Bung Karno dan Palestina

Oleh : Muhammad Abid Muaffan.

 

“Selama kemerdekaan bangsa Palestina beloem diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itoelah bangsa Indonesia berdiri menantang pendjadjahan Israel.”
—Bung Karno, 1962.

Dukungan Presiden Republik Indonesia pertama, Ir Soekarno, terhadap kemerdekaan Palestina tak terbantahkan dan selalu konsisten. Bukan sekadar lewat kata-kata, tapi juga dibuktikan melalui tindakan nyata. Meskipun Bung Karno belum pernah menjejakkan kaki di tanah Palestina, namun jejak dukungan Sang Proklamator Indonesia untuk kemerdekaan Palestina telah terpatri dalam catatan sejarah.

Dukungan pemerintah Indonesia, yang digaungkan Bung Karno, terhadap kemerdekaan Palestina tak lepas dari sokongan yang diberikan pemerintah dan rakyat Palestina terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bahkan setahun sebelum Indonesia merdeka, pada 6 September 1944 mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini memberikan dukungan secara terbuka bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Berdasarkan buku “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri” karya M Zein Hassan Lc Lt, sejak dukungan yang disampai secara terbuka melalui siaran radio Syekh Muhammad Amin Al-Hussaini, jalanan di Palestina dipenuhi gelombang aksi solidaritas dan dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah.

“Terimalah kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,” kata saudagar kaya Palestina, Muhammad Ali Taher saat membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1944.

Setelah merdeka, saat Indonesia membutuhkan pengakuan sebagai negara berdaulat, lagi-lagi rakyat Palestina bergerak, mendorong Mesir mengakui Indonesia. Pengakuan kedaualatan dari Mesir dan Palestina pada 1947 itu merupakan buah diplomasi H Agus Salim melalui jaringan Ikhwanul Muslimin, yang berbasis di Palestina.

Setelah merdeka, Indonesia di bawah Presiden Sukarno juga mendukung rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan Israel. Indonesia tak pernah mau mengakui negara Israel yang diproklamasikan oleh David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Itulah sebabnya sejak zaman Bung Karno Indonesia tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Ketika Indonesia benar-benar mendapatkan kedaulatannya secara penuh pada 1949, barulah negara-negara lain di dunia ikut memberikan pengakuan, bahkan termasuk Israel.

Ya’acov Shimoni, Kepala divisi Asia pada 5 Desember 1949 mengusulkan dibukanya kantor konsulat Israel di Indonesia. Untuk itu, Presiden Israel Chaim Weizmann (1874 –1952) dan Perdana Menteri Ben Gurion menulis surat kepada Sukarno yang berisi ucapan selamat.

Selanjutnya, Menteri Luar Negeri Israel saat itu, Moshe Sharett pada Januari 1950 juga mengirim telegram kepada Mohammad Hatta yang berisi pengakuan penuh Israel terhadap kedaulatan Indonesia. Namun, Bung Karno tidak pernah menanggapi telegram dari Israel tersebut dan hanya Mohammad Hatta yang menanggapi hanya dengan ucapan terima kasih tanpa menawarkan hubungan diplomatik.

Namun, Israel tetap tidak menyerah dan berbagai upaya dilakukan untuk membuka celah hubungan dengan pemerintah Indonesia. Pada awal 1950, Sharett kembali menulis surat kepada Hatta mengenai rencana pengiriman misi muhibah ke Indonesia. Kembali lagi, Hatta atas nama pemerintah Indonesia membalas surat tertanggal 6 Mei 1950 yang berisi agar misi tersebut ditunda tanpa memberikan batas waktunya.

Bahkan pada akhir 1950, ketika pengusaha besar Israel RP Goldman melakukan kunjungan ke beberapa negara Asia, termasuk Indonesia untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan. Namun, delegasi bisnis Israel tersebut tidak mendapat respons positif dari Soekarno.

