Simposium Sehari Teater Pro-Test UKM IAIN SATU di Sasana Budaya Ngesthi Laras Tulungagung

 

Sekitar 50 orang mahasiswa yang tergabung dalam UKM Teater Pro-Test UIN SATU (Universitas Islam Negeri Syarif Ali Rahmatullah) Tulungagung dan Sanggar Teater Banyu mengikuti Simposium Sehari dengan tema “Reaktualisasi Budaya” di Sasana Budaya “Ngesthi Laras” di Desa Tanggung Glotan, Kec. Campurdarat, Tulungagung kemarin (Minggu, 29/11). Berikut ini laporan Wawan Susetya Jurnalis Citizen menaramadinah.com:

Fajar Hidayat selaku pimpinan atau pengasuh Sanggar Teater Banyu Tulungagung sengaja mengajak anak asuhnya keluar dari “markas”-nya agar dapat menambah wawasan dan cakrawala yang lebih luas lagi. Itulah sebabnya dia mengajak kepada anak asuhnya untuk mempelajari dan berlatih menabuh gamelan atau seni krawitan sebagai warisan budaya Nusantara. Bahkan, seni krawitan dan pedalangan telah diakui sebagai “warisan dunia” oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New York Amerika Serika tahun 2005 lalu.
Memang, dalam pementasan teater dan pembacaan puisi biasanya juga membutuhkan iringan musik. Untuk memperkaya khasanah musik tersebut, maka UKM Teater Pro-Test dan Sanggar Teater Banyu juga akan belajar bermain musik Jawa (gamelan) atau seni krawitan.
Dalam Simposium Sehari dengan tema “Reaktulisasi Budaya” itu Ki Handaka selaku pimpinan Sasana Budaya “Ngesthi Laras” menyampaikan mengenai pentingnya mensyukuri karunia nikmat dari para Pujangga Jawa dulu berupa seni krawitan dengan memainkan musik gamelan.
Itulah sebabnya, Ki Handaka mengapresiasi dengan baik rencana para mahasiswa UIN SATU Tulungagung yang tergabung dalam UKM Teater Pro-Test dan Sanggar Teater Banyu yang akan berlatih seni krawitan atau bermain gamelan secara kontinyu (berkelanjutan) di Sasana Budaya “Ngeshi Laras” Tanggung Glotan.
“Kata krawitan itu berasal dari kata ngrawit, artinya lembut atau halus. Jadi dengan belajar seni krawitan, kita diharapkan dapat melembutkan dan menghaluskan rasa kita,” ujar Ki Handaka kepada para peserta Simposium yang kebanyakan mahasiswa UIN SATU Tulungagung.
Lebih jauh Ki Handaka juga memperkenalkan mengenai falsafah bunyi gamelan Nang, Ning, Nung, Gung yang sarat makna religiusitas dan spiritualitas. Menurutnya, suara nang merupakan simbolisasi suara bonang, maknanya bahwa manusia telah diberikan wenang atau wewenang oleh Tuhan untuk mengekspresikan tentang baik-buruk dalam kehidupan. Artinya, dalam hal ini manusia mendapatkan kebebasan untuk menjalankan kehidupan di dunia, apakah bersifat positif ataukah negatif, baik atau buruk, tetapi semua itu harus dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan.
Ki Handaka melanjutkan penjelasannya, yakni suara ning yang merupakan simbol suara peking, demung dan saron yang maknanya wening atau fokus pada penjiwaan (berfikir mendalam). Artinya, hal ini mengisyaratkan fokus dalam mengingat Allah dalam kehidupan sehari-hari sebagai amaliyah ibadah. Dengan demikian diharapkan out put (hasilnya) meraih fase nung (dunung); artinya mencapai maqam (kedudukan) khusus di sisi Allah karena ketaatannya menjalankan perintah Tuhan. Seperti diketahui bunyi nung tersebut merupakan sari dari suara kenong.
Terakhir, kata Ki Handaka, yakni gung yang identik dengan suara gong. Artinya telah sampai kepada Allah (makrifatullah). Dalam hal ini mengisyaratkan peribadatan seorang hamba telah diterima oleh Tuhan.
Usai ishoma, sesi selanjutnya nara sumber budayawan Ki Wawan Susetya. Dalam kesempatan itu, dia menandaskan mengenai pentingnya local genius. Artinya, berusaha mendaya-gunakan potensi seni-budaya yang ada untuk diangkat dalam beberapa buku budaya karyanya. Ki Wawan yang juga penulis buku itu mengharapkan agar para mahasiswa yang tergabung dalam Teater Pro-Test dan Sanggar Teater Banyu Tulungagung mulai menulis apa saja, terutama seni, budaya, teater, puisi, artikel hingga menulis buku.
