Oleh : Bobby Rahadyan
Terus terang membaca tulisan berjudul Pertemuan H. Hendy-Gus Firjaun Dengan Wartawan Dapat Menimbulkan Friksi (?) karya Singgih Sutoyo yang dimuat di media daring Viralkata.com, sedikit banyak membuat saya bingung. Selain bias dengan pemberian tanda tanya dalam judul yang tidak sesuai dengan diksi dari maksud kalimatnya, saya ragu mendefinisikan tulisan ini sebagai berita, opini atau sentimen belaka yang seolah berusaha dibungkus sebagai karya jurnalistik.
Penulis membuka persoalan dengan narasi yang menyatakan bahwa pertemuan yang dimaksud dipertanyakan oleh sebagian wartawan, baik yang diundang maupun yang merasa tidak diundang dalam pertemuan tersebut. Sebagai penguat narasinya, penulis juga mencamtumkan informasi bahwa ada 100 orang wartawan di Jember tapi hanya 40 orang wartawan saja yang hadir dalam pertemuan ini.
Kemudian tulisan berlanjut dengan alur narasi maju-mundur yang berisi tentang dinamika dunia pers dan media di Jember selama ini. Termasuk menyoal adanya polarisasi media di era bupati terdahulu dengan gamblang. Secara runut, informasi disampaikan dalam narasi pihak pertama yang kemudian berujung pada konsepsi tiga babak—soal—konflik—solusi. Seolah berkesan berpihak pada prinsip “cover both side”, pernyataan dari narasumber—yang tentu saja adalah para wartawan sebagai subyek utama dari tulisan ini—ikut ditampilkan untuk mengesankan kaidah berita yang netral dan objektif.
Sebagaimana judul yang saya buat untuk tulisan ini, saya ingin menyampaikan beberapa poin yang bagi saya adalah plot hole dari tulisan berjudul “Pertemuan H. Hendy-Gus Firjaun Dengan Wartawan Dapat Menimbulkan Friksi (?)”. Saya tidak ingin menduga kalau-kalau friksi yang ditakutkan terjadi itu ternyata fiksi. Plot Hole dalam dunia film adalah istilah untuk mengilustrasikan kegagalan alur cerita atau maksud yang ingin disampaikan oleh sutradaranya. Apakah tulisan yang Pak Singgih buat itu salah atau benar, baik atau buruk, itu bukan apa yang mau saya sampaikan. Pada akhirnya setiap berita atau karya tulis akan selalu menciptakan dimensi multi-persepsi bagi para pembaca sesuai dengan pengalaman dan pemahamannya masing-masing. Dan lumrah bagi sesama penulis untuk memberikan kritik atau masukan terhadap karya. Garis bawah karya, bukan personal.
Sebagai bagian dari Biro Media HSC, tentu saja apa yang saya tulis ini, pasti akan langsung dianggap sebagai pembelaan atas apa yang terjadi dalam pertemuan itu. Tak mengapa, sekali lagi kita harus memahami bahwa “karya tulis akan selalu menciptakan dimensi multi-persepsi bagi para pembaca sesuai dengan pengalaman dan pemahamannya masing-masing.” Tapi setidaknya saya berharap, tulisan saya ini diterima sebagai bagian dari keberpihakan kita semua pada kebebasan bersuara.
Saya akan coba mulai dengan informasi yang mungkin tidak disampaikan oleh Pak Singgih dalam tulisannya. Pertama adalah, pertemuan yang dilakukan oleh Haji Hendy Siswanto itu bertajuk “Wayahe Ngopi Bareng Bupati Hendy Siswanto”. Acara yang dimaksudkan sebagai anjang sana dan silaturahmi Haji Hendy sebagai pribadi dengan awak media. Judul itu didapat dari proses penggantian nama acara yang diusulkan oleh orang yang menginisiasi penyelenggaraan acara ini.
Kedua, seperti yang dikutip dari pernyataan Suhaimik (narasumber dalam tulisan Pak Singgih) yang berbunyi “Yang memberikan undangan dalam pertemuan itu bukan H. Hendy, tapi salah seorang teman wartawan,” ucap Suhaimik, wartawan senior di Jember, kemudian menyebut nama seorang wartawan yang mengundang dirinya ikut dalam pertemuan tersebut.
Benar bahwa yang memberikan undangan bukan Haji Hendy dan mungkin orang yang dimaksud dalam pernyataan Suhaimik dan tidak disebut dalam tulisan itu adalah Cak Kustino Misri, aktivis yang selama ini dikenal dekat di kalangan media. Cak Kus bukan wartawan. Cak Kus-lah yang juga menginisiasi pertemuan ini. Saat bertemu di sela-sela acara, Cak Kus menyampaikan bahwa melalui pertemuan ini, ia ingin ada ajang silaturahmi antara wartawan dan Haji Hendy sebelum dilantik sebagai bupati. Saya sendiri tidak tahu bagaimana mekanisme undangan itu sampai ke wartawan, tapi yang jelas bahwa usulan nama-nama yang terdaftar juga berasal dari Cak Kus.
