
Oleh : Kanoman.
Seperti halnya Gong Sekati, maka Piring Panjang yang akhirnya digunakan dalam tradisi peringatan Maulid Nabi di Keraton Kanoman pun merupakan hadiah dari Sanghyang Bangau kepada putra mahkota Kanjeng Prabu Siliwangi yaitu Pangeran Walangsungsang (P. Cakrabuana/Mbah Kuwu) saat remaja mencari pembimbing untuk mendalami agama Muhammad.
Dibawah ini cuplikan kisahnya yang turut dibacakan setiap tanggal 1 Muharram sebagai Hari Jadi Cirebon :
Lalu sang pandita Danuwarsih (Gunung Maraapi Ciamis) berkata, Pangeran Walangsungsang agar berganti nama Cakrabuwana sebagai nama pemberian dariku. Lalu rnampirlah engkau ke pertapaan di gunung Siangkup. Di sana berdiam Sanghyang Nago yang juga masih saudaraku. Kemudian sang pangeran mohon pamit untuk berangkat bersama adik perempuan (Nyi Mas Ratu Rarasantang) dan isteri tercintanya putri sang pandita yaitu Nyi Mas Ratu Indang Geulis
Singkatnya cerita sang pangeran telah tiba di Gunung Siangkup. Sanghyang Nago yang tengah bertapa berkatalah ia, wahai, kalian berbahagialah yang baru datang. Dari manakah kalian datang ? LaIu pangeran pun menjawab sangat hormat, duhai sang pertapa, hamba Cakrabuwana, hendak mencari guru agama Muhammad. Di sini tak ada agama Muhammad. Tapi aku tahu dalam Ogan Lopiyan, jikalau aku ini menjumpai kamu, berarti jadilah kamu bibit agama Muhammad dan ini berakhirnya agama leluhur kita. Tetapi aku tak mau berbicara tentang agama Muhammad karena bukanlah ahlinya. Hanya terimalah ini perlengkapanmu dari pusaka Dewata sebilah Golok Cabang, kasiatnya dapat terbang, bisa berbicara bagai manusia dan bisa mengeluarkan api. Dan aku beri nama kamu Kyai Sangkan. Selanjutnya pergilah dahulu ke gunung Kumbang. Di sana ada seorang sedang bertapa meningkatkan wibawa yang berwujud ular naga. Ular naga itu memiliki pusaka, pintalah itu. Syahdan, sampailah sang pangeran di puncak Gunung Kumbang. Lalu sang Nagaraja waspada dan ia berkata dalam hati, inilah rupanya orang yang berhak menerima pusaka Dewata yang sanggup merawat dan memiiiki dengan baik. Lalu diserahkanlah pusaka Dewata itu yang berupa umbul-umbul dan kopiyah yang terbuat dari “Waring” atau bagor, setelah penyerahan serba cepat itu sang Nagaraja pun menghilang, kemudian suaranya dengan tanpa rupa menggema, Wahai sang pangeran, pergilah engkau ke gunung Cangak, di sana ada pandita raja berwujud burung Bangau. Di sanalah tersimpan pusaka “Piring Panjang” (Piring-piring diameter besar)” dan Gong (kelak disebut Gong Sekati). Dia hanyalah memelihara dan menjaga, sesungguhnya pusaka itu milikmu semata.
Kemudian segera sang pangeran pergi ke gunung Cangak dan seteIah sampai, sang pangeran bertemu dengan Sanghyang Bango. Lalu Shangyang Bango segera menyerahkan pusaka itu kepada sang pangeran, lalu segera ia masukkan ke dalam cincin ali-ali Ampal. Selanjutnya Sanghyang Bango berkata, aku beri nama engkau Ki Kuncung.
Piring Panjang memang bentuknya besar dan berhiaskan motif yang indah. Diberikan oleh Sanghyang Nago sekitar tahun 1444-1445 Masehi kepada Pangeran Walangsungsang.
Adapun setelah selesai dibimbing oleh Syekh Datuk Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Astana Gunung Jati (letaknya diatas bukit kecil diseberang dari Astana Gunung Sembung yang terkadang disebut Gunung Jati pula karena dimakamkan Kanjeng Sunan Gunung Jati) , maka P. Walangsungsang, istrinya yaitu Ratu Indang Geulis dan adiknya yaitu Ratu Mas Rarasantang kemudian membangun rumah dan bertempat tinggal di tanah yang saat ini berdiri Keraton Kanoman Cirebon.
Piring Panjang akhirnya digunakan oleh P. Walangsungsang, Kanjeng Sunan Gunung Jati dan Wali Songo menjadi wadah nasi, lauk dan buah-buahan yang disiapkan pada tradisi Pelal Alit dan Pelal Ageng Panjang Jimat (puncak peringatan Maulid Nabi).
Panjang Jimat dalam arti harfiah merujuk kepada beberapa Piring Panjang yang tersimpan di Keraton Kanoman. Oleh masyarakat semua warisan pusaka leluhur terkadang disebut sebagai Jimat. Sehingga Piring-Piring berukuran besar warisan P. Walangsungsang pun menurut masyarakat sebagai Piring Jimat. Bahkan nasi yang telah ditaruh diatas piring-piring berusia hampir 600 tahun ini pun disebut Nasi Jimat.
Panjang Jimat secara filosofis berarti Sesuatu Yang Harus Dijaga dan Dilestarikan (Panjang : Lestari dan Jimat “Siji sing Dirumat” sesuatu yang harus dijaga) yaitu Syadahat. Tradisi Maulid Nabi di Keraton Kanoman masih memegang teguh tradisi termasuk pepakem dalam pembuatan segala sesuatunya.
Contohnya saat membuka kain pembungkus nasi dan lauk selalu menggunakan tangan kanan, memilih butiran beras yang akan dimasak akan selalu dipilih secara hati-hati agar tidak ada beras yang pecah/patah. Kemudian saat Mesusi (mencuci beras) di boboko pun sang pembawanya terdiri atas 9 orang Ibu-ibu yang sedang tidak datang bulan/haid. Inilah yang sering dikenal sebagai Perawan Sunti. Saat membawa seluruh perlengkapan yang digunakan sepanjang iring-iringan Panjang Jimat pun diharuskan membaca sholawat Nabi dan tidak sedang datang bulan/hadi bagi para abdi dalem wanitanya.
Bahkan Pangeran Patih PRM. Qodiran selaku wakil Sultan Kaboman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin selama memakai jubah emas saat memimpin prosesi iring-iringan maupun saat puncaknya Panjang Jimat yaitu mendengarkan rowayat hidup Kanjeng Nabi Muhammad SAW di Masjid hingga kembali lagi ke Pedaleman Keraton pun Tidak Boleh berbicara srpatah kata pun namun harus membaca sholawat Nabi didalam hatinya.
Semua pepakem ini dan pepakem lainnya masih dijaga oleh Kesultanan Kaboman. Masyarakat dari bwrbagao penjuru daerah masih menunggu dan ingon menghadiri berbagai acara pada ttadisi Maulid Nabi atau Muludan di Keraton Kanoman terutama saat Muni Gong Sekati (pertama kalinya Gong Sekati/Gamelan Sekaten) ditabuh yaitu tanggal 8 Maulud, Pelal Alit di Langgar Keraton tanggal 8 Maulud dan puncaknya yaitu Pelal Ageng Panjang Jimat tanggal 12 Maulud (tahun ini dilaksanakan hari Minggu 10 November 2019 pukul 21.00)