Tulungagung-menaramadinah.com-Ada pemandangan yang berbeda saat arisan rutin Paguyuban Krama Semita dilaksanakan di rumah Ki Handaka di Dusun Glotan, Desa Tanggung, Kec. Campurdarat, Tulungagung Minggu siang (28/2) lalu. Bagaimana suasana jalannya arisan rutin tersebut? Berikut laporan Wawan Susetya dari Menara Madinah untuk pembaca yang budiman.
Tidak seperti biasanya di rumah-rumah peserta yang lain, kegiatan arisan yang diikuti trah (keturunan) Eyang Krama Semita hari Minggu itu dilaksanakan di rumah Ki Handaka yang kebetulan pengelola Sasana Budaya ‘Ngesthi Laras’ Glotan. Wajar jika pada arisan kali itu binarung (dibarengi) dengan iringan suara gamelan dengan waranggana (pesinden) Ibu Retno H yang juga tuan rumah (isteri Ki Handaka). Beberapa gendhing dimainkan oleh wira pradangga atau para niyaga dari Sasana Budaya ‘Ngesthi Laras’ siang itu.
Yang menarik lagi pada momentum itu ada tamu kehormatan Dr. M. Teguh Ridwan (wakil Dekan FUAD IAIN Tulungagung) yang didaulat untuk memberikan sabdatama (nasihat bijak) kepada warga trah Eyang Krama Semita. Kebetulan saat itu Dr. Teguh tengah menyelesaikan penelitian di Sasana Budaya ‘Ngesthi Laras’ untuk dijadikan jurnal internasional sebagai syarat meraih gelar profesor (guru besar) di IAIN Tulungagung yang berproses menjadi UIN Syekh Ali Rahmatullah (UIN SATU).
Dalam kesempatan itu, Dr. Teguh mengingatkan kembali tentang nasihat orang tua dulu, yakni “Aja nglangkahi alu ngadeg” (jangan melangkahi alu berdiri). Alu adalah sebuah alat dapur terbuat dari kayu yang panjangnya sekitar 150 cm yang di zaman dahulu yang biasanya dipergunakan untuk mbebak (menutu) jagung, kopi, dan sebagainya. Tentu saja pada era modern seperti sekarang sangat jarang dijumpai alu tersebut.
Nasihat seperti itu barangkali juga pernah disampaikan orang tua kepada seorang remaja di zaman dulu yang baru saja melaksanakan khitan (sunat). Namun karena secara umum tidak paham terhadap makna unen-unen (ujaran bijak) tersebut, maka ya hanya menjadi omong kosong saja. Tanpa pemaknaan yang berarti.
“Alu itu kan harus dipegang kuat-kuat ketika digunakan untuk menumbuk, maka jangan sampai terlepas dari tangan kita. Apalagi sampai kita langkahi. Lalu maknanya apa? Ternyata orang tua zaman dahulu telah berpesan agar kita memegang kuat terhadap keimanan kita, jangan sampai terlepas,” ujar Dr. Teguh menjelaskan mengenai makna alu yang identik dengan iman atau keimanan.
Pria kelahiran Magelang Jawa Tengah itu menambahkan bahwa keimanan seseorang itu adakalanya naik-turun. Adakalanya kuat dan adakalanya lemah. Itulah sebabnya para nenek moyang berpesan jangan sampai keimanan itu terlepas dari diri kita.
Selanjutnya Dr. Teguh mengatakan lagi, “Orang tua kita dulu juga berpesan ‘aja ngadeg neng longan’ (jangan berdiri di bawah dipan tempat tidur).”
Pernyataan Dr. Teguh tersebut tentu saja disambut gerr dari sekitar 100-an orang peserta arisan dan para niyaga. Bagaimana mungkin seseorang bisa berdiri di bawah dipan atau tempat tidur? Kalau dipaksakan berdiri tentu saja kepalanya akan terbentur dipan atau tempat tidur.
Namun, kebingungan hadirin tersebut akhirnya terjawab setelah Dr. Teguh memberikan penjelasan bahwa dipan atau tempat tidur itu mempunyai 4 buah penyangga yang melambangkan empat sosok atau figur yang musti dihormati, yakni bapak dan ibu (kedua orang tua), mertua (bapak ibu pasangan kita) dan guru-guru kita.
