Padepokan Majapahit Gelar Ritual Suguh

BAKTI KEPADA LELUHUR SEBAGAI PERANTARA LAHIR KEDUNIA

Bangsongan – Kediri menaramadinah.com: Jumat Malam (30/8) Padepokan Majapahit yang berada di Deda Bangsongan Kecamatan Kayen Kidul Kabupaten Kediri menggelar ritual suguh kepada leluhur. Ki Darmo Wijoyo (53) sebagai pimpinan Padepokan dan Putra Wayah Majapahit mewariskan sebuah adat tradisi bernama “Pengentas-entas”.

Ada beragam jenis suguhan untuk menghormati kedua orang tuanya yang sudah 10 tahunan meninggalkan dunia. Dan hingga detik ini Ki Darmo Wijoyo terus mengingat jasa dan ketulusan kedua orang tuanya dalam membesarkan sekaligus mendidik Kakak-kakaknya hingga menjadi pribadi yang baik.

Ada nasi gurih dan ayam kampung yang sudah matang sebagai pelengkap sesaji, bubur merah ditengahnya ada putih juga buah-buahan serta sirih yang disukai oleh orang tuanya dulu.

Ki Supo Nolo sebagai Kakaknya sangat menghormati adiknya yakni Ki Darmo Wijoyo yang menjadi pimpinan Padepokan Majapahit. Bahkan Ki Supo Nolo (70) memanggil Romo disaat-saat tertentu karena memang atma dan pengetahuannya lebih sepuh. Disamping itu kesabaran Ki Supo Nolo sebagai kakak tertua untuk terus mendampingi adiknya yang lagi jadi tetua untuk membantu sesama sekaligus mendapatkan kewahyuan untuk melanjutkan tugas leluhur Majapahit untuk kebangkitan Nusantara Jowo Bali Joyo sesuai sebuah ramalan.

Setelah didoakan ala Jawa dan didukung oleh para anggota yang mayoritas beragama Islam baik di KTP ataupun Islam sejati, Ki Darmo Wijoyo mempersilahkan para generasi muda untuk lebih dekat supaya tahu prosesnya sambil menjelaskan ritual pengentas-entas ini.

“Ayo kain putihnya atau Lawon (Layon bahasa Balinya) dibuka terus diisi nasi lengkap dan diikat terus nanti dilarung di Sungai Brantas”, kata Ki Darmo kepada para anggota Padepokan yang hadir malam itu sekitar jam 22:00 WIB sambil tersenyum memberi pengetahuan kepada anggota serta memberi aba-aba untuk membuat dua ikat kain untuk Bapak dan Ibunya.

Setelah dua ikat kain selesai maka diserahkan kepada anggota yang muda untuk berangkat menuju sungai Berantas Kediri. Sungai yang dulu jadi jalur perdagangan Kerajaan Kediri menuju laut utara.

“Adat inilah yang harus dilestarikan supaya nanti kalian tahu tidak tergantung Romo bila dimintain tetulung sama Masyarakat”, Kata Ki Darmo Wijoyo.

Selanjutnya, sisa persembahan kepada leluhur sudah selesai maka para anggota dipersilahkan untuk makan bersama yang dibantu ibu-ibu dan kebetulan hari itu seluruh keluarga Ki Darmo Wijoyo berkumpul. Biasanya Padepokan itu semisal Bapaknya jadi Pimpinan anak dan istrinya tidak mau ikut, tapi di Keluarga Ki Darmo Wijoyo anak dan istrinya mau belajar tekun bahkan ikut membimbing dengan sabar dan tulus para anggota. Setelah makan bersama dilanjutkan dengan diskusi yang membahas kemajuan dan cara menjadi baik. Yakni tidak ingin berebut benar tapi berebut salah. Karena dari Kesalahan akan dituntun kepada kebenaran.

Ki Pandji Mahasmara
Wartawan MM Surabaya