Almarhum Prof Budi Darma Dalam Kenangan Mahasiswanya Satria Darma

Catatan Satria Darma.

Hari ini kami alumni dan keluarga besar UNESA (IKIP SURABAYA) berduka dengan berpulangnya salah seorang dosen yang sangat kami hormati, yaitu Prof. Dr. Budi Darma.

Beliau salah satu dosen saya yang sangat mengesankan dan sangat saya hormati adalah Prof. Budi Darma. Beliau ini dosen kebanggaan kami semua, bukan hanya di jurusan bahasa Inggris tapi juga di IKIP Surabaya (sekarang Unesa).

Tak ada mahasiswa atau alumni yang tidak mengenal nama beliau. Reputasi beliau sebagai seorang sastrawan bukan hanya berskala nasional tapi juga internasional.

Di usia beliau yang hampir 80 tahun, dan sudah menjadi professor emeritus itu, beliau masih mengajar rutin di Pasca Sarjana Unesa dan juga diundang untuk berceramah atau memberikan short-course di berbagai kampus diberbagai kota dan negara.

Jadi bukan terbatas di dalam negeri. Ketika saya undang untuk hadir pada acara syukuran buku saya minggu lalu beliau menyatakan penyesalannya tidak bisa hadir karena harus memberikan short-course di China (memberi short-course di China, Jek! bukan ngasih presentasi di Alun-alun Contong). Lusanya beliau juga langsung mengisi seminar di Wiyata Mandala PPPG Unesa. Jadwal beliau memberi ceramah dan mengajar nampaknya lebih padat daripada jadwal kuliah para mahasiswanya.

Dari semua dosen senior saya di IKIP Surabaya rasanya tinggal beliau yang masih terus mengajar dan memberi ceramah sampai ke berbagai negara. Bahkan rasanya sangat sedikit dosen yang saya kenal yang reputasinya begitu tinggi sehingga diundang oleh negara-negara lain untuk memberi ceramah atau mengajar.

Alhamdulillah wa syukurillah, meski tidak terlalu tenar tapi saya sendiri juga memang sering diundang ke luar negeri seperti ke China, Thailand, New Zealand, Eropa, dan lain-lain. Bahkan baru-baru ini saya diundang keliling ke Amerika Latin selama dua minggu. Tapi yang mengundang adalah travel agent yang menawarkan jasanya. Asyeeem…! Memang ada sih undangan-undangan yang riel untuk saya tapi masih terbatas undangan manten, pengajian, dan arisan keluarga. Innallaha maas shabiriin.

Orang seperti Prof. Budi Darma, yang masih terus dibutuhkan ilmu pengetahuannya sampai ke mancanegara sampai usia setua itu, tentulah sosok yang sangat langka.

Hebatnya, kondisi fisik beliau masihlah fit. Jalannya masih tegak, suaranya masih kencang, ekspresinya masih penuh semangat, ingatannya masih sangat tajam. Pokoknya kita akan terpaku jika mendengarkan beliau berbicara.

Salah satu hal yang membuat kami terkagum-kagum pada beliau adalah kemampuannya mengingat nama-nama mahasiswanya. Entah sudah berapa ribu jumlah mahasiswa beliau selama ini tapi beliau selalu mengagetkan kami jika bertemu.

Tanpa diduga beliau akan menyebutkan nama kami dengan benar. Haah….! Prof. Budi Darma masih mengingat nama saya…?! Yang benar aja…!

Hamba yang hina dan dhaif ini diingat oleh seorang sastrawan level internasional…?! Entah berapa banyak mahasiswa yang dibuat terheran-heran sambil merasa bangga karena namanya diingat oleh beliau. Lha wong kita ini aja seringkali sudah lupa nama guru-guru dan dosen kita (tapi selalu ingat dengan nama lengkap Syahrini, si Jambul Nusantara itu)…!