“Jadi dua penyangga dipan itu merupakan simbol kedua orang tua kita, sedang dua penyangga lainnya identik dengan mertua kita dan guru-guru kita. Kita sebagai anak harus menghormati empat sosok atau figur tersebut, sebaliknya jangan sampai berani kepada mereka. Adakah orang yang sukses itu tapi durhaka kepada kedua orang tuanya?! Tentu tidak ada. Hampir semua orang yang sukses itu karena ketaatan dan berbhaktinya kepada kedua orang tua mereka,” tandasnya.
Nasihat ketiga, Dr. Teguh mengingatkan pesan leluhur orang Jawa dulu, yakni ‘Sing ngati-ati yen arep nggunakne barang sing landhep’ (berhati-hati ketika akan menggunakan benda yang tajam). Benda yang tajam itu secara umum boleh jadi pisau, sabit, silet, dan benda-benda tajam lainnya. Tapi, ‘barang sing landhep’ (benda yang tajam) tersebut maknanya adalah lisan (ucapan) seseorang.
“Ibu-ibu yang sedang mengupas bawang merah lalu tangannya terkena pisau, mungkin 3-5 hari lukanya akan mengering setelah diobati. Tapi, ketika lisan seseorang yang nylekit (menyakitkan) mengenai orang lain, apakah kira-kira luka hatinya bisa sembuh selama 3-5 hari?” kata Dr. Teguh kepada audience.
Spontan para peserta arisan menjawab, “Tidak…..!”
Lalu Dr. Teguh menanya lagi, “Sebulan?”
“Tidak….!”
“Setahun?”
“Tidak….!”
“Boleh jadi luka hati itu akan membekas sampai seumur hidup. Oleh karena itu hendaknya kita berhati-hati menggunakan lisan kita jangan sampai membuat luka hati orang lain sesuai pesan penting leluhur orang Jawa dulu,” katanya menegaskan.
Paguyuban Krama Semita
Paguyuban Krama Semita yang didirikan oleh alm. Beri Sudiro berpusat di Glotan, Desa Tanggung-Campurdarat-Tulungagung tahun 1995. Dengan demikian keberadaan paguyuban tersebut telah berlangsung selama 26 tahun. Visi-misinya yakni ngumpulake balung pisah (menyatukan kembali tulang atau keturunan trah Eyang Krama Semita) yang tersebar ke seluruh penjuru tanah air melalui kegiatan reuni atau temu kangen tiap tahunnya. Selain itu, juga memayu hayuning bawana (melestarikan atau memakmurkan bumi seisinya), memetri budaya Jawa (melestarikan budaya Jawa) dan mikul dhuwur mendhem jero (mengangkat tinggi-tinggi kebaikan leluhur dan menimbun dalam-dalam kekurangan atau kekhilafan mereka).
Itulah sebabnya, Ki Wawan Susetya selaku pangarsa (ketua) Paguyuban Krama Semita mengajak mensyukuri mengenai keberadaan paguyuban yang telah berlangsung 26 tahun, sehingga menjadi suri tauladan dan menginspirasi warga Tanggung dan sekitarnya mengadakan reuni atau temu kangen keluarga mereka.
Dalam kesempatan itu, Ki Wawan juga mengingatkan lagi mengenai identifikasi orang Jawa, yakni busana, wisma, turangga, curiga, dan kukila.
“Busana atau pakaian khas orang Jawa yaitu beskap lengkap dengan blangkon dan sandal selop bagi laki-laki dan kebayak komplet dengan jaritnya bagi perempuan. Kalau wisma atau rumahnya berbentuk rumah limas yang sekarang terlihat jarang dijumpai,” kata Ki Wawan memberikan penjelasan.
Ia menambahkan kendaraan orang Jawa zaman dahulu yaitu turangga (kuda) dengan senjata berupa keris yang ditaruh di bagian belakang badannya. Hal itu, kata Ki Wawan, mengisyaratkan bahwa hendaknya kita bersandar kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.
“Keris atau curiga itu kalau dibuka dari warangka (wadah)-nya terlihat seperti huruf Alif atau angka satu yang mengisyaratkan mengenai simbol Tuhan Yang Maha Tunggal,” tandasnya.
Sementara itu kesukaan orang Jawa dulu yaitu memelihara kukila (burung), yakni burung perkutut yang suaranya dikenal terdengar kung atau ulem (merdu, lembut). Hal itu, tak lain sebenarnya mengisyaratkan bahwa suara hati orang Jawa itu sangat lemah-lembut atau halus.
“Maka dalam gendhing pun yang disukai orang Jawa yaitu gendhing Kutut Manggung yang penuh dengan makna filosofis.”