SETELAH vakum di bulan Januari 2021 karena ada Surat Edaran Bupati Tulungagung mengenai larangan berkegiatan (berkerumun) di masa pandemi, ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) Tulungagung mengadakan kegiatan sarasehan di bulan Pebruari 2021 di rumah Ki Wawan Susetya Boyolangu pada Jumat malam (26/2) dengan mengangkat tema Menguak Lakon Bima Suci (Dewa Ruci) Tekstual dan Kontekstual. Pemantiknya antara lain Dr. M. Teguh Ridwan, Ki Lamidi, dan Ki Wawan Susetya yang dipandu moderator Anang Prasetyo. Sarasehan budaya tersebut dihadiri sekitar 40-an peserta dari berbagai komunitas dan daerah.
Nah, bagaimana jalannya sarasehan budaya ForSabda malam Sabtu itu? Berikut laporan Wawan Susetya dari Menara Madinah kepada pembaca yang budiman.
Lakon Bima Suci (Dewa Ruci) dalam pewayangan merupakan lakon (cerita) yang sangat disukai orang Jawa karena mengandung makna filosofi-spiritual yang sangat mendalam. Itulah sebabnya ForSabda, komunitas budaya Tulungagung mengangkat tema mengenai Bima Suci.
Anang Prasetyo selaku moderator dalam sarasehan budaya tersebut memberikan prolog bahwa dalam lakon Bima Suci itu menggambarkan perjalan Bima Sena atau Bratasena ketika hendak mencari ngelmu sangkan paraning dumadi atau ngelmu kasampurnan (kesempurnaan hidup). Dalam hal ini, Bima Sena bertanya kepada gurunya Resi Durna. Berikutnya Bima menjalankan perintah gurunya (Resi Durna) hingga akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci yang melambangkan sebagai guru sejati Bima.
Pemantik pertama budayawan Ki Wawan Susetya mengisahkan perjalanan Bima Sena alias Bratasena yang hendak mencari Ngelmu Kasampurnan (Ilmu Ketuhanan) atau sangkan paraning dumadi (manusia berasal dari mana dan hendak ke mana) melalui Resi Durna. Ki Wawan mengatakan ada tiga fase (tahapan) yang ditempuh oleh Bratasena dalam menjalankan perintah Sang Guru, yakni;
Pertama, Bima diperintah supaya menjalankan tapa brata di Gua Durangga berbentuk sumur tua yang sangat dalam lagi gelap. Ketika bertapa di sana, Bima menghadapi serangan naga besar jelmaan bidadari Dewi Maheswari, putri Sang Hyang Dewaheswara. Namun Bima Sena mampu mengatasinya. Sebab Dewi Maheswari hanya bermaksud menguji kesungguhan Bima Sena dalam menjalankan tapa brata.
Kedua, Bima Sena diperintahkan oleh Resi Durna ‘kayu gung susuhing angin’ (rumah angin) di Gunung Candradimuka. Belum lama bertapa di sana, Bima diserang dua orang raksasa bernama Rukmaka dan Rukmakala. Setelah terkena kuku pancanaka, dua orang raksasa itu berubah wujud aslinya yaitu Bathara Endra dan Bathara Bayu.
Ketiga, setelah itu Bima Sena diperintahkan oleh gurunya Resi Durna untuk mencari banyu perwita suci atau banyu perwita sari di dasar samudera sebagai penyempurna dari cita-citanya menggapai Ngelmu Kasampurnan. Sesampainya di dasar samudera, Bima Sena diserang oleh seekor naga besar. Bima pun dapat memenangkan pertempuran itu. Naga besar yang terkena kuku pancanaka Bima menjadi tewas. Tak lama kemudian Bima Sena melihat seberkas cahaya di dasar samudera yang ternyata kemunculan Dewa Ruci alias Bathara Ruci; sosok kecil atau mungil yang wajahnya mirip Bratasena. Dalam pertemuan itu, setelah Bima Sena manjing (masuk) ke dalam tubuh Dewa Ruci, maka Bima Sena mendapatkan wejangan mengenai Ngelmu Kasampurnan dari Dewa Ruci.
