Suatu hari, Syaikhona Kholil (Mbah Kholil) Bangkalan diminta salah satu santri memimpin doa dan tahlil di Gresik. Santri senang karena Mbah Kholil menyanggupinya. Saking senangnya, si santri menyembelih satu ekor sapi, shadaqoh cukup besar untuk ukuran waktu itu.
Saat pelaksanaan tahlil, Mbah Kholil hanya membaca La Ilaha Illallah sebanyak 3x yang ditutup dengan bacaan Muhammadurrasulullah lalu diakhiri doa. Singkat dan padat.
Shohibul hajat pun melongo. Setengah Kecewa. Sudah disembelihkan sapi, kalimat tahlil hanya tiga kali.
Mbah Kholil lantas pulang. Beberapa hari berselang, si santri yang kecewa ini lantas sowan ke Bangkalan. Ia memberanikan diri matur keberatannya saat Mbah Kholil memimpin tahlil tempo hari.
“Kyai, saya kan sudah menyembelih sapi, masak tahlil hanya tiga kali?” tanyanya.
Tanpa ba-bi-bu, Mbah Kholil dawuh, “Kamu masih punya satu ekor yang lebih besar kan di rumah? Besok dibawa kesini ya!”
Keesokan harinya, santri menghadap Mbah Kholil lengkap menuntun seekor sapi berukuran besar.
“Besar juga ya sapi kamu, lebih besar daripada yang disembelih saat tahlilan kemarin,” ungkap Mbah Kholil sambil menepuk-nepuk sapi.
Santri pemilik sapi hanya tersenyum. Sedikit bangga.
Di hadapan para santri lainnya, Mbah Kholil berujar, “Cung, buatkan aku timbangan besar dari glugu, dan bawakan aku secarik kertas.”
Tak lama kemudian, timbangan dari pohon kelapa telah jadi. Sapi milik santri tadi di tambatkan di sisi kiri. Timbangan pun timpang, berat sebelah.
Mbah Kholil lantas menulis kalimat tahlil 3 kali dan kalimat muhammadurrasulullah, persis saat memimpin tahlil. Kertas ditancapkan di timbangan sebelah kanan. Sontak, yang sebelumnya berat sebelah kiri langsung jomplang berat di kanan.
Berat seekor sapi gemuk tidak ada apa-apanya dengan selembar kertas yang ditulis Mbah Kholil. Semua santri melongo. Lebih-lebih santri yang punya sapi: ia semaput.
Kisah di atas mengingatkan kepada kita bagaimana kekuatan barokah doa kiai. Mungkin lafadz dan untaian doa yang dipanjatkan sama, namun hasilnya sungguh berbeda.
Kebeningan hati menjadi kunci. Sementara perilaku dosa yang terus kita lakukan, membuat doa yang telah dilangitkan seolah menguap begitu saja. Barangkali ini menjadi jawaban mengapa doa kita seperti belum mewujud nyata.
Keterangan: Ditulis oleh Bramma Aji Putra, Humas Kementerian Agama DIY.
Kisah ini didapatkan melalui Kiai Achmad Chalwani Nawawi, Brejan, Purworejo. (isn)