Mengenang Perjalanan Tofan Mahdi menjadi Wartawan Jawa Pos (1)

Hidup itu penuh liku dan menjadi kenangan hidup. Setiap manusia punya kenangan.  Diantaranya Mas Tofan Mahdi.  Berikut ini kenangan  perjalanan menjadi Wartawan Jawa Pos;

 

Menjadi wartawan adalah obsesi saya sejak SMA. Awalnya ingin menjadi pilot, tapi melihat dimensi finansial/ non finansial, itu mimpi belaka. Bisa kuliah saja, Alhamdulillah:

Kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jember tentu bukan pilihan utama saya. Sebagai lulusan dengan NEM tertinggi di SMAN 3 Pasuruan tahun 1992, sebetulnya saya diterima di Fakultas Sastra Inggris Universitas Diponegoro melalui jalur PMDK (sekarang mungkin istilahnya jalur undangan). Pihak sekolah sudah datang ke rumah, bertemu kakak saya, tetapi karena tidak punya satu saudara pun di Semarang, undangan melallui jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan) itu terlewat begitu saja.

“Wah koyok’e aku gak kuliah Bu, Mas-Mas gak mengizinkan aku kuliah nang Semarang. Aku tak kerjo wae,” saya wadul ke Ibu saat bertemu beliau di rumah kakek di desa. Ibu tampak kecewa tetapi tetap meminta saya ikhlas. Akhirnya lulus SMA saya pergi ke Jogja, bekerja serabutan di rumah saudara. Termasuk bekerja membantu membuat dan menjual kue rumahan. Bekerja di Jogja adalah pilihan ketiga. Dua pilihan lain adalah bekerja di sebuah pabrik kecap di Surabaya dan pergi merantau ke Lombok. Di Surabaya dan Lombok ada saudara yang berjanji bisa mencarikan pekerjaan.

Namun saya hanya satu bulan di Jogja. Sekira bulan September 1992, kakak di Jember melalui telpon meminta saya datang ke Jember. “Kathe dadi opo gak kuliah (Mau jadi apa gak kuliah),” saya ditegur karena gak pamit bekerja di Jogja. Kakak saya ini, yang baru saja pensiun sebagai Dirut PT RPN (Riset Perkebunan Nusantara), saat itu meminta saya mencari kampus di Jember.

“Tahun ngarep wae Mas, ikut UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri),” tawar saya. Usulan saya ditolak. “Kuliah di mana saja sama. Jangan melihat di mana kamu berada (sekolah/ kuliah/ bekerja), tapi bagaimana kamu di situ.” Titik. Gak pakai lama, saya datangi semua kampus PTS di Jember mulai: Universitas Mochamad Seruji, ABM (STIE Mandala), dan akhirnya ketemu kampus Universitas Muhammadiyah Jember (UMJ). Kampus UMJ ini paling gede dan keren dibandingkan PTS lainnya di Jember.

“Masih terima mahasiswa baru, Mas?” tanya saya pada petugas pendaftaran UMJ.

“Sudah mau tutup Mas, cepat saja.”

“Ini ijazah dan Danem saya. Perlu test gak Mas?” tanya saya saat daftar.

“Wah ini nilainya bagus, langsung kami terima Mas.”

Meski agak telat, masih sempat ikut Opspek
hari-hari terakhir. Bertemu banyak teman di sini mulai Abdul Syakur dan Kombes Pol Dwi Agung Dwi Agung Widodo.

Meski ada rumah kakak di Jember, saya tetap diminta nge-kos. Sejak awal masuk kuliah, saya sudah bertekad aktif di organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus. Untuk ekstra kampus, karena keluarga dari garis Bapak adalah orang nasionalis dan kakak-kakak saya adalah aktivis GMNI, maka saya pun mencari informasi di mana bisa mendaftar sebagai anggota GMNI. Di kampus Unmuh Jember saat itu tidak ada komisariat
GMNI. Muter ke kampus Unej juga tidak
nemu, sampai akhir semester I.

