
catatan : Drs. Husnu Mufid, M.PdI
Tahun Baru Islam 1443 H kalangan muslim saat ini menyebutnya. Tapi beberapa tahu lalu banyak yang menyebut Tahun Baru Hijrah dan Tahun Baru Muharram.
Di Jawa sebagian orang lebih suka menyebut bulan Syuro. Mereka mengadakan kegiatan tepat pada malam 1 Syuro untuk menyambut datangnya Tahun Batu Hijriah. Dalam bentuk mencuci pusaka keris, menggembleng diri dengan menerima pengijazahan ilmu hikmah secara berkelompok.
Ada juga yang mendaki gunung bernilai keramat untuk tinggal semalam sambil semadi dan ada pula yang berada di makam makam keramat menunggu malam pergantian Tahun Baru Muharram.
Hanya saja mereka merayakan dalam bentuk diam semalaman guna menggembleng batin. Beda jauh dengan saat merayakan Tahun Baru Masehi.
Sedangkan bagi muslim yang lain merayakan di mushollah dan madjid membaca surat Yasin 3 kali. Karena saat itu batas akhir perhitungan amal ibadah manusia selama satu tahun.
Sementara di lingkungan kerajaan Jogja mengitari benteng dimalam hari. Ini peninggalan leluhur dan di Solo mengarak kerbau keliling jalan. Merupakan tradisi peninggalan kaki tangan Belanda.
Mengingat kerbaunya diberinama Kiai Selamet. Yang seharusnya nama kiai itu gelar seorang ulama pengasuh sebuah pesantren.
Pemberian nama kiai terhadap kerbau tersebut merupakan kebencian orang keraton Solo yang pro penjajah Belanda terhadap para kiai yang berperang melawan Belanda.
Selain itu, untuk memperingati Sultan Agung Raja Mataram yang telah berhasil mengislamkan penanggalan Jawa bernuansa Sansekerta menuju penanggalan Jawa bernuansa Islam. Kemudian kawulo alit menyebut penyatuan kalender Islam dengan Jawa.