Senja Menggetarkan di Kayangan Api Bojonegoro

 

: ngablak siang Masyhuri Alhamdulillah.

Saya mendengar Kayangan Api sejak kecil. Konon, berupa api tak kunjung padam di tengah hutan jati Bojonegoro, di punggung Pegunungan Kendeng. Lokasi tepatnya di Dusun Ngembul, Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Kecamatan Bojonegoro. Namun, saya tak kunjung dapat berkunjung. Hingga saya menulis puisi berjudul Kahyangan Api, termuat dalam buku puisi saya “Munajat Buaya Darat” (2013), saya belum menginjakan kaki di sana, meskipun imajinasi saya menyatroninya berkali-kali.

Hingga pada pertengahan 2019, saya didapuk sebagai ketua panitia kegiatan Balai Bahasa Jawa Timur, terkait dengan pendataan media di Bojonegoro, saya pun berhasil menunaikan hasrat tersimpan ke sana. Tentu saya tidak sendiri. Saya ditemani empat orang kawan. Tanpa skenario apapun, kami sampai ke sana ketika hari menjelang senja. Pasalnya, kami baru sempat ke sana, usai penutupan acara. Juga usai berziarah ke makam seorang kawan, kerabat salah satu panitia. Kebetulan kawasan itu sedang sepi pengunjung. Hanya ada 1–2 orang.

Meski musim sedang kemarau, dan panasnya kota Bojonegoro begitu dahsyat, tetapi alhamdulillah begitu kami sampai di sana, tidak seberapa lama, gerimis turun. Kami pun berteduh di pendopo besar, yang kelihatannya baru di bangun. Yeah, kayaknya tempat itu memang didesain sebagai wisata alam, sekaligus wisata sejarah. Karena itulah, pemkab setempat getol melakukan serangkaian pembangunan di sana.

Pembangunan itu meliputi gapura, pendapa, pelataran, ornamen, tata letak, termasuk juga keberadaan sebuah keris besar sebagai trade mark, karena tempat itu dianggap sebagai tempat Empu Supo membuat keris. Meskipun soalan ini menerbitkan perdebatan menarik di antara budayawan, sejarawan, seniman, dan pemerhati klenik lainnya. Ups! Yang terang, belum ada sepaket, eh sepakat, di antara para cendekiawan tersebut, baik yang berplat hitam, kuning, maupun merah. Ehm.

Ketika saya dan kawan-kawan sedang berteduh, seorang lelaki setengah baya menghampiri saya. Dia membawa karung plastik putih, kumal. Ia bertopi dan berpakaian sederhana. Ia mengenakan baju batik lengan pendek, yang sudah pudar warnanya. Celana komprang hitam. Ia bersandal jepit. Tanpa basa-basi, sebagaimana orang Samin, dia minta air putih dalam botol kemasan yang saya bawa. Dia mengaku kehausan.

“Tapi bekas saya, Mbah. Mau?” kata saya, dalam bahasa Jawa halus.
“Tidak apa-apa, Nak!” seru dia.

Begitu botol berpindah tangan, dia langsung meminumnya. Tetapi, hanya beberapa teguk, tidak sampai habis. Katanya, untuk persediaan. Dia langsung menawarkan barang dagangannya. Berupa jagung bakar. Ternyata, di dalam karung yang dibawanya, berisi jagung mentah.

“Tinggal lima, Nak. Jagung manis ini!” seru dia.
“Saya kira jenengan menawarkan keris, Mbah,” gurau saya.
“Kalau mau keris, ya melek, Nak!” seru dia.
“Lha, saya jago tidur, Mbah! Bagaiama?” tutur saya.

Dia tertawa. Akhirnya, atas persetujuan kawan-kawan, saya memborong barang dagangan lelaki yang rumahnya berada di desa, di bawah areal Kayangan Api. Wajahnya pun tampak sumringah.

“Lha, membakarnya di mana, Mbah?” tanya saya.
“Di situ!” tutur dia, sambil menunjuk kobaran api di lingkaran Kayangan Api.

Dia langsung menerabas rintik gerimis, yang memang tidak begitu lebat. Dia membakar jagung di atas kobaran api alam tersebut dengan bantuan galah. Saya pun teringat Api tak Kunjung Padam di Desa Larangan, Pamekasan, Madura. Di sana, para penjaja jagung bakar juga langsung menggunakan api alam untuk membakar jagung dagangannya, bahkan untuk merebus air dan lainnya. Bedanya, di Pamekasan, apinya tertimbun dengan abu dan tanah, dan terkesan tidak tertata, meskipun sudah dipagar besi, sedangkan di Kayangan Api, pusat semburan dilokalisir dengan batu-batu dan ditembok rapi.

Kesamaannya keduanya dibalut cerita tutur yang asolole. Di Pamekasan dikaitkan dengan relasi antara penyebar agama setempat dengan seorang puteri dari Kerajaan Palembang. Di dekatnya, terdapat artefak kuno, yang diyakini sebagai cikal-bakal tempat tersebut. Berupa sepasang makam. Di Bojonegoro, terdapat kisah yang mengaitkannya dengan Mpu Supo, empu pembuat keris legendari pada zaman Majapahit–Demak, meskipun belum ditemukan artefak yang mendukung kisah tersebut.

Tak seberapa lama, lelaki penjual jagung bakar kembali. Ternyata, jagung sudah matang. Kami pun membayarnya. Sebelum dia pergi, saya pun bertanya sedikit seputar kawasan Kayangan Api tersebut. Tentu juga tentang Mpu Supo dan beberapa karya keris saktinya, yang hingga kini menjadi rujukan putran berbagai keris di Jawa, di antaranya adalah Nagasasra, Sengkelat dan Carubuk —meskipun saya agak mengerti, posisi Mpu Supo sendiri dalam sejarah juga bias.

Hal itu karena menurut Bambang Harsrinuksmo (2004), nama Mpu Supo tersebut dianggap sebagai nama umum mpu pembuat keris. Hal itu karena cukup banyak empu pembuat keris yang bernama Empu Supo, mulai dari Supo Mandrangi, Supogati, Supodriya, Supojaya, Supo Anom, Jaka Supo, Supowinangun, dan Suposetika. Meskipun bagi ahli perkerisan, nama-nama itu memiliki ‘sejarah’-nya sendiri-sendiri. Hanya saja dalam Winter (1871), nama Mpu Supo dinisbatkan sebagai empu pembuat keris pada masa peralihan antara Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak, denngan mahakarya bernama Keris Carubuk.

Yup, dalam senja bergerimis itu, di bawah naungan pendopo anyar saya mengudap jagung bakar hasil bakaran dari api Kayangan Api. Mungkin karena imajinasi saya yang koplak, saya pun membayangkan sedang menggigit bilah Keris Carubuk, mirip seorang pemain jaranan yang kesurupan, yang sedang menyongsong bilah Keris Condong Campur –sebagaimana cerita tutur yang diwedar dalam kisah-kisah klasik Jawa.

Ciaaat! Cleguk!

MA
On Sidopoerno, 2021
Ilustrasi jepretan sendiri