“Dewa Ruci itulah sesungguhnya guru sejati Sang Bima Sena. Dengan mendapatkan wejangan Ngelmu Kasampurnan dari Dewa Ruci alias Ruci Bathara, maka hal itu mengisyaratkan atau melambangkan bahwa Bima telah makrifat (mengenal Tuhannya) sebagaimana ujaran bijak ‘Man arafa nafsahu faqod arofa rabbahu’ (barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya),” ujar Ki Wawan.
Menurut Ki Wawan, meskipun iktikat Resi Durna yang dibarengi niat jahat para Kurawa terhadap Bima Sena, tetapi karena kesungguhan dan ketulusan Bima dalam menggapai cita-citanya ternyata membuahkan hasil, yakni mengenal guru sejatinya.
Sementara itu, Ki Lamidi (sesepuh Veteran Tulungagung) menambahkan ketika Bima Sena menancapkan kuku pancanaka-nya ke tubuh naga besar, maka samudera berubah berwarna merah kebiru-biruan. Saat itu terdengar sorak-sorai para Kurawa yang melihat pemandangan itu dari bibir samudera karena menyangka bahwa Bima telah tewas. Ternyata tidak! Yang tewas adalah naga besar yang hendak memangsa Sang Bima.
“Dalam hal ini betapa sosok guru Resi Durna identik dengan orang yang selalu kecelik. Dari awal ketika Bima diperintah bertapa di Gua Durangga dan di puncak Candradimuka, Resi Durna beserta para Kurawa menduga bahwa Bima pasti akan tewas. Tetapi, Resi Durna dan para Kurawa kecelik,” ujar Ki Lamidi yang malam itu diperingati hari kelahirannya yang ke-83 tahun.
Meski demikian, jelas Ki Lamidi yang masih segar-bugar, Bima Sena yang kelihatan sangat katrem (tenang) berada di gua garba Dewa Ruci, ia diperintahkan oleh guru sejatinya agar kembali ke negaranya Ngamarta. Bagaimana pun ibunya (Dewi Kunthi) beserta saudaranya para Pandhawa lainnya sudah menunggu di dekat samudera.
“Yang paling utama bahwa tugas Bima Sena masih belum selesai. Bima Sena sebagai seorang ksatria masih mempunyai tugas memayu hayuning bawana di Negara Ngamarta,” tandas Ki Lamidi serius.
Bima Sena pun mematuhi perintah Bathara Ruci atau guru sejatinya. Setelah itu Bima Sena keluar dari gua garba Dewa Ruci dengan penampilan yang berbeda, yakni rambut Bratasena digelung dengan tenger (nama) baru Raden Wrekudara.
Pemantik pamungkas Dr. Teguh, wakil Dekan FUAD UIN Syekh Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung yang kebetulan disertasi (karya ilmiah S-3) ketika di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengenai lakon Bima Suci atau Dewa Ruci.
Menurut Dr. Teguh, pada masa Mataram Kuno atau Mataram Hindu telah berkembang lakon Nawa Ruci yang kemudian digubah (diperbarui) pada masa Wali Sanga menjadi Dewa Ruci (Bima Sena). Lakon Dewa Ruci atau Bima Sena tersebut identik dengan konsep manunggaling kawula Gusti.
“Konsep spiritual dalam Tasawuf mengenai manunggaling kawula Gusti tersebut ada dua bentuk, yakni ittihad dan hulul (Kalenggahan),” ujar Dr. Teguh.
Dia menjelaskan konsep spiritualitas manunggaling kawula Gusti melalui ittihad secara bottom up (dari bawah ke atas) seperti diilustrasikan dalam lakon Dewa Ruci (Bima Suci) ketika Bima Sena mencari ngelmu kasampurnan bertemu dengan Bathara Endra dan Bathara Bayu di puncak Gunung Candradimuka dan terakhir bertemu dengan guru sejatinya Dewa Ruci. Sementara, bentuk spiritualitas manunggaling kawula Gusti melalui hulul (Kalenggahan) secara top down (dari atas ke bawah) seperti tercermin dalam lakon Bima Sena Madeg Pandhita.
