa akan bersinggungan dengan beberapa OPK tersebut sehingga semakin memperkaya khasanah penulisan buku babad desa.

 

*

 

*Penulis adalah Sastrawan-budayawan & penulis buku, tinggal di Boyolangu Tulungagung