Sudah sering kita mendengar informasi mengenai adanya hubungan yang sangat dekat antara Cirebon dan Banten. Berikut ini kisahnya.
Dari naskah Carita Purwaka, disebutkan bahwa asal kata Banten adalah ketiban inten (Kejatuhan Intan), karena masyarakat Banten saat itu, sangat bersyukur seperti kejatuhan Intan atas kedatangan Sunan Gunung Jati yang melakukan syiar agama Islam. Saat itu, wilayah tatar sunda masih dikuasai oleh Prabu Saka Domas yang memimpin Kerajaan Sanggabuana.
Prabu memiliki seorang putri bernama Nyi Mas Kawung Nganten yang belum memiliki pendamping hidup. Dirinya siap menikah asalkan calonnya adalah seorang raja yang sanggup membuat danau seluas tujuh hektar dalam waktu tidak sampai satu malam. Prabu Saka Domas dikagetkan oleh informasi yang diberikan oleh ajudannya, mengenai adanya danau yang menjelma dalam waktu kurang dari satu hari.
Dari hasil penelusurannya, danau tersebut ada kaitannya dengan kedatangan Sunan Gunung Jati di Banten. Walaupun Nyi Mas Kawung Nganten sudah siap diperistri oleh Sunan Gunung Jati, namun Prabu Saka Domas menolaknya, bahkan memerintahkