BBHAR Prihatin Terhadap Sikap M. Yunus Menyerang Majelis Hakim

Banyuwangi, menaramadinah.com- Disadari semua pihak, bahwa rasa keadilan itu sangatlah relatif. “Putusan hakim dalam memutuskan perkara tentu sudah dengan banyak pertimbangan, baik dari sisi material maupun sisi formalnya.

Namun dipastikan dalam putusan hakim selalu ada ‘rasa’ adil dan tidak atau kurang adil. Itu sebabnya putusan hakim pengadilan negeri itu bukanlah final.

Masih ada upaya hukum yang bisa dimanfaat jika memang ada ‘rasa’ kurang adil. Banding atau kasasi bisa ditempuh”, ucap Gembong Aji Rifai Ahmad, S.H. saat dihubungi awak media via ponselnya. Kami prihatin melihat sikap M. Yunus Wahyudi yang diajukan ke meja hijau oleh JPU terkait dengan ‘pelanggaran’ UU Kekerantinaan dan ITE.

Diketahui bersama bahwa M. Yunus dikenal sebagai aktivis antimasker dan menyebarkan video sikap kontra-protokol kesehatan itu di Medsos, bersama LSM yang dia pimpin Parlemen Jalanan Laskar Putih. Dan karena itu juga orang yang kerap menyebut dirinya ‘Harimau Blambangan” itu akhirnya divonis majelis hakim yang dipimpin oleh khamozaru Waruwu, S.H., memutus hukuman 3 tahun penjara. Putusan itu lebih ringan setahun dari tuntutan JPU 4 tahun penjara.

Tidak terima menerima vonis 3 tahun, kontan ‘Harimau Blambangan” itu maju dan melompat ke atas meja hakim ketua siding, dengan maksud menyerang. Beruntung tidak sampai melukai sasaran amuk itu. ‘Saya hanya prihatin”, kan masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh, “ujar

Gembong. Kalaulah dipandang proses hukum di persidangan itu ada yang ‘tidak beres’, pihak pisakitan bisa mengadukan ke lembaga lebih tinggi, Komisi Yudisial (KY).

Mengapa dengan ekspresi emosi menyerang majelis hakim?, sesalnya. Kata pengacara muda asal Kota Genteng, juga fungsionaris lembaga hukum onderbow PDIP Cabang Banyuwangi, BBHAR itu “…bukan yang pertama kasus ungkapan ekspresi tidak puas terhadap putusan hakim, kemudian bertindak kasar dan brutal di forum persidangan pengadilan yang harusnya dijaga keformalan dan kesakralannya. Bukanlah yang diharapkan, tentunya.

Cara-cara inprosedural dalam sebuah persidangan hukum bukanlah sebuah solusi, malahan akan menimbulkan masalah baru. Lain halnya di arena ruang politik. Kami sangat memahami perasaan M. Yunus Wahyudi yang selalu melegitimasi gerakannya itu rangka untuk menengakkan ‘amar makruf nahi munkar’, dan itu kami sepakat. Keadilan harus ditegakkan sekalipun besok langit akan runtuh, seperti itu doktrin hukum. Tetapi prosedur mesti harus dilalui.

Kita masih dalam kondisi normal, belum darurat. Maka itu mesti harus mengikuti sesuai dengan aturan main persidangan. Bukankah majelis hakim dengan sebutan Yang Mulia itu, perwujudan perwakilan Tuhan di bumi”?

Pernyataan Gembong dikuatkan oleh M. Iqbal, S.H., M.H. “…Hidup ini akan apik, harmonis, jika saling menghormati dan menghargai. Tidak ada kesempurnakan pada diri siapa pun, jangan lupa itu.

Dalam forum persidangan itu semuanya adalah manusia biasa, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Awal kesesatan jika telah mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, paling baik, paling lurus.

Apalagi belum teruji berprestasi dalam hidupnya, kami cukup prihatin Mas… ujar pengacara Peradi asal kota Srono itu mengakhiri pembicaraan dengan awak media.
MR Jurnalis citizen, menaramadinah.com.