Catatan Perjalanan menjadi Wartawan Jawa Pos (4)

Hari pertama jadi Wartawan Jawa Pos  cukup terkenang hingga hari ini. Seperti apakah ? Berikut ini penuturan Tofan Mahdi:

Dari 12 calon reporter Jawa Pos yang diterima dalam rekrutmen tahun 1997, saat ini hanya satu yang masih bertahan. Yang lain, ada yang jadi pengusaha, notaris, menjadi wartawan di media lain, novelis, dan praktisi komunikasi. Namun ada juga satu orang yang saat ini sedang mendapatkan ujian sakit yang berat.

Saya pamit meninggalkan kota Jember, April 1997. Pamit dan berterima kasih kepada calon istri, kepada para sahabat dan teman-teman terbaik yang telah menampung saya enam bulan terakhir, dan kepada kakak saya yang telah membiayai kuliah.

Nur Dharmawan (Iwan) mengantarkan saya naik motor ke Jalan Raya Slamet Riyadi. Dia ikut menunggu sampai saya mendapatkan Lin A (angkutan kota) ke arah Terminal Bus Tawangalun. Saya tidak membawa koper, hanya tas ransel yang isinya beberapa baju dan celana.

“Tak doakan kamu sukses ya Fan,” kata Iwan yang sekarang menjadi seorang musisi di Jember.

Kami pun berpisah. Berbekal uang Rp 100 ribu, saya berangkat naik Lin A untuk mengawali langkah dalam babak baru kehidupan saya. Dari Tawangalun, naik bus ekonomi ke Surabaya. “Semoga semua ini barokah ya Allah”.

Proses training wartawan baru pun dimulai. Ada 12 orang yang diterima. Mereka adalah: Kurniawan Muhammad (Universitas Brawijaya Malang), Hatta Chumaidi (Universitas Muhammadiyah Malang), Ahmad Zaini (IAIN Wali Songo Semarang), Endy M. Saputra Endy Dan Ühé (Universitas Airlangga Surabaya), Mohamad Susilo (IKIP Negeri Semarang), Mochamad Makruf-ruf (Universitas Dr Soetomo Surabaya), Arini Jauharoh (Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin), Amri Husniati (Universitas Gajah Mada), Mohammad Hadi Winarto (Universitas Jember), Anggie D. Widowati (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Tofan Mahdi (Universitas Muhammadiyah Jember), dan satu lagi (saya lupa namanya, kalau tidak salah Yodhian Antariksa). Nama terakhir yang saya tulis ini belakangan mundur sebelum proses training dimulai. Yang masih bertahan di Jawa Pos sampai sekarang adalah Kurniawan Muhammad yang baru saja mendapat amanah sebagai Direktur Radar Kediri.

Muhammad Susilo sejak 1999 sudah hijrah ke London, bekerja di BBC . Dan saat ini adalah Executive Producer BBC siaran Bahasa Indonesia. Endy M. Saputra pindah ke RCTI, Hadi Winarto di Metro TV, dan Makruf sekarang merintis penerbitan buku. Yang lain, Arini Jauharoh menjadi notaris, Amri Husniati menjadi wirausaha mandiri, Ahmad Zaini menjadi pengusaha busana di Tuban dan owner Anggun Busana Group, dan Anggie menjadi novelis. Sementara itu, Hatta Chumaidi yang pernah menjabat Direktur Radar Malang sekarang masih terbaring sakit karena stroke. Saya sendiri? Tetap menjadi orang biasa dan tinggal di pinggiran Jakarta.

“Kalian adalah orang-orang terpilih. Selamat bergabung di Jawa Pos,” kata Arif Afandi WakGus Arif Afandi didampingi Dhimam Abror dan Ali Murtadlo.

Selain mendengarkan apa yang disampaikan para suhu jurnalistik ini, saya juga sangat memperhatikan gesture mereka. Penampilannya dandy dan tampak sangat percaya diri. Dalam sesi training in class selama sepekan ,CEO Jawa Pos Dahlan Iskan (saat itu Dahlan Iskan masih sebagai Pemimpin Redaksi) ikut memberikan materi tentang “Rukun Iman Berita”. Kami juga wajib memiliki dan membaca buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”. Sebagai alumnus Majalah Tempo, wajar jika Pak Dahlan menularkan ruh jurnalisme Tempo kepada para reporter dan redaktur Jawa Pos. Seperti kita tahu, moto dari Tempo adalah “Enak Dibaca dan Perlu”.

“Anda harus bersyukur menjadi wartawan, karena Anda setiap hari dituntut untuk belajar. Selain itu, sulit menemukan profesi lain yang memiliki akses yang luas seperti seorang wartawan,” kata Pak Dahlan.

Saya ditempatkan di Desk Ekbis (Ekonomi dan Bisnis). Meskipun di Ekbis, pada tahap awal, seringkali kita mencari berita serabutan. Termasuk meliput peristiwa-peristiwa di kota Surabaya untuk porsi berita Halaman Metropolis. Bahkan, berita saya yang menjadi HL (headline) pertama bukan di Ekbis tetapi di Halaman Metropolis.

Malam itu, dadakan Redaktur Metropolis yang juga menjabat Redpel (Managing Editor) Ali Murtadlo meminta saya mendampingi wartawan senior Sukoto untuk meliput penyerahan sertifikat di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya. Yang menyerahkan sertifikat adalah Menteri Agraria/ Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Soni Harsono.

“Awakmu ya yang nulis, aku motret wae,”
pesan Sukoto kepada saya.

“Siap Mas”.

Prosesi penyerahan sertifikat secara simbolis dibuat megah. Para wartawan diundang. Ada 10 pemilik kios yang diminta menjadi perwakilan untuk menerima sertifikat dari menteri. Pemilik pusat perbelanjaan ikut mendampingi Pak Menteri. Satu, dua, tiga aman dan lancar. Tiba-tiba saat menyerahkan map keempat, Menteri Soni Harsono (di luar skenario acara) membuka mapnya. Dia kaget bukan kepalang karena isinya kertas kosong bukan sertifikat.

Menteri Soni Harsono marah besar,
merasa dikibuli. Dia maki-maki pemilik pusat perbelanjaan, dan tiba-tiba map yang ada di tangan dipukulkan ke kepala owner mall tersebut. Acara pun bubar. Geger lah seluruh peserta acara, termasuk para wartawan.

“Aku wis oleh fotone, ayuk ndang balik kantor. HL iki,” kata Sukoto.

Saya lihat wartawan lain, sebagian mengejar Menteri Soni Harsono. Pada saat yang sama saya juga melihat tim Humas dan manajemen mall membisikkan sesuatu kepada para wartawan. Seseorang mendatangi saya.

“Mas jangan pulang dulu ya, kita ngobrol-ngobrol dulu,” kata lelaki yang saya tak tahu siapa dia. Pastinya tim Humas atau manajemen mall.

Jiwa wartawan saya langsung muncul. Saya harus segera meninggalkan lokasi acara dan menolak ajakan ngobrol tadi. Pasti ada upaya “konsolidasi media” dari mereka. Secepat kilat saya kabur, kembali ke kantor.

Dan benar kata Sukoto, berita saya menjadi headline halaman 1 rubrik Metropolis. Bagaimana koran-koran lain? Ternyata hanya Jawa Pos yang memuat peristiwa Menteri Soni Harsono marah-marah.

“Selamat ya. Headline pertama sebagai wartawan baru,” kata Ali Murtadlo. (tofan.mahdi@gmail.com/ bersambung)

foto: Saya saat liputan pameran pariwisata di Nusa Dua, Bali, 1997.