Belajar dari Banyuwangi

BELAJAR DARI BANYUWANGI

Oleh Fahd Pahdepie*

Di negeri ini, bila ada sebuah kota yang berhasil mengubah citranya dengan sangat baik, Banyuwangi boleh jadi berada di urutan pertama. Transformasi yang ditunjukkan kota ini dalam 10 tahun terakhir begitu luar biasa. Kota di ujung paling timur pulau Jawa yang sebelumnya dikenal angker, tempat menimba ilmu hitam, dengan beban sejarah yang begitu berat, kini berubah menjadi sebuah kota masa depan dengan berbagai inovasi yang membuat banyak orang berdecak kagum.

Dulu, kota ini dikenal sebagai kota santet. ‘Tragedi Santet’ yang menewaskan lebih dari 100 orang di tahun 1998 membuat orang takut datang ke Banyuwangi. Karena akses yang terbatas, orang dari luar daerah mungkin hanya rela naik bus selama enam jam ke Banyuwangi dari Surabaya untuk menimba ilmu hitam di hutan Alas Purwo atau bertapa mencari pesugihan di lereng Gunung Ijen.

Namun, kini cerita itu telah berlalu. Sekarang orang berbondong-bondong datang ke Banyuwangi untuk berwisata. Banyuwangi, the sunrise of Java, telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia. Di bawah kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas, citra angker dan mistis Banyuwangi berhasil dikubur dalam-dalam. Orang kini mengenal Banyuwangi karena wisata alamnya yang indah, kulinernya yang luar bisa, festival-festival yang bikin kagum, serta cerita tentang pelayanan publik dan pengentasan kemiskinan yang begitu mengesankan.

Hari itu, Senin 24 Juni 2019, saya berkesempatan mengikuti apel pagi yang rutin digelar Bupati Anas di halaman kantor Pemda. Seluruh pimpinan dan SKPD hadir untuk mendengarkan ‘briefing’ yang disampaikan Bupati Anas. Ia menyampaikan visinya tentang Banyuwangi, bahwa seluruh pihak harus terlibat dalam visi itu, bahwa mereka bertanggung jawab untuk membuat rakyat bahagia dan sejahtera, bahwa setiap inovasi dan program yang digulirkan bukan hanya untuk Banyuwangi hari ini tetapi juga warisan untuk generasi yang akan datang.

“Masyarakat harus bangga pada kotanya. Semua orang di sini adalah PR [public relations] untuk kota ini. Karena fokus kita sektor pariwisata, sering saya katakan, setiap kepala dinas di Banyuwangi adalah juga kepala dinas pariwisata.” Berulangkali Anas menekankan poin itu pada jajarannya.

Kepiawaian Anas dalam berkomunikasi adalah salah satu modal besar untuk menurunkan visinya hingga ke level paling bawah—sampai rakyat terkecil. Selain briefing besar yang melibatkan jajaran aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemda Banyuwangi, Anas juga menggelar rapat rutin bersama pimpinan SKPD. Dalam apel pagi itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana Sang Bupati berorasi mulai dari menancapkan visi dan impian, menegur aparat yang tidak disiplin dalam menjalankan tugas, memberi mereka apresiasi dan penghargaan, melempar lelucon, lalu ditutup dengan doa bersama.

Usai upacara, semua pimpinan dan PNS diarahkan ke selasar timur kantor Pemda. Di depannya terdapat ‘lounge’ yang diperuntukkan untuk masyarakat, agar merasa nyaman ketika berkunjung ke kantor Pemda. Di sana sudah tersedia aneka minuman dan makanan, mulai dari kopi hingga kue-kue tradisional khas Banyuwangi. Di sanalah sebenarnya visi-visi besar Anas didetailkan. Dalam sesi ‘morning coffee’ yang informal dan bersahabat itu, Sang Bupati bercengkrama dengan seluruh jajarannya. Sambil memastikan satu persatu bahwa semua program berjalan dengan baik.

Fokus Pada Pariwisata

“Setelah saya pelajari, pariwisata adalah yang paling cepat memberikan ‘tricke down effect’ hingga ke unit yang paling kecil di masyarakat. Dampaknya langsung terasa,” katanya, “Jika kami menggenjot sektor industri, bisa jadi perekonomian tumbuh. Tetapi itu hanya bisa dirasakan para pengusaha, masyarakat hanya menjadi buruh. Pariwisata berbeda, semua sektor bisa tumbuh bersamaan, masyarakat juga terberdayakan. Mulai dari homestay, hingga kuliner. Dalam lima tahun terakhir, wisatawan Banyuwangi tumbuh dari 400-an ribu ke 5,4 juta pengunjung. Selain wisata alam, ada 99 festival di Banyuwangi yang didesain secara cermat untuk mendatangkan wisatawan, dari musik hingga fashion.” Sambungnya.

