Kisah Lakon Bima Maneges

 

Oleh: Wawan Susetya*

 

ADA fenomena muncul munculnya seorang Resi Gupala yang membuat padepokan di wilayah Aldaka, dekat perbatasan Negara Astina. Keberadaan Resi Gupala tersebut membuat gusar Prabu Duryudana karena dikhawatirkan akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Astina.

Di dalam pasewakan agung Negara Astina, datanglah Prabu Kala Teja Lelana dari Negara Slendro Ujung Laut yang hendak berguru kepada Resi Durna. Tujuannya tak lain hendak belajar Ngelmu Kasampurnan kepada Resi Durna. Namun ada syaratnya, yakni Prabu Kala Teja Lelana harus dapat menumpas Resi Gupala di Aldaka. Maka berangkatlah Prabu Kala Teja Lelana dengan diikuti para Kurawa ke kawasan Aldaka.

Sesampainya di wilayah Aldaka, Prabu Kala Teja Lelana bertemu dengan Mayang Seta selaku juru kunci yang menjaga padepokan Resi Gupala. Dalam kesempatan itu, Prabu Kala Teja Lelana yang rencananya akan membasmi Resi Gupala, namun memberikan kesempatan tetap di situ bila Mayang Seta dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Mayang Seta pun menyanggupinya.

Pertanyaannya Prabu Kala Teja Lelana yakni:

Siapa yang wajib disembah, di mana tempatnya yang disembah itu, apa syaratnya untuk menyembah, dan bagaimana tata cara menyembah yang benar?

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Mayang Seta dengan cermat. Bahwa yang wajib disembah yaitu Gusti Yang menciptakan jagad raya. Tempatnya yang disembah tak lain di qalbu mukmin baitullah (telenging ati). Sedang, syaratnya menyembah yaitu bagi orang-orang yang mau membangun watak utama, ikhlas, sabar, ridho, dsb. Sebelum menyembah harus mengerti terlebih dahulu yang disembah.

Setelah menjawab pertanyaan itu, Mayang Seta giliran menanya kepada Prabu Kala Teja Lelana: “Apa tegese landhep ora natoni, banter ora nglancangi?” (Apa artinya tajam tidak melukai, cepat tidak menyalip atau mendahului?).

Mendengar pertanyaan itu, Prabu Kala Teja Lelana hanya tertawa dan menganggap itu pertanyaan hanya asal saja.

Mayang Seta kemudian memberi penjelasan dengan mengatakan, “Landhep ora natoni tegese pangecape wong wicaksana” (Tajam tidak melukai itu maknanya bicaranya orang yang bijaksana). Ucapan atau lisan itu tajam, sehingga orang harus berhati-hati ketika berucap.

“Banter ora nglancangi tegese pinter ananging ora keminter” (cepat tapi tidak menyalip atau mendahului itu orang pinter tapi tidak menyombongkan diri). Itulah gambaran orang bijaksana yang tidak sok pandai.

Mendengar hal itu Prabu Kala Teja Lelana menjadi geram lalu menendang tubuh Mayang Seta hingga hilang dari pandangan mata. Dalam sekejap tiba-tiba Mayang Seta telah sampai di hadapan para anak Pandhawa seperti Antasena, Gatotkaca, Wisanggeni dan sebagainya. Mayang Seta berubah wujud aslinya menjadi Anoman seraya menyampaikan bahwa padepokan kedatangan raksasa bernama Prabu Kala Teja Lelana yang hendak menyerang padepokan Resi Gupala.

Prabu Kala Teja Lelana dengan dibantu Suta Ayu menyerang para anak Pandhawa hingga mereka kewalahan. Saat anak-anak Pandhawa tak kuasa menghadapi Prabu Kala Teja Lelana, maka dia leluasa masuk ke dalam padepokan. Ternyata yang dijumpai sebuah patung yang wajahnya mirip Bima Sena. Patung tersebut hendak diangkat oleh para Kurawa, tetapi mereka tidak mampu. Lalu Prabu Kala Teja Lelana membaca mantra, tiba-tiba patung Resi Gupala tadi menjadi kecil, hanya segenggam saja.Setelah itu Prabu Kala Teja Lelana membawa patung kecil tadi dihadapkan kepada Prabu Duryudana.

