
Oleh : Muhammad Fahmi
Sejarah telah membuktikan bahwa wakaf telah berkontribusi besar dalam pembangunan peradaban umat Islam dan dunia. Lihat saja mulai era Rasulullah saw hingga Dinasti Turki Utsmani, bahkan hingga saat ini wakaf telah memainkan peran strategisnya, seperti Wakaf Rasulullah saw berupa tujuh kebun kurma di Madinah, Umar bin Khattab mewakafkan kebun kurma miliknya di Khaibar, Universitas Al-Azhar Mesir contoh bukti wakaf umat, di Indonesia sendiri terdapat Rumah Sakit Mata Ahmad Wardi di Serang, Banten bekerja sama dengan Dompet Dhuafa, menara ESQ 165 Jakarta, lahan UIN Sunan Ampel Surabaya, dan sebagainya.
Dilansir dari data Badan Wakaf Indonesia (BWI) terdapat 420 ribu hektar tanah wakaf yang ada di Indonesia. Luas tanah tersebut ternyata lima kali lebih besar dari Singapura yang hanya 72.150 hektar. BWI juga mencatat potensi aset wakaf di Indonesia mencapai Rp. 2.000 T/ per tahun. Sayangnya, potensi yang sangat besar tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan indeks inklusi keuangan Indonesia juga masih cukup tertinggal dibanding negara lain di Asia Tenggara. Singapura misalnya, akses masyarakat terhadap fasilitas keuangan formal sudah mencapai 98%. Sedangkan Malaysia telah mencapai 85% dan Thailand menyentuh angka 82%. Sebagaimana yang disampaikan Presiden Jokowi dalam ratas (rapat terbatas) tentang pengembangan keuangan inklusif pada 28 Januari 2020.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi meminta kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mengekspansi cakupan bank wakaf mikro. Pemerintah mencatat, bank wakaf mikro telah menyalurkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp. 34 miliar kepada 25.000 nasabah di seluruh Indonesia melalui 56 unit bank wakaf mikro yang sudah berdiri di berbagai pondok pesantren di tanah air. Sebagai pinjaman awal, nasabah mendapat hak pinjaman sebesar Rp 1 juta. OJK menargetkan di tahun 2020 akan membuka 50 unit bank wakaf mikro baru. Semakin banyak bank wakaf mikro berdiri, diharapkan mampu meningkatkan inklusi keuangan nasional yang saat ini sudah menembus target pemerintah 75%.
Dari bank wakaf mikro kita beralih ke wakaf produktif. Sektor ini tak kalah pentingnya, justru dari wakaf produktif inilah beberapa negara seperti Turki Utsmani gemah ripah loh jinawi di mana dana wakaf sukses meringankan APBN Negara, terutama untuk menyediakan fasilitas pendidikan, infrastruktur, dan bantuan sosial lainnya. Inggris misalnya, melalui One Endowment Trust (OET) dengan sistem penggabungan dana wakaf sebagai investasi komersial dan sosial menghasilkan nilai investasi sebesar satu miliar euro atau setara 16,984 T.
Potensi wakaf produktif sangat besar karena 60% umat Islam di Indonesia merupakan kelas menengah atau sekitar 127 jiwa. Dari jumlah tersebut apabila dikalkulasi rata-rata setidaknya terdapat 20 juta kepala keluarga. Dari 20 juta KK, misal jika satu KK berwakaf Rp 100 ribu satu bulan, itu saja sudah sekitar Rp 2 T. Dari wakaf uang tersebut disalurkan ke usaha-usaha profit misal minimarket, retail, toko bangunan, bisa juga diinvestasikan ke Reksa Dana, saham atau membeli SUKUK pemerintah, dan banyak hal yang bisa digunakan.
Selain itu, wakaf produktif juga lebih baik daripada menggunakan model subsidi silang dalam pendidikan dikarenakan model subsidi silang tidak terlalu berdampak dan dana cepat habis. Lain halnya wakaf produktif yang tidak akan habis dan akan terus menghasilkan selama dikelola dengan manajemen yang baik dan akuntabel.
Subhanallah, betapa besar potensi perwakafan di Indonesia sebagaimana di atas, terlebih wakaf produktif mampu mendongkrak perekonomian yang saat ini tengah lesu dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan yang berkualitas dan berkarakter sebagaimana cita-cita kita bersama.
Percayalah, dengan berwakaf kita memiliki reksa dana akhirat dan investasi terbaik dalam agama yang pahalanya tiada putus tiada henti meskipun telah meninggal dunia sebagaimana firman Allah swt,
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh (mengerjakan kebaikan), maka mereka akan mendapat pahala yang tiada putus-putusnya. (Q.S. al-Tin [95]: 6)
Rasul saw. juga bersabda,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya.” (H.R. Muslim)
Adapun penafsiran lafadz shadaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah
ذَكَرَهُ فِيْ بَابِ الْوَقْفِ، لِأَنَّهُ فَسَّرَ الْعُلَمَاءُ الصَّدَقَةَ الْجَارِيَةَ بِالْوَقْفِ
“Hadits tersebut disebutkan dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf”. (Imam Muhammad Ismail al-Kahlani, t.t, 87)
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa wakaf adalah instrumen yang sangat besar dan strategis dalam memainkan kebermanfaatannya. Sejak dahulu, wakaf telah dikenal oleh umat Islam sebagai sarana tabarrukan (mendapatkan keberkahan) dari sisi Allah serta mendorong peradaban yang sustainable (berkelanjutan).
Melalui slogan “Wakaf Unggul Indonesia Makmur’, mari kita wujudkan peradaban gemilang tersebut dengan menumbuhkan kesadaran berwakaf sebagai ikhtiar dan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya serta membantu sesama yang membutuhkan. Semoga keberkahan dan keselamatan senantiasa dilimpahkan oleh-Nya kepada kita semua. Aamiin.
“Dosen FTK UINSA, pembaca setia menara Madinah com”