Dalam kesempatan itu, Dr. Teguh menceritakan bahwa lakon Bima Sena Madeg Pandhita merupakan lanjutan (fase berikutnya) setelah lakon Dewa Ruci (Bima Suci). Setelah mendapatkan wejangan Ngelmu Kasampurnan, pada suatu hari Bima Sena dengan berpenampilan sebagai seorang pandhita (resi) berjuluk Begawan Bima Suci mendirikan pertapan di Argakelasa yang dekat dengan perbatasan Negara Ngastina. Ketika itu, Begawan Bima Suci mempunyai murid kinasih yaitu Raden Arjuna. Selain itu juga mendapatkan sowannya Raden Anoman, bekas senapati perangnya Prabu Rama Wijaya.
“Hal itu menggambarkan betapa sangat piawainya Sang pujangga yang mencipta lakon Bima Madeg Pandhita itu karena dapat menggabungkan dua tokoh besar dalam kitab Ramayana dan Mabahharata. Anoman adalah tokoh dalam kitab Ramayana, sedang Bima Sena adalah tokoh dalam Mahabharata,” tutur Dr. Teguh menjelaskan.
Pengajar Ushuluddin (Filsafat Islam) UIN SATU Tulungagung itu juga menjelaskan mengapa Bima Sena ketika mencari kayu gung susuhing angin di Gunung Candradimuka bertemu dengan Bathara Endra dan Bathara Bayu? Bathara Endra dikenal sebagai dewanya air, ia juga sebagai ayah kadewatannya Raden Arjuna. Sementara Bathara Bayu adalah dewa angin, yang kebetulan sebagai ayah kadewatannya Bima Sena.
“Air dan angin itu merupakan entitas unsur alam yang tertinggi,” kata Dr. Teguh mengungkapkan mengenai falsafah entitas alam, “Kerasnya batu dapat dipecah oleh besi. Kerasnya besi dapat dilunakkan oleh api. Tapi api dapat dipadamkan oleh air. Sedang, arah air dapat dihalau oleh angin (udara). Itulah sebabnya Sang pujangga (Sunan Kalijaga) mengisahkan perjumpaan Bima Sena dengan Bathara Endra (Dewa Air) dan Bathara Bayu (Dewa Angin) dalam lakon Dewa Ruci (Bima Suci) pada fase sebelumnya. Selanjutnya dalam lakon Bima Madeg Pandhita (fase selanjutnya) Raden Arjuna pun menjadi murid kinasih Begawan Bima Suci yang notabene jelmaan dari Werkudara. Hal itu mengisyaratkan bahwa air dan angin merupakan entitas penting dalam diri manusia.”
Sarasehan budaya ForSabda di rumah Ki Wawan Susetya Boyolangu malam itu juga dihadiri sesepuh Tulungagung Ki Sukriston, pensiunan pegawai Kehutanan Tulungagung. Ki Sukriston juga meramaikan sarasehan pada malam itu dengan menjelaskan bahwa usai mendapat wejangan Ngelmu Kasampurnan dari Bathara Ruci, maka Bima Sena diperintahkan supaya kembali ke kerajaannya di Negara Ngamarta. Dalam hal ini, Bima Sena mempunyai tugas kewajiban sebagai dharmaning satriya, yakni memayu hayuning bawana (melestarikan dan memakmurkan bumi seisinya).
Dari cerita lakon Bima Suci, menurut Ki Sukriston, ternyata dapat ditemukan adanya benang-merah antara nilai-nilai religius-spiritual yang terkandung dalam pewayangan (pedhalangan) atau dalam khasanah Kejawen dengan nilai-nilai religius-spiritual dalam Tasawuf (Agama Islam).
Sarasehan budaya ForSabda menjadi semakin gayeng (hangat) ketika dibuka forum tanya jawab dengan audience. Meski malam semakin malam, tetapi rupanya tak menghentikan semangat mereka dalam menggali kedalaman ilmu dan pengetahuan yang digali dari lakon Bima Suci (Dewa Ruci). Hal itu tak berlebihan, sebagaimana dinyatakan Paul Stange dalam bukunya Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa (1988) bahwa wayang mempunyai hubungan erat dengan kepercayaan leluhur Jawa, kendati masyarakat Jawa mengakui kerangka dasar cerita wayang berasal dari wiracarita India klasik, terutama Mababharata. Simbolisme tersebut merujuk adanya keterkaitan antara jagad cilik (jagad kecil) dan jagad gedhe (jagad besar), struktur alam batin dan dunia fisik yang ada di dalamnya.