Sementara itu, Bima Sena alias Werkudara sedang menjalankan semadi (tapa brata). Ia menyadari kewajibannya sebagai seorang ksatria yang bertugas memayu hayuning bawana. Dalam semadi-nya, ia berjumpa dengan Bathara Bayu (Dewa Angin) yang kemudian memberikan wejangan, antara lain mengingatkan kepada Bima bahwa zaman sekarang itu banyak maling teriak maling. Selain itu Bathara Bayu juga mengingatkan supaya Bima tidak terpengaruh dengan gemerlapnya duniawi. Maka yang harus diingat oleh Bima yaitu Tirta pamitra di manding suci (air penghidupan). Dengan demikian diharapkan selalu bisa bening pikirannya, menep rasane (tenang), mantep panembahing marang Gusti (mantap dalam beribadah). Hal itu sangat jarang bisa dilakukan oleh kebanyakan manusia karena mereka banyak terlibat dalam pertengkaran dan tidak mau berfikir mendalam.

Tiba-tiba dari tubuh Bathara Bayu memancar cahaya yang sangat terang lalu merasuk ke dalam tubuh Werkudara. Cahaya itu disebut dengan Cempaka Mulya (Anugerah Wahyu Kamulyan). Hanya orang yang berhati bersih dan bijaksana saja yang dapat menerima anugerah itu. Itulah bekal bagi Bima sebagai pegangan memimpin dan memberi pengayoman kepada rakyat Ngamarta.

Setelah itu datanglah Anoman yang melaporkan bahwa tubuh atau raga Bima yang menyamar sebagai Resi Gupala telah dibawa oleh Prabu Kala Teja Lelana ke Astina.

Sementara itu Arjuna dengan diikuti para punakawan sowan (menghadap) kepada Begawan Suya Bawana di pertapan Pusar Bumi. Setelah itu Sang Begawan mengajak Arjuna pergi.

Prabu Kala Teja Lelana telah sampai di Astina seraya menyerahkan patung Resi Gupala yang wajahnya mirip Bima. Prabu Duryudana lalu memerintahkan supaya patung tersebut dibakar.

Ketika api unggun telah menyala, tiba-tiba terlihat cahaya terang (brantasena) yang masuk ke dalam patung Resi Gupala (Bima). Patung itu pun berubah menjadi besar seperti wujud semula. Para Kurawa bubar ketakutan. Tak lama kemudian datanglah Begawan Suya Bawana beserta Arjuna. Tapi terjadinya peperangan antara Begawan Suya Bawana dengan Prabu Kala Teja Lelana tak terelakkan lagi. Akhirnya mereka berubah wujud seperti sedia kala.

Prabu Kala Teja Lelana berubah menjadi Teja Mantri (Togog), sedang Resi Suya Bawana berubah menjadi Semar. Togog yang tak lain kakak Semar itu mengatakan bahwa ia hendak mengetahui apakah Resi Durna benar-benar dapat mengajarkan Ngelmu Kasampurnan (kebaikan) atau tidak. Togog juga ingin mengetahui langsung betapa Duryudana benar-benar hanya memikirkan duniawi saja.

Sementara Semar juga mengatakan ketika ia berubah menjadi Begawan Suya Bawana tadi hendak menguji terhadap kepedulian Pandhawa (terutama Bima dan Arjuna) dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta memberantas angkara murka.

Semar mengatakan Werkudara telah maneges (ibadah, shalat) untuk memerangi angkara murka serta melindungi rakyat Ngamarta.

Di tempat lain Werkudara tengah berperang dengan Duryudana, sedang puncaknya dalam Prang Bratayuda Jayabinangun.

*Penulis adalah budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung