
: ngablak dalu: Mashuri Alhamdulillah.
Kala itu tahun 2004. Saya masih terdaftar sebagai mahasiswa akhir sebuah perguruan tinggi Islam di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, demi menyantuni dahaga saya pada filsafat dan pemikiran Islam. Sok memang. Karena mahasiswa akhir, tinggal merampungkan tesis, saya pun tidak terikat waktu. Artinya, saya pun berperilaku kalong. Siang tidur, malam begadang. Meski demikian, ada waktu-waktu tertentu yang menjadi perkecualian dan tidak seperti itu. Misalnya, karena tuntutan pekerjaan.
Suatu hari, saya berinisiatif menulis tempat-tempat antik dan unik di Surabaya, tetapi tidak tentang kuburan. Rencananya, tulisan itu akan tayang di halaman satu di koran tempat saya bekerja. Akibatnya, meskipun semalaman saya begadang, dan paginya belum memejamkan mata, saya pun berencana blusukan. Rencana saya, lokasi pertama yang saya tuju adalah kawasan Lakarsantri, Surabaya selatan.
Alasan saya sederhana. Di sana, ada sebuah situs menarik. Namanya Punden Sigit, alias Punden Masjid. Secara cangkeman, masyarakat meyakini bahwa di sana ada masjid yang didirikan Raden Patah, tetapi ditenggelamkan oleh Sunan Kalijaga karena menganggap kawasan itu belum siap menerima ajaran baru. Sungguh, kisah ini begitu asolole, karena ternyata Raden Patah dan Sunan Kalijaga dianggap pernah mampir di Surabaya, kawasan selatan.
Bahkan, dari pelacakan awal, masyarakat meyakini, secara toponim Lakarsantri itu berarti Lukarsantri, artinya melepaskan diri dari ikatan santri. Jadi cocok dengan kisah lisan terkait dengan Punden Sigit. Padahal ketika saya cek ke Kamus Jawa Kuno, artinya menunjuk pada makna sebaliknya. Lakar berarti emas lantakan, sedangkan santri adalah santri atau pelajar yang sedang menekuni kitab suci. Arti harfiahnya, di sana, ada emas lantakan santri.
Hmmm. Jangan-jangan di sana, merupakan tilas para santri menanam emas lantakan pada masa lampau! Emas itu disamarkan masjid dalam kisah-kisah lisan! Hmmm. Otak materialistis saya mulai kumat! Meski agak sundul langit, tetapi sesungguhnya, mukadimah penuh praduga saya itulah yang membuat redaktur saya menyetujui usulan dan inisiatif saya.
Alhasil, pagi itu, saya pun bergegas ke Lakarsantri dari kos saya di Mojo–Karang Menjangan Surabaya. Namun, pada malam harinya, saya sudah kontak seorang kawan yang saya anggap mengerti kawasan itu. Saya pun sampai di kawasan Lakarsantri pukul 09.00. Saya lalu bertanya pada seorang tukang becak, di mana rumah juru kunci Punden Sigit, meskipun saya sendiri belum tahu lokasi punden itu.
“Assalamualaikum,” sapa saya, di depan pintu sebuah rumah, sebagaimana yang ditunjukan oleh tukang becak.
“Waalaikum salam!” sahut dua orang dari ruang tamu.
“Silahkan, masuk! Kami sudah menunggu sampeyan!” seru pria agak muda.
Saya terperangah, bagaimana mereka tahu saya akan datang ke rumah ini. Tanpa babibu, saya tetap masuk rumah juga.
“Silahkan duduk, Mas!” seru pria yang lebih tua.
“Belum sarapan, kan? Kami sudah menyiapkannya. Silahkan, sarapan, saya tinggal dulu. Nanti Pak Tua ini yang akan melayani sampeyan,” tutur pria muda, yang langsung ngacir.
Meski saya masih dihantui tanda tanya, tetapi karena saya belum sarapan, akhirnya saya santap juga suguhan mereka. Kebetulan, menunya adalah favorit saya: rawon Suroboyo. Makan saya lahapnya bukan main, meskipun di kepala saya masih berpusing beberapa kejanggalan. Pertama, saya sudah ditunggu. Kedua, saya diberi sarapan sesuai dengan menu favorit.
Yeah, di sisi lain, sarapan memang sesuatu banget bagi saya, karena bangun pagi itu sebuah kemustahilan. Nah, untuk bertandang ke Punden Masigit di Lakarsantri, di Surabaya, ini saya sengaja agak pagi, karena rencana saya, setelah dari punden ini, saya akan melancong ke beberapa tempat di Benowo karena ada beberapa objek yang asolole dengan kisah-kisah yang ngeri-ngeri sedap. Contohnya, Pasar Setan, Telaga Branjang Kawat, Jurang Kuping, dan Candi Muksa. Tempat-tempat unik, yang asyik untuk dibuat tulisan bersambung.
Begitu sarapan habis, untungnya tidak sepiring dan sesendoknya, saya diajak Pak Tua menyeberang jalan. Ternyata, lokasi punden persis berada di seberang jalan rumah si juru kunci, di belakang sebuah lembaga pendidikan, yang dekat dengan perempatan. Saya tidak tahu karena memang agak nyamar dan tidak ada petunjuk jalan.
