Ziarah ke Situs Macan Putih Banyuwangi

Oleh : Mashuri Alhamdulillah.

 

Terhitung cukup lama saya ingin ziarah ke Situs Macan Putih, tilas kerajaan Blambangan paling menggetarkan pada tahun 1665—1697. Kini, di sana, dikenal sebuah situs Prabu Tawang Alun, atau Pangeran Kedawung. Tepatnya berada di Desa Gembolirang, Kecamatan Kabat, Banyuwangi. Ada yang menyebutnya sebagai tempat muksa raja paling mashur Blambangan, ada yang menyebutnya sebagai tempat bertapa. Ada pula yang menyebutnya sebagai tilas salah satu ibu kota Blambangan. Untunglah sebelum pandemi, saya sempat blakrakan bin blusukan ke sana. Lokasinya cukup jauh dari jalan raya, meskipun gerbangnya begitu mencolok di pinggir Raya Ketapang—Banyuwangi.

Kondisi Macan Putuh memang berbeda dengan ibu kota Blambangan di Kedawung, Desa Paleran, Kecamatan Umbulsari, Kabupaten Jember, yang sempat saya satroni beberapa tahun sebelumnya. Saya membandingkan dengan tempat itu karena nisbat Prabu Tawang Alun adalah Pangeran Kedawung. Bila kedawung mengarah pada nama pohon Kedawung. Nama Latinnya adalah Parkia Timoriana. Dikenal sebagai tumbuhan obat. Saat ini disebut-sebut masuk daftar 30 tanaman obat langka di Indonesia. Dimungkinkan, dulu, kawasan tersebut ditumbuhi banyak pohon tersebut, sehingga dinamakan dengan pohon itu sebagaimana beberapa nama tempat di Jawa atau Indonesia.

Adapun macan putih mengarah pada nama sebuah binatang. Macan putih adalah macan yang membawa gen resesif yang menghasilkan pewarnaan pucat. Ada juga satu fitur genetik yang menyebabkan belangnya juga berwarna pudar. Macan putih individu yang berbelang gelap tercatat sebagai subspesies Macan Benggala dan Macan Siberia (Panthera tigris altaica). Namun, di Jawa, harimau putih adalah semacam binatang sakral, sebagaimana binatang yang berlabel putih, seperti kera putuh, belut putih, dan lainnya. Kehadirannya setengah mitos, setengah nyata. Ehm.

I Made Sudjana dalam ‘Negeri Tawon Madu’ (2001), menjelaskan bahwa sejarah politik kerajaan Blambangan abad ke-18 tidak bisa lepas dari Macan Putih tersebut. Pasalnya, tempat ini adalah tempat keempat yang menjadi pusat kerajaan yang berada di ujung timur pulau Jawa tersebut. Dalam sebuah penelusuran, Sudjana menyebut negeri yang memiliki strategi pertahanan dan pemerintahan mirip tawon madu ini tercatata tujuh kali berpindah ibu kota kerajaan.

Pertama adalah Panarukan antara tahun yang tidak diketahui karena tidak ada catatan atau inskripsinya hingga 1596. Setelah itu, ibukota pindah ke Kedawung mulai 1596—1659. Selanjutnya berturut-turut: Bayu (1659—1665), Macanputih (1665—1697), Kutalateng (1697—1774), Ulupampang (1774) dan Banyuwangi (1774). Antara tahun 1295—1527, Blambangan merupakan taklukan dari Majapahit. Namun, setelah Majapahit runtuh, ia menjadi kerajaan sendiri.

Meski demikian, bukannya tanpa tantangan. Tantangan itu berasal dari luar dan dari dalam sendiri. Sebagaimana dikisahkan oleh Sudjana, perpindahan dari Kedawung ke Bayu (kini di wilayah Banyuwangi) juga karena menghindari pergolakan yang terjadi. Pangeran Tawangalun memindahkan ibu kota kerajaan ke Bayu pada 1659 karena perselisihan melawan saudaranya, yaitu Mas Wilah, dan juga karena serangan-serangan dari Mataram. Sebagaimana diketahui, pada 1646, Amangkurat I mengirim ekspedisi di bawah pimpinan Pangeran Selarong dan Padurekso, berhasil mengalahkan Blambangan dan membawa 1500 orang Blambangan ke Mataram dan banyak yang terbunuh.

Pada 1647, di bawah Tumenggung Wiraguna, dilakukan ekspedisi lagi dengan maksud untuk memboyong 1500 orang Blambangan ke Mataram. Rencana Mataram gagal karena Tumenggung Wiroguna meninggal dunia. Dari Bayu, ibu kota Kerajaan Blambangan pindah ke Macan Putih. Diyakini, di Macan Putih inilah Prabu Tawang Alun itu wafat.

Sementara itu, saya berhasil ke Macan Putih dengan diantar seorang pemuda aseli Banyuwangi yang sama sekali belum pernah ke sana dengan naik motor. Ia terdidik secara baik dan lulusan sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Ia sangat berterima kasih karena diminta mengantar ke lokasi legendaris, meski lewat petunjuk jalan lewat Google Map, karena akhirnya ia sampai ke sana, dan tidak sekadar mendengarnya.

“Saya mendengarnya sejak kecil, tetapi belum pernah ke sana, Mas,” tutur dia.

Sayangnya, sesampai di sana, ia sungkan mengikuti saya. Ia menunggu di luar pagar. Saya langsung masuk ke situs berpagar keliling, yang memang tidak dikunci. Tanpa basa-basi, saya menuju ke pusat situs. Seusai diam sebentar di sisi situs, saya lalu jepret sana jepret sini. Tidak seberapa lama, saya didatangi seorang perempuan setengah baya.

“Apa sampeyan sudah pamit sama Mbahnya?” tanya dia, dengan logat Madura yang kental.
“Sudah, Bu!” jawab saya. “Jenengan juru kunci petilasan ini?” lanjut saya.
“Iya, saya juru kuncinya,” tukas dia.

Selain bertugas membersihkan situs, ia mengaku mengerti sejarah Prabu Tawang Alun. Tak heran, , perempuan berjilbab itu kemudian menerangkan sejarah Prabu Tawang Alun dan beberapa hal yang berlaku di sana. Sebuah tradisi cangkeman.

“Pada hari-hari tertentu, rombongan orang-orang Bali datang ke sini, Mas. Besok mereka datang,” tutur dia.

Hmmm. Mungkin karena itu, lokasinya sudah sangat bersih. Catnya juga kinclong. Setidaknya, ada yang merambahnya, sehingga situs itu tetap terawat, meskipun berada jauh di pelosok dusun.Tapi sayangnya bangunan baru. Yang asli dihilangkan.

MA
On Sdokepung, 2021
Ilustrasi jepretan sendiri.