Saya sendiri selalu merasa bangga pada beliau karena beliau selalu mengenali dan menyapa saya di manapun. Bahkan beliau tidak segan-segan menyebut nama saya pada acara-acara di mana beliau menjadi pembicara. Saya jadi sungkan marsungkan diberi penghormatan oleh beliau di depan umum seperti itu. (Pancen aneh kok! Nek diumbulno malah pingin mendelep)

Beliau juga sering mengirim SMS dan selalu membalas SMS saya. Jika saya beri buku beliau selalu mengapresiasinya dengan membaca dan memberi komentar. Frankly speaking, saya sebetulnya sungkan memberikan buku tahunan saya kepada beliau. Lha wong beliau itu sastrawan dengan karya klas dunia dan kondang seantero jagat sastra kok saya menyodorkan tulisan ‘astul’ (asal tulis) saya. Kalau memberikan buku itu pada Sirikit Syah yang juga kondang sampai ke manca negara saya tidak sungkan. Sirikit itu teman baik saya dan kami saling mendukung kegiatan masing-masing. Sirikit tidak pernah sungkan mengritik saya dan saya juga hepi-hepi saja dikritik olehnya. Wis jelas pantes nek Sirikit mengritik aku.

Tapi Prof. Budi Darma tidak pernah mengritik tulisan saya dan selalu mengapresiasinya (makanya saya sungkan marsungkan).

“Mas Satria Dharma, selamat atas buku baru Mas Satria. Terimakasih atas undangan ini, mas. Kali ini mohon maaf saya tidak bisa datang, karena tg 7 saya ke Tiongkok utk mengajar short course. budi darma” demikian SMS beliau ketika saya undang pada acara syukuran buku tahunan ke 4 saya.

Ketika bertemu di acara di PPPG saya memberinya buku saya “The Rise of Literacy” seperti yang telah saya janjikan. Tentu saja saya tidak pernah berpikir bahwa beliau akan membacanya. Orang sesibuk beliau tentu punya pekerjaan lain yang berjibun. Lha wong teman saya sesama pensiunan aja katanya sibuknya selevel mentri.

Embuh mentri opo sing dimaksud. Mungkin sibuk memikirkan betapa banyaknya waktunya yang luang dan terbuang. Orang selevel beliau kalau mau membaca buku ya mestinya buku karya sastra dunia. Jadi saya pikir tidak mungkin akan sempat membaca buku saya. Saya cuma berharap entah kapan seseorang akan menemukan bahwa ternyata buku saya ada dalam gudang buku koleksi peninggalan Prof. Budi Darma yang tersohor itu. Ternyata gitu loh…!

Tapi saya kemudian dikejutkan oleh SMS beliau kemarin yang mengomentari buku saya. Begini tulisnya, “Mas, baru 57 th, itu sangat muda, silakan maju terus, ciptakan sukses2 baru.teman2 bilang, implant gigi justru akn merusak.

Kisah pngalaman di kampus jaman dahulu kala membuat pembaca terbahak2.budi darma”. Weladalah…! Ternyata beliau menyempatkan diri untuk membaca buku saya toh! What a surprise…! :-).

Beliau jelas memberi semangat saya dengan komentar tersebut.

“Saya baca buku itu sedikit2, loncat2, tidak urut, asyik.”

“Saya merasa tersanjung Pak Budi mau baca buku saya”, jawab saya. ‘Padahal itu sekedar tulisan ala kadarnya’. (Berusaha merendah padahal pancene ndhlosor).

“Tulisan human interest justru menarik.” demikian sambungnya.

Lalu saya jawab, “Terima kasih banyak atas apresiasinya, Pak Budi. Pak Budi sangat perhatian pada kami semua mantan mahasiswanya. You amaze us with your attention.”
Beliau kemudian menjawab, “Kalau tidak salah, saya tidak pernah mengajar mas Satria, dan saya mengenal nama SATRIA DHARMA karena prestasinya, bukan karena mantan mahasiswa saya.”

Sliuuut…! Saya hampir saja nggeblak saking senangnya. Seorang sastrawan bertaraf internasional (bukan yang RSBI) katanya mengenal saya karena prestasi saya …?!

Prestasi saya (nama saya ditulis pakai huruf besar lagi)…?!

Sik talah, rek! Inggirno becakmu dhisik. Saiki awakmu tak takoni sing sak benere… Terus terang ae yo. Ojok dikarang-karang. Sakjane menurutmu aku iki berprestasi opo nggak sih…?! Boleh-boleh saja awakmu mengecilkan arti apa yang kulakukan selama ini. Tapi mosok sih Prof. Budi Darma cuma mau menyenang-nyenangkan hatiku…?!

Kuala Namu, 16 Desember 2014
Satria Dharma