Oleh: Yuli Witono*)
Sepertinya tidak lazim kalimat tersebut ditulis dan diucapkan, kecuali oleh penulis lagu atau puisi. Ahli bahasa Indonesia akan menilainya sebagai kalimat yang tidak efektif dan cenderung mengada-ada. Para _travelers_ dan _hikers_ memandangkanya sebagai cara yang sia-sia dan terlalu boros energi menuju lokasi. Namun bagi remaja dan anak-anak, perjalanan yang mendatar dan lurus tidaklah mengasyikan, demikian juga bagi _offroader_ justru lebih mencari medan yang berat, jalanan yang terjal berkelok, penuh turunan dan banyak tanjakan.
Keduanya memang berbeda orientasi, para travelers dan hikers ingin lebih cepat sampai pada tujuan, namun offroader justru ingin menikmati tantangan dalam perjalanan tidak peduli sampai atau tidak pada tujuannya.
Keduanya sebenarnya bukan hobi saya, terlebih di dunia offroad, karena saya bukan penggemar mobil unik penuh modifikasi, bukan _driver_ yang piawai dan bukan orang yang pandai menyediakan cukup waktu untuk menyalurkan hobi seperti offroader tersebut. Sedangkan, traveling walau tidak sering namun lumayan suka, suka menikmati perjalanan sejenak namun lebih suka harus punya tujuan dan harus sampai pada tujuannya. Hiking juga bukan hobi saya, namun saya suka menikmati alam pegunungan, sangat suka berjalan kaki, karena sejak sekolah hingga kuliah sudah terbiasa menjadi pejalan kaki. Hiking itu sangat menyenangkan, bisa menikmati perjalanan namun tetap fokus pada tujuan.
Kedua tipologi tersebut (walau tidak terlalu tepat sebagai ilustrasi) ada dalam realita kehidupan kita, misal antara _employee_ /pegawai/birokrat dengan entrepreneur (pewirausaha/pengusaha). Pegawai lebih berorientasi pada proses dulu baru produk, sedangkan entrepreneur lebih berorientasi pada produk dulu setelah itu proses. Apapun yang dicapai oleh pegawai haruslah dijalankan dengan cara dan prosedur yang benar dan penuh hirarki. Sekalipun profesi peneliti, yang menjalankan tugas-tugas penelitian institusi birokrasi menghasilkan output yang _extraordinary_ agar dipastikan bahwa semua proses telah melewati prosedur administrasi birokrasi yang benar, karena sedikit saja kesalahan akan menjadi temuan, berakibat fatal dan berisiko hukum. Bahkan sampai ada anekdot, tidak harus output yang muluk-muluk asal SPJ (Surat Pertanggungjawaban)-nya telah lengkap terpenuhi, hal itu sudah _”safe”_. Sedangkan orientasi dari entrepreneur adalah lebih mendahulukan pada produk baru proses. Apapun proses yang dilakukan namun tidak memaksimalkan produk itu sangat berisiko pada output, omset, profit dan eksistensi perusahaan. Entrepreneur lebih suka berbicara target daripada project, lebih mengutamakan apa hasilnya daripada bagaimana prosesnya. Biaya besar tidak masalah diinvestasikan yang penting bisa menghasilkan luaran yang jauh lebih besar dan berlipat ganda. Efektifitas waktu jauh lebih penting daripada hirarki prosedur. Kalau bisa lebih cepat mengapa harus ditempuh dengan urutan waktu dan tahapan yang lama.
Kegagalan bagi seorang birokrat dianggap “nista” atau “aib” yang harus dihindari karena berisiko pada keselamatan dan perkembangan kariernya. Sementara bagi seorang entrepreneur kegagalan adalah sahabat karib dan menu harian, yang akan menjadikan bisnisnya bertambah maju dan besar. Kegagalan adalah ilmu yang akan membuat semakin pintar dan menjadi energi yang semakin besar untuk menyongsong keberhasilan selanjutnya. Pegawai/birokrat dalam sistem pengembangan karier, sangat mempersoalkan sudah berapa kali gagal. Sedangkan entrepreneur bukan mempermasalahkan sudah berapa kali gagal, namun yang lebih penting adalah telah berapa kali bangkit dari kegagalan tersebut.
Hal ini tergambar pula dalam realita-realita kehidupan kita yang lain, mungkin kita lebih suka membuat rencana yang menggunung daripada melaksanakannya langsung. Kita lebih suka menggali dan menumpuk ide daripada menginkubasi dan mengiluminasi ide tersebut sehingga menjadi inovasi yang konkrit untuk diterapkan. Kita lebih mengutamakan kalkulasi yang mendaki, ribet dan rumit sehingga melupakan apa yang mampu kita hasilkan kedepannya. Kita lebih sibuk mengejar kesempurnaan hingga melupakan kemanfaatan. Kita lebih sering mengajak kawan daripada akur dengan lawan, kita lebih sibuk memperbanyak dukungan dan pujian hingga mengabaikan evaluasi daripada mengundang saran dan kritikan yang akan menjadikan kita lebih baik dan lebih kuat ke depannya. Kekuatan lebih diukur pada kuantitas dukungan bukan kualitas kontribusi dan pemikiran.
Kita sering kali lebih asyik berpikir dari masalah yang sebenarnya sangat sederhana daripada menyederhanakan permasalahan yang kompleks dan rumit. Mendapat masalah itu sudah menanggung satu unit beban, bila ditambah lagi dengan proses berpikir yang rumit dan atau memperumit diri maka menjadi bertambah dua unit bebannya. Ekuivalen dengan hal ini, seringkali kita sudah jatuh tertimpah tangga itu sama dengan kita mendapat dan menumpuk masalah yang bertubi-tubi akibat pola pikir kita sendiri yang salah, sudah mendapat masalah lalu kita bersedih dan terus meratapi masalah tersebut, maka sesungguhnya masalah tersebut semakin ruwet karena bukan riil masalahnya yang berat tetapi pola pikir kita yang menjadikan masalah tersebut semakin berat. Maka di jalan datarpun kita akan terasa mendaki. Telah ada solusi yang mudah dan di depan mata, namun justru kita mengambil posisi yang salah terhadap obyek masalah tersebut. Kalaupun hari ini telah tampak selesai, justru sesungguhkan kita sedang menumpuk permasalahan yang lama dan menambah dengan kehadiran masalah-masalah baru selanjutnya.
Tetaplah fokus pada tujuan namun jangan abaikan prosesnya, berjalan melambat karena memang sedang mendaki, namun berjalanlah dengan kecepatan tinggi pada saat di jalanan yang datar, bahkan kurangi power saat jalanan memang sedang menurun, atau sebaliknya kita lepas rem dan membebaskan kendali power kita hingga jatuh tersungkur pada jurang yang terdalam.
*) Guru Besar & Entrepeneur Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember
Jember, 22 Oktober 2020