Dalam kesempatan itu, dia menguraikan makna Gendhing Talu atau Gendhing Patalon yang terdiri dari 7 macam gendhing (lagu) yang dibunyikan sebelum pagelaran wayang kulit dimulai. Gendhing Talu atau Gendhing Patalon tersebut dimulai Gendhing Cucur Bawuk, Pare Anom, Asri Katon, Sukma Ilang, Ayak-Ayak, Srempeg dan Sampak.
“Betapa para Pujangga Jawa dulu sangat concern terhadap simbolisasi perjalanan kehidupan manusia yang tercakup dalam Falsafah Gendhing Talu atau Gendhing Patalon,” jelas Ki Wawan di tengah-tengah gamelan yang dikerubungi para aktivis teater.
Ki Wawan menjelaskan bahwa Gendhing Cucur Bawuk itu identik dengan perempuan (kata bawuk identik dengan alat kelamin perempuan) sebagai asal-muasal manusia. Selanjutnya Gendhing Pare Anom yang identik dengan laki-laki (kata pare merujuk dengan buah pare yang bentuknya mirip alat kelamin laki-laki). Bagi perempuan dan laki-laki yang sudah dewasa biasanya akan saling jatuh cinta atau suka terhadap lawan jenisnya. “Itulah yang dilambangkan dengan Gendhing Asri Katon yang artinya indah terlihat mata. Setelah menikah, maka terjadilah saresmi atau hubungan suami-isteri yang disimbolkan dengan ungkapan sukma ilang; yakni kenikmatannya seolah-olah seperti tercabunya sukma dari jasad,” jelas Ki Wawan.
Dalam hubungan suami-isteri itu maka terjadilah pertemuan sperma dan sel telur di rahim seorang isteri. Dari jutaan sel sperma tersebut, biasanya akan terseleksi satu buah sel sperma saja sehingga menjadi janin. Dan itulah yang dilambangkan oleh Pujangga Jawa dengan Gendhing Ayak-Ayak yang artinya terfilter atau terseleksi hingga menjadi janin di dalam kandungan seorang ibu yang tengah hamil.
“Dalam keadaan isteri mengandung tua, maka si ayah harus melakukan Siaga 1. Harus waspada dan berhati-hati; sewaktu-waktu isterinya melahirkan harus sudah siap, misalnya mengantarkan ke rumah bersalin atau ke rumah sakit. Itulah yang disebut dengan Srempeg. Artinya cepat tanggap untuk menyongsong kelahiran si jabang bayi. Dalam kondisi itu si suami tidak boleh bersantai-santai atau melakukan hal-hal yang tidak penting. Selanjutnya Sampak, artinya sudah tidak ada waktu lagi. Ibaratnya harus cepat tepat dalam menyongsong kelahiran si jabang bayi dengan penuh kesungguhan dan penuh rasa syukur kepada Tuhan,” jelas Ki Wawan menguraikan makna Falsafah Gendhing Talu atau Gendhing Patalon.
Lebih jauh, Ki Wawan juga mengurai mengenai 3 pathet (tanda, isyarat) dalam gendhing untuk mengiringi pagelaran wayang kulit, yakni pathet Nem, Sanga dan Manyura. Pathet Nem idenik dengan nem (nom, muda, atau masa remaja). Biasanya gendhing-gendhing dalam pathet Nem tersebut dibunyikan pada awal pagelaran wayang kulit atau sekitar jam 21.00-01.30 Wib.
Selanjutnya Pathet 9, artinya tengah atau usia pertengahan. Pathet 9 itu biasanya dibunyikan sekitar jam 01.30-3.00 Wib yang ditandai dengan adegan Gara-gara, yakni keluarnya punakawan Semar Gareng Petruk dan Bagong. Dalam pada itu Sang satriya utama (Raden Arjuna) sedang sowan kepada eyangnya Begawan Abhiyasa di Pertapan Saptaarga.
Dan, terakhir Pathet Manyura yang berasal dari kata marak (menghadap) dan marek (mendekat) kepada Tuhan. Gendhing dalam Pathet Manyura biasanya dibunyikan jam 03.00-04.30 Wib. Hal itu mengisyaratkan pada usia tua diharapkan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah Swt).
Ki Wawan Susetya juga menandaskan mengenai pentingnya keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan yang disimbolkan dengan ungkapan Wiraga-Wirama-Wirasa. Ketiganya merupakan perpaduan yang serasi dalam solah-bawa (gerak dan tingkah laku fisik) dengan ucapan dan niatnya dalam hati. Sederhananya sinkron antara hati, ucapan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.