Keberhasilan Banyuwangi menggenjot sektor pariwisatanya memang berdampak langsung pada kesejahtaraan rakyat. Terbukti angka kemiskinan di Banyuwangi menurun drastis. Di masa kepemimpinannya, kemiskinan di Banyuwangi menurun drastis dari 20,4% ke angka 7,4%. “Fokus pemerintah adalah menata kota ini dengan visi yang benar, sambil memastikan semua pelayanan publik terlaksana dengan baik. Sementara itu, masyarakat disibukkan dengan berbagai kegiatan. Festival itu selain mendatangkan turis, membuat tingkat okupansi hotel dan homestay terus tinggi, juga membuat masyarakat sibuk. Ekonomi rakyat bergerak dari sana, mulai dari oleh-oleh, kerajinan, hingga kuliner.”

Saya merasakan sendiri bagaimana Banyuwangi bertransformasi menjadi sebuah kota yang dibanggakan masyarakatnya. Lima atau enam tahun lalu, baru ada satu hotel berjaringan internasional yang ada di Banyuwangi. Kini, hotel-hotel terbaik berdiri di Banyuwangi untuk menyangga sektor pariwista, memastikan kota ini layak menjadi destinasi wisata kelas dunia.

Hotel-hotel ini pun tak sekadar berdiri, Pemda Banyuwangi mensyaratkan satu hal yang wajib dipenuhi agar IMB terbit, “Hotel harus didesain dengan arsitektur yang baik, memuat simbol dan nilai-nilai khas Banyuwangi. Kita menitipkan sejarah dan peradaban di sana. Karena mayoritas warga Banyuwangi muslim, setiap hotel yang dibangun harus memiliki masjid yang layak.” Ujar Anas.

Meski demikian, visi pembangunan Banyuwangi memiliki ‘track’ yang jelas. Pertumbuhan hotel dan resort dimaksudkan untuk menunjang ‘amneties’ sektor pariwisata. Namun sektor lain harus tetap dijalankan rakyat, bukan korporasi. Banyuwangi bahkan melarang pendirian hotel kelas melati, karena itu bisa membunuh homestay-homestay yang dikelola rakyat.

Di Banyuwangi, pasar juga diproteksi dengan baik. Gerai minimarket berjaringan seperti Alfamart dan Indomart yang kini ada adalah yang berdiri delapan tahun yang lalu. Sudah delapan tahun izin membangun mal dan pusat perbelanjaan dihentikan oleh Pemda. “Pertumbuhan ekonomi tak boleh membunuh usaha rakyat,” Kata Anas, “Kalau pun ada mal baru yang berdiri di Banyuwangi, itu adalah mal pelayanan publik.”

Ini inovasi lainnya, tentu saja. Mal pelayanan publik di Banyuwangi merupakan pusat pelayanan publik terpadu dengan jumlah layanan paling signifikan, total berjumlah 199 layanan. Masyarakat tak perlu ribet mengantre untuk mendapatkan hak layanannya, mulai dari mengurus orang lahir hingga mengurus orang mati. Semua bisa dilakukan di sini. Tahun 2018 saja, inovasi ini telah menghasilkan 218.345 dokumen yang membantu masyarakat Banyuwangi. Tak mengherankan bila inovasi ini mendapatkan penghargaan dari level nasional hingga Internasional.

‘A Whole New Mind’

Pendekatan Anas dalam menata kotanya, yang dibuktikan dengan ratusan penghargaan yang diterima Banyuwangi, telah membuat citra kota ini melambung. Banyuwangi selalu berada di bawah lampu sorot setiap kali kita membicarakan inovasi dan kepemimpinan daerah. Bagi saya, hal terpenting yang dilakukan Bupati Anas bukan sekadar bekerja, tetapi sekaligus mengemas semuanya sesuai dengan spirit zaman ini.

Daniel Pink dalam bukunya ‘A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule The Future’ (2006) menyebut bahwa ada enam prinsip dasar yang harus dipenuhi sebuah gagasan agar bisa relevan dengan zaman ini. Saya kira, hampir setiap program unggulan Banyuwangi lulus dalam tes enam prinsip dasar ini.