Dukungan Bung Karno terhadap Palestina ditunjukkan saat mulai menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1953. Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut.

Israel yang didirikan atas bantuan Inggris dinilai bentuk nyata kolonialisme baru yang mengancam perdamaian dunia.

Sebaliknya, saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955, Soekarno mengundang Palestina meskipun saat itu belum diakui sebagai negara merdeka. Mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini datang dan mewakili kepentingan Palestina.

Dalam pidato pembukaan KAA, Sukarno secara lantang memberikan dukungan kepada negara-negara yang masih mengalami penjajahan.

“Kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya,” kata Bung Karno.

Semangat Bandung yang menyuarakan anti imperialisme dan kolonialisme bergaung hingga di negeri Palestina. Pidato pembukaan Sukarno di KAA juga menginspirasi tokoh perjuangan kemerdekaan Yasser Arafat yang lahir pada tanggal 24 Agustus 1929 atau saat itu berusia berusia 34 tahun. Pidato tersebut juga menjadi dukungan moril bagi ribuan pejuang kemerdekaan Palestina lainnya.

Pasca-KAA, solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Soekarno pun makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Sikap keras Bung Karno juga ditunjukkan melalui tim sepak bola nasional (Timnas) Indonesia.

Pada 1957, Timnas Indonesia juara Grup 1 zona Asia setelah di laga akhir menaklukkan China. Tim asuhan Antony Pocganick pada putaran kedua dipertemukan juara grup dari zona Asia dan Afrika, yaitu Mesir, Israel, dan Sudan. Pertandingan dijadwalkan berlangsung akhir Juli 1957.

Artinya, selangkah lagi Ramang dkk melenggang ke Piala Dunia 1958 di Swedia. Namun, Timnas menolak dan memilih tidak tampil di Piala Dunia ketimbang beradu di satu lapangan dengan Israel. Mesir dan Sudan juga menolak bertanding, begitu juga sejumlah tim pengganti, seperti Turki.

Maulwi Saelan, mantan kiper Timnas Indonesia yang juga ajudan Sukarno, mengatakan, mundurnya Timnas Indonesia karena perintah Bung Karno. Padahal saat itu Indonesia yang bergabung di penyisihan wilayah Asia Timur, telah menundukkan China.

“Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan ucapan Bung Karno, seperti dikutip dari Historia. “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” kata Saelan yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.

Israel pun keluar sebagai juara grup tanpa lawan. Sial, meski melenggang ke babak play off, Israel gagal ke putaran final karena dua kali dari Wales (home and away). Pada Piala Dunia 1958 tak ada satu pun wakil Asia.

Dukungan terhadap Palestina kembali dilakukan Bung Karno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Caranya, pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dengan alasan Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik. Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan.

Hukuman itu tak membuat Bung Karno lemah, sebaliknya Bung Karno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. “Sebagai jawabannya Soekarno membentuk Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1963 yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D Legge dalam bukunya berjudul “Sukarno: Biografi Politik”.

Ganefo yang disebut-sebut sebagai ajang tandingan Olimpiade itu, akhirnya atas inisiatif keras Bung Karno dapat digelar dengan sangat meriah dan gempita di Jakarta 10-22 November 1963.

Sebanyak 51 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin ikut ambil bagian. Tercatat tak kurang dari 2.700 atlet berkompetisi pada 20 cabang olahraga. Republik Rakyat China keluar sebagai juara, Uni Soviet di urutan ke-2, dan Indonesia di peringkat ke-3.

Dukungan Soekarno terhadap Palestina tidak pernah luntur meskipun kekuasaan pemerintahannya mulai limbung setelah peristiwa G-30S/PKI. Pada pidato Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-21 Republik Indonesia 17 Agustus 1966, Bung Karno tetap terus menggelorakan dukungan untuk kemerdekaan Palestina.

“Kita harus bangga, bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus. Bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa anti-imperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel !”