Lamtoro Gung

Oleh : Hilmi Saputra.

Cerita receh harianku selama pandemi covid ini sedikit tersendat oleh padatnya kegiatan dan cepatnya waktu berlalu. Tiba tiba sudah seminggu yang lalu, tiba tiba sudah ganti bulan baru, tiba tiba sudah tertinggal jauh oleh perjalanan waktu, sepertinya semua begitu cepat berlalu.

Disaat masih normal normal dulu, ada aja ide ide kecil yang ingin saya tuang di akun facebook, ig, twitter atau akun medsos lainnya. Waktu kayaknya masih bersahabat, setidaknya masih punya waktu luang. Tapi selama pandemi covid ini, akun WA mendominasi hari hariku. Hampir tiap hari berjibaku dengan share share an link kegiatan virtual on line via WA, entah itu PJJ daring, zoom meeting, MO365, googlemeet dsb. Saking banyaknya link yang harus dibuka, kesempatan untuk posting di akun medsos lainnya tersita habis.

Mungkin tidak jauh dengan pegiat sosmed lainnya, punya GWA yang terbilang banyak dan bervariasi banget, sehingga untuk nyempatkan cek akun facebook hampir tidak tersempatkan. Dalam hati sering berbisik, Ahhh nanti sore aja, atau nanti saja selepas sembahyang Isya’, ehhh ternyata ketika waktunya sudah klenger, capek, butuh istirahat untuk recovery power besok lagi. Begituuuu terus tiap harinya. Makanya, daripada terlalu banyak hal yang terlewatkan, saya paksakan untuk ‘nyandak’ Facebook agar tidak terlalu vakum.

Sabtu pagi, jika sedang libur saya senang bersilaturahim ke desa, sambil nge charge fikiran sambil refreshing tipis tipis.

Hidup dan aktifitas di pedesaaan itu nurut saya lebih tenang dan menyenangkan, karena masyarakat pedesaan itu masih saling mengenal satu sama lain dan ikatan silaturrahminya masih sangat kuat. Sebab itu, orang desa yang terbiasa dengan budaya desanya kalau suatu saat berada di kota biasanya merasa aneh, merasa tidak punya teman dan bingung sendiri melihat orang sekitar kanan kirinya yang cuek dan tak mau tahu dengan orang lain, sehingga merasa tidak kerasan tinggal di kota, ingin kembali lagi ke desa, hidup seterusnya di desa.

Saya asli produk desa, yang saat ini sudah cukup mampu beradaptasi dengan dunia perkotaan. Ya, berusaha sedapat mungkin mengikuti budaya kota, namun tidak membuang kebiasaan baik dari desa. Jangankan cuma ikut ikutan ngupas lamtoro, njebol pohong dari tanah dan ramban sayuran di tegalan, menanam sayur mayur pun saya masih merasa ahli.

Lihat itu, untuk menghasilkan satu nampan lamtoro kupas seperti dalam gambar ini, bukan sesuatu yang mudah. Butuh proses panjang, telaten, sabar dan ketelitian. Proesnya sangat sederhana, diambil, dikupas, diserut lalu dikumpulkan.

Selain khasiat lamtoro yang sangat banyak jumlahnya, di proses jadi biji kupasan lamtoro situlah sebenarnya ada sebuah falsafah kehidupan yang memiliki makna serta arti dalam sekali.

Pasuruan
Desa Kawisrejo
Nggapuk