Pertama, ‘not just function but also design’. Bukan hanya fungsi tetapi juga desain. Selain berhasil mewujudkan mimpi bandara Blimbingsari yang kini punya puluhan penerbangan ke dan dari Jakarta serta Surabaya, bandara yang menjadi prasyarat aksesibilitas ini juga didesain dengan sangat baik. Saat mendarat, Anda bukan hanya disuguhkan sebuah bandara yang indah, tetapi juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Bandara ini derancang sedemikian rupa sehingga tak membutuhkan pendingin ruangan (AC), dibangun dengan kayu-kayu bekas khas Banyuwangi, dioperasikan secara ‘low cost’, dan didesain mengadopsi rumah adat Osing khas Banyuwangi.

Kedua, ‘not just argument but also story’. Bukan hanya argumen, tetapi juga cerita. 99 Festival Banyuwangi saya kira bukan hanya dimaksudkan untuk membuat atraksi yang mendatangkan turis. Tetapi sekaligus membentuk percakapan-percakapan publik. Bupati Anas sadar betul bahwa dari sanalah cerita postitif Banyuwangi akan terbentuk.

Ketiga, ‘not just focus but also symphony’. Bukan hanya fokus, tetapi juga simfoni. Ketika Bupati Anas menyatakan bahwa semua kepala dinas di Pemda Banyuwangi sekaligus merangkap kepala dinas pariwisata, ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran yang baik bahwa fokus Banyuwangi di sektor pariwista harus disokong bersama-sama. Terbangunnya simfoni yang baik yang diorkestrasikan bersama elemen-elemen pemerintahan yang lain, adalah sebuah prasyarat yang niscaya.

Keempat, ‘not just logic but also empathy’. Bukan hanya logis, tetapi sekaligus empatik. Program Siswa Asuh Sebaya (SAS) yang mengajak siswa SD hingga SMA Banyuwangi yang berkelebihan untuk menyisihkan uang sakunya dalam rangka membantu temannya yang miskin adalah sebuah terobosan yang luar biasa. Program ini bukan hanya logis mengatasi kesenjangan kelas, tetapi juga membangkitkan empati, mengandung pendidikan karakter. Digulirkan pertama kali tahun 2011, hingga saat ini program ini sudah menyalurkan bantuan lebih dari Rp19 miliar, murni dari uang saku siswa!

Program lainnya yang luar biasa adalah ‘Rantang Kasih’. Bekerjasama dengan PT Go-Jek, Pemda Banyuwangi mengirimkan rantang berisi makanan untuk para lansia yang hidup sebatang kara. Sehari dua kali, rantang-rantang ini bergerilya memastikan lebih dari 2.000 lansia di Kabupaten Banyuwangi terpenuhi gizinya dengan baik.

Kelima, ‘not just seriousness but also play’. Bagi Anas, mengelola Banyuwangi bukan hanya tentang hal-hal serius belaka, tetapi juga tentang mendatangkan kegembiraan untuk masyarakat. Ide 99 Festival adalah untuk membuat masyarakat terus bergembira. Mereka juga sibuk menjadi tuan rumah bagi tamu (turis) yang datang. Kata Anas, “Konon, kalau rakyatnya nggak sibuk, Bupatinya yang sibuk. Tapi kalau rakyat dibuat sibuk, Bupatinya bisa sedikit lebih tenang. Semua bahagia.” Selorohnya.

Keenam, ini yang paling penting, not just accumulation but also meaning’. Bukan hanya tentang jumlah, tetapi maknanya. Tentu saja 99 festival bukan tentang jumlah, tetapi apa makna yang terkandung di dalamnya? Angka penurunan kemiskinan bukan sekadar jumlah, tetapi apa makna yang ikut serta di dalamnya. Ratusan penghargaan yang diterima Banyuwangi bukan hanya jumlah, tetapi serangkaian kisah perjuangan yang dilakukan pemimpin dan masyarakat kota ini untuk berubah dan menjadi yang terbaik.

Akhirnya, bila kini kita sering mendengar cerita positif tentang Banyuwangi, bila kita melihat bagaimana orang Banyuwangi tidak lagi malu menyebut dirinya orang Banyuwangi, bila kita sering mendengar slogan ‘Majestic Banyuwangi’, bila kita kian akrab dengan tari gandrung atau nasi tempong, atau bila kita kerap melihat tulisan ‘I love BWI’ di mana-mana… Itu bukan kebetulan belaka. Kota ini memang telah melakukan serangkaian kerja besar dan serius, bertransformasi menjadi salah satu kota terbaik dan paling layak huni di Indonesia. Yang dibanggakan masyarakatnya.

Kalau Anda tak percaya, datanglah ke Banyuwangi. Anda pasti akan kembali!

FAHD PAHDEPIE — Penulis, Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan RI

Yulianto

Koresponden MM.com