Di areal punden, terdapat tumpukan batu-bata yang di tengah-tengahnya ada sebuah penanda seperti stupa, tapi menurut Pak Tua, dulu bentuknya seperti ornamen masjid Jawa tempo doeloe yang terbuat dari tembikar. Namun, itu sudah hancur karena ada insiden dari pihak yang tidak setuju kawasan itu menjadi lahan situs bersejarah. Di dekatnya, ada pohon asam kerdil, yang d bawahnya ada lumpang batu lawas. Di sebelah timur, ada cungkup tertutup, yang ketika saya intip ternyata ada makam sederhana.
“Itu makam siapa, Pak?” tanya saya.
Pak Tua itu diam sejenak, sambil mencabut rumput dekat tatanan batu bata lawas. Ia kemudian berdiri tegak.
“Silahkan, bertanya sendiri, Mas!” seru Pak Tua, kemudian.
Pyar! Hmmm. Belum usai kekagetan saya yang satu, ternyata muncul kekagetan saya yang lain. Modar! Bagaimana saya harus bertanya pada sebuah makam, sedangkan saya membutuhkan informasi tentang jati dirinya? Kondisi ini tidak dapat dibiarkan berlama-lama. Saya harus cerdas menyikapinya. Bukankah saya ke sini adalah seorang juru warta, bukan dukun dari dunia antah berantah!
“Kelihatannya, beliau seorang perempuan!” tegas saya, mulai bermain dadu.
“Nah, jenengan sudah tahu kok bertanya!” seru Pak Tua. “Memang beliau adalah perempuan, penunggu dan perawat lokasi ini. Beliau adalah orang pertama yang dipasrahi oleh Sunan Kalijaga untuk menjaga lokasi ini, ketika Sunan Kali baru saja menenggelamkan masjid di sini atas saran dari Raden Patah,” lanjut Pak Tua.
“Tetapi kayaknya, di sini bukan makam beliau saja. Ada beberapa yang lain,” tutur saya, melanjutkan permainan dadu, yang terlanjur dibeber di atas meja.
“Benar, Mas! Kapan hari, ketika orang-orang membangun pondasi pagar lokasi ini menemukan beberapa tengkorak dan tulang, tetapi akhirnya ditanam kembali di sebelah utara pohon asam,” seru Pak Tua.
Cep! Saya terdiam. Tenggorokan saya mendadak kering. Sungguh, saya harus menyudahi permainan ini. Saya sudah terlalu jauh. Akhirnya, saya pamit untuk memotret lokasi tersebut. Pak Tua menyilahkan saya dengan ketakziman yang luar biasa.
Langkah pertama, saya masuk cungkup makam sederhana yang diyakini sebagai penjaga punden. Sebagaimana orang tradisional, saya umik-umik sebentar, lalu mengambil gambarnya. Setelah cukup, saya menunju Punden Sigit yang menjadi objek utama. Setelah itu, saya mengambil gambar lumpang batu, asam kerdil, dan beberapa pecahan bata lama yang berserak. Tidak lupa, saya juga mengambil gambar Pak Tua, yang dengan senang hati, menunjukkan giginya dalam bingkai senyumnya yang lebar.
Setelah itu, saya dan Pak Tua ngobrol sebentar. Usai merasa cukup dengan informasi yang saya butuhkan, saya pun pamit mohon diri, untuk melanjutkan perjalanan ke objek lainnya, yaitu ke utara ke arah Benowo. Di tengah perjalanan, HP Siemens saya berbunyi. Ada panggilan telepon masuk. Saya pun berhenti di tepi jalan.
“Halo!” seru saya.
“Gimana, Mas. Lancar?” tanya kawan karib saya, yang saya kenal sebagai seorang spiritualis handal. yang saya tanya-tanya semalam.
“Lho, pean yang ngabari mereka?” tanya saya.
“Iya, lha semalam sampeyan bilang mau ke Lakarsantri, makanya saya kontak mereka,” seru dia.
“Pantesan! Saya sempat mikir yang tidak-tidak tadi!” seru saya.
“Santai saja, Mas. Mereka anak buah saya semua!” kata dia, sambil cekikikan.
“Kau bilang apa ke mereka?” tanya saya, ingin tahu.
“Saya bilang, yang besok pagi datang untuk ziarah ke Punden Masjid itu seorang Gus karismatik dari Pantura. Harus disiapkan sarapan, dilayani, dan diantar ke lokasi punden dengan baik dan benar,” tutur teman saya. “Tapi tak perlu diberi amplop. Dia anti-amplop, tetapi kalau dengan isi amplop, entah lagi!” lanjut dia, tambah cekikian.
“Asu! Asem tenan!” umpat saya, dengan terpingkal-pingkal.
Saya pun melanjutkan perjalanan sesuai rencana. Sebelum duhur, saya sampai di kawasan Pasar Setan, Benowo. Tetapi sesuatu terjadi, motor saya ngadat. Usut punya usut, ternyata bensin saya habis. Maklum, saya kurang cermat karena jarum penunjuk bahan bakar di motor saya soak.
Alhasil, saya pun terdiam di tepi tegalan Pasar Setan, yang lokasinya sepelemparan batu dari lokalisasi Moroseneng. Mulut saya pun komat-kamit: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Bila di sana dapat sarapan, siapa tahu di sini dapat uang bensinnya. Niyat ingsun ngompas setan!”
Ups!
MA
On Sidokepung, 2021
Ilustrasi jepretan sendiri.