Bahwa tidak semuanya diundang, ada beberapa hal yang dijadikan pertimbangan. Tapi yang paling utama adalah soal meminimalisir kerumunan di tengah pandemi. Persoalan tendensi adanya wartawan partisan era bupati terdahulu yang ditulis tidak hadir dalam pertemuan, dapat saya pastikan itu salah besar. Dalam sesi tanya jawab yang dibuat akrab dengan gimmick komedi, suasana cair terjadi ketika Cak Kus sebagai moderator menodong seorang wartawan yang oleh sebagian besar undangan dianggap sebagai wartawan partisan era bupati terdahulu. Ini sudah jelas membantah narasi dalam tulisan Pak Singgih yang berbunyi “Namun disayangkan wartawan yang ikut dalam pertemuan hanya dari kelompok tertentu, tidak mengajak semua kelompok wartawan. “Minus kelompok wartawan pendopo era bupati Faida, kata sumber lain.” Bahkan beberapa orang wartawan yang hadir dalam pertemuan ini, merupakan perwakilan organisasi wartawan seperti PWI, AJI, IJTI dan KJI. Seperti Sigit dari PWI, Faizin Adi dan Andi dari AJI, Tomi dari IJTI dan Moko dari KJI.
Ketiga, ketertarikan saya pada salah satu diksi yang ditulis untuk mengesankan bahwa sesuatu yang positif belum tentu menghasilkan yang selalu positif tapi kadang muncul bias. Terjadinya friksi di kalangan wartawan hanya karena sebuah pertemuan silaturahmi yang ditakutkan Pak Singgih (kalau memang itu maksudnya), rasa-rasanya jauh dari konteks objektif jika tulisan yang dibuat ditujukan sebagai bahan berita atau opini publik.
Sekali lagi, tulisan yang dibuat seolah dibungkus sebagai opini publik dengan penyertaan narasumber belum tentu mewakili keseluruhan konteks dari sebuah peristiwa. Apalagi yang dibahas rawan dengan konflik kepentingan. Tentu saja, wartawan itu adalah profesi mulia yang saya pikir titik berat dinamikanya berada pada mampu atau tidaknya wartawan dalam memberikan akses informasi dan berita yang disajikan sebagai karya intelektual untuk mencerdaskan masyarakat. Tidak hanya soal pemberitaan transaksional yang dalam tulisan Pak Singgih ini disebut berulang kali dan seolah-olah dijadikan subyek yang dapat menimbulkan friksi itu tadi.
Jika demikian tulisan Pak Singgih itu adalah sebuah berita, saya berharap ada check and balance yang menyeluruh, baik dari pernyataan narasumber atau asumsi yang dibangun dalam narasinya. Terlebih soal pemilihan judul yang bisa jadi adalah teks utama untuk menyimpulkan isi dari keseluruhan karya tulis yang dibuat. Bagi saya, judul yang dibuat Pak Singgih justru yang akan menjadi pemicu munculnya friksi apabila pembaca tidak jeli membaca persoalan yang dibahas dari sudut pandang yang lebih luas agar ruang dimensi multi-persepsi yang dihadirkan bisa lebih adil, baik bagi pembaca awam atau subyek yang dimaksud.
Saat selesai menulis ini, saya coba membuka pesan Whatsapp dari Cak Kus yang berisi daftar wartawan yang diundang dalam pertemuan itu, dan membaca ada nama Singgih-Viralkata.com di dalamnya. Sayangnya, seingat saya—saat acara kemarin, Pak Singgih tidak hadir, atau saya yang tak memperhatikan, saya tidak tahu. Andai saja saat itu hadir dan ikut menyampaikan aspirasi secara langsung, mungkin judul tulisannya juga beda. Sengaja saya tidak menyampaikan sedikit pun narasi dari Haji Hendy terkait pertemuan itu, karena tulisan ini, saya buat mewakili saya pribadi. Apalagi sudah jelas jika memang ada friksi itu, saya akan ditempatkan sebagai partisan. Tak mengapa, karena yang jelas saya adalah pekerja literasi–profesional–dan bukan buzzer.
Kawan2 wartawan tolong tag Cak Kus ya, saya ternyata tak berkawan dengan beliau di FB. Hehehe.
NB : jangan lupa kaosnya dipakai, itu saya dan kawan2 di HSC kedandapan bikin semalam jadi khusus untuk kawan2 media di Jember atas permintaan Haji Hendy.
#numpanghahahihi #ceritaharinanti