Semester II saya pindah kos dan saya “tersesat” di tempat kos yang menjadi markas para aktivis mahasiswa dan sebagian besar adalah anak-anak HMI. Salah satunya mahasiswa Fakultas Hukum Unej Rofik Huda (sekarang CEO Radio Andika FM Kediri). Bukan hanya aktivis, Rofik saat itu adalah penulis yang sangat disegani dan tulisannya sering dimuat di media massa termasuk
Jawa Pos. Gaya bicaranya santun dan saat berbicara sering menggunakan diksi-diksi akademis seperti “konsekuensi logis”, “paradigma”, dan lain-lain. Jujur itu kali pertama saya mendengar istilah-istilah berat tersebut.

“Mas Rofik, bagaimana caranya bisa menulis. Saya ingin belajar,” kata saya pada suatu kesempatan. Saat itu, Rofik baru saja memenangi Lomba Karya Tullis Ilmiah (LKTI) tingkat nasional dan diterima oleh Presiden Soeharto. “Ngeri (hebat),” batin saya.

“Kalau mau nulis, ya nulis saja, gak pakai teori atau dirancang dulu tulisannya. Yang ada di pikiran kita dituangkan saja dalam tulisan,” kata Rofik. Saya dan teman sekamar kos saya Almarhum Heru Priyosasmito (mahasiswa FISIP UMJ) hanya manggut-manggut.

Saran Rofik saya laksanakan. Pinjam mesin ketik Heru, saya mulai menulis dan akan saya kirim untuk rubrik “Kolom Mahasiswa”
Jawa Pos. Judul tulisan pertama saya “Asosiasi Perbankan suatu Alternatif” menanggapi wacana “gizeling” (paksa badan) dalam kasus kredit macet perbankan. Dan, fortunately sepekan kemudian (sekitar akhir Februari 1993) untuk kali pertama, tulisan saya dimuat di Jawa Pos. Yang membanggakan saat itu, judul tidak diubah dan isi tulisan tidak banyak diedit.

Tentu bukan honorarium Rp 50 ribu per artikel yang membuat saya senang (sebagai perbandingan, uang kos saat itu Rp 25 ribu/ bulan dan makan+minum Rp 500 per porsi). Tapi nama kita tertulis di sebuah koran terbesar kedua di Indonesia itulah yang sangat membanggakan.

Sejak saat itu saya terus menulis. Tidak hanya dimuat di Jawa Pos, tetapi juga di Media Indonesia, Republika, Karya Dharma, dan majalah Suara Muhammadiyah. Ke Kompas? Sering juga kirim tulisan ke Kompas, tetapi Almadulillah sampai hari ini belum pernah satu pun tulisan saya dimuat. Tapi insyaAllah saya akan mengirimkan lagi tulisan-tulisan saya ke
Kompas nanti.

Diskusi dengan Rofik semakin intensif dan saya terus belajar dari dia. Teman-teman aktivis HMI lainnya juga sering mengajak ngopi dan ngobrol, mereka memberikan apresiasi atas karya tulis saya yang banyak dimuat media.

“Kapan masuk HMI, Dek? Sayang lho, potensi Dek Tofan ini besar dan akan bisa semakin berkembang di HMI,” ajak Mas Maksum, kakak kelas di FE UMJ.

Setelah setahun “berburu” keanggotaan GMNI tak berjodoh juga, dan mengingat intensitas diskusi yang gayeng dengan teman-teman aktivis HMI, akhirnya pada paro kedua tahun 1993 (kuliah semester ketiga), saya pun ikut LK (Latihan Kader) I HMI di Desa Antirogo Jember, di-bai’at, dan akhirnya resmi menjadi anggota HMI. Saya satu angkatan LK I dengan GM Radar Jember Ahmad Mulyadi dan anggota Komisi IV DPR RI Charles Meikyansah.

“Ternyata saya tersesat di jalan yang benar,
Mas,” kata saya kepada Rofik Huda usai mengikuti LK I HMI. Rofik tersenyum seraya menarik gas sepeda motor Suzuki RC 100-nya, entah ke mana meninggalkan “markas”
kami di Jalan Semeru B-1A. (tofan.mahdi@gmail.com/ bersambung)

Foto: Saya saat mahasiswa di tempat kos Jalan Semeru B-1A Jember. Rutin
membeli dua judul buku setelah menerima
honor menulis artikel di media (dok. pribadi)