Oleh : Dr. Akhmad Taufiq.
Harimau-harimau” itu berjalan pada jalan panjang. Sebuah “Jalan Tak Ada Ujung”. Ia melangkah gontai, begitu gontai. Dalam tubuhnya, lelah hidup ia pertaruhkan.
Sebuah perasaan, entah apa itu yang ia sebut sebagai gairah hidup yang tersisa; sebagaimana gairah atas “Maut dan Cinta”, yang terus ia peram. Terus ia peram, dan terus ia peram.
“Harimau-harimau” itu dengan langkah gontainya pun terus berjalan, menyusuri hutan, gunung; bahkan, kota-kota. Tak ada yang ia temui. Semua kosong. Kota-kota itu pun kosong. Hanya ada tersisa kegaduhan, ketika kota itu baru saja terjadi peristiwa aneh, tapi terus berulang, dan terus saja berulang.
Senja pun tiba. Sampailah harimau-harimau itu tiba di gerbang kota. Yah, kota Jakarta. Harimau-harimau itu girang, betapa bahagianya. Ia bisa melihat langit berarak merah, ketika “Senja di Jakarta”. Warna merah, adalah warna yang indah bagi dirinya. Sebagai kenangan atas rindunya pada kakeknya yang pernah menghidangkan sekerat daging, yang masih berlumur sedikit darah.
Senja di Jakarta. Harimau-harimau itu merasa kosong, sepi bersama sekawanan yang baru saja tahun lalu merayakan kemenangan. Kemenangan dari sebuah perjalanan panjang. Kemenangan yang ingin mengajaknya kembali, sebelum masa perjalanan. Damai.
Ah, ini di Jakarta, jangan kau rindukan kedamaian di tanah ini. Inilah barangkali “Tanah Gersang” yang hanya dapat membuatmu kesepian di kampung halaman. Kampung halaman, sebagaimana kampung halamanmu. Di tanah ini, kau hanya akan belajar, betapa begitu dalam arti sebuah rindu dan kenangan untuk sesuatu yang pernah hilang, untuk halaman rumahmu yang kau sebut Indonesia.
Salam Sastra!
Salam Puitika Nusantara!
Mengenang sastrawan besar Indonesia,
Mochtar Lubis.
Jember, 9 Maret 2021