MOCOPAT
Menurut pandangan sesepuh paguyuban Jenggolo manik Sidoarjo Bapak Malik,Mocopat Bukan Moco Papat Papat
Seluruh sastra Jawa berangkat dari Tembung Anduporo, melengkapi Wangsalan dan Bahasa Sengkalan. Baik Sengkalan Memet maupun Sengkalan lainnya. Setiap ungkapan memberi makna konotatif, bukan makna denotative.
MOCOPAT sekali lagi bukan MOCO PAPAT-PAPAT, tetapi bentuk wangsalan dan sengkalan dengan Tembung Anduporo, pasemon, kiasan, yang harus diterjemahkan kembali.
MOCOPAT mengandung maksud JANMO KOCO ASIPAT memiliki arti sebagai CERMINAN SIFAT KEHIDUPAN MANUSIA. GAMBARAN KEHIDUPAN MANUSIA YANG DIUNGKAPKAN MELALUI TEMBANG. CIRI-CIRI KEBERADAAN MANUSIA (JANMO) makanya ada istilah Jalmo moro jalmo mati. Bila melingkupi seluruh manusia disebut Janmo. Seperti pada sebutan Man and people. Man and human. Orang dan masyarakat pada umumnya. Manusia dan orang. Dst.
Runutan paling tua untuk bicara Kawruh Jawa jangan dicampur dulu dengan paham Islam/Kristen/Hindu/Budha/Katholik, tapi inilah hukum tradisi. Sangat primordial memang tetapi memiliki patokan sangat kuat dengan menggunakan Kitab Babon PURWO MADYO WASONO.
Seluruh telaah harusnya berkiblat dari sini saja andai ingin bicara tentang Wong Jawa. Jangan dicampuradukkan dulu dengan Sinkretisme, Akulturasi, maupun Asimilasi Budaya.
Mengapa demikian, karena kita akan bicara tentang Punjering Ngilmu Hurip Wong Jowo, bukan wong Londo, Wong India, opodene Wong Arab. Jauh, tebih sanget.
Kitab Babon Purwo Madyo Wasono berisi tuntunan dan pitedah gesang.
PURWO = KAWITAN = Mengupas tentang awal mula hidup manusia, di sini menggunakan pitutur mocopatan 1). Tembang Mijil; 2). Tembang Sinom 3). Tembang Maskumambang.
MADYO = PERTENGAHAN = Mengupas kehidupan manusia ketika mulai akil-balik (remaja) hingga dewasa. Dituturkan dan diwangsalkan dengan 1). Tembang Kinanthi. 2). Tembang Asmaradhana 3). Tembang Dandhanggula 4). Gambuh
WASONO = AKHIR = Menguraikan di mana manusia perlu mempersiapkan akhir kehidupannya sebelum kembali pada Gusti Kang Murbehing Dumadi yo Pangerane. Disampaikan dengan bahasa tutur 1). Tembang Pangkur 2). Tembang Durma 3). Tembang Megatruh 4). Tembang Pucung.
Seluruhnya ada sebelas tembang, seperti saya uraikan di bab lainnya, bahwa mengapa dan kenapa dengan sebelas? Suwelas Tembang.
Sebelas Tembang Jawa ini ada semenjak masyarakat Jawa masih berkehidupan sederhana sekali, makin subur dan terdokumentasi ketika masa pemerintahan berbentuk Pakuwon, Singosarenan, Kedirian, Mojopahitan.
Seluruh babon kitab-kitab suci orang Jawa menggunakan Tembang Jawa.
Tembang Jawa akhirnya digunakan media dakwah para Wali. Jadi bukan para wali menciptakan tembang, akan tetapi menggunakan tembang yang sudah ada digunakan sebagai wahana merangkul para calon santri, atau orang yang mau diislamkan. Jadilah di sini sebetulnya Akulturasi Budaya, Sinkretisme Budaya, dan Asimilasi Budaya. Sekali lagi, Tembang Jawa bukan diciptakan oleh para wali, akan tetapi dilahirkan oleh leluhur Jawa jauh sebelum Islam datang.
Para Pendeta, Pastur dan missionaries pun menggunakan wahana tembang. Tembang Jawa digunakan sarana dan media penginjilan, maka terdapat Kidung Jawa. Liturqi juga menggunakan tetembangan, bahkan iringan gamelan segala. Sampai sekarang.
Tengoklah kitab-kitab popular model Negara Kertagama, juga diselaraskan dengan bentuk tembang yang ada. Kitab Sutasoma, Kitab Mahabarata, Kitab Ramayana… ini sudah berbentuk Akulturasi, Asimilasi dan Sinkretisme.
Totok Budiantoro
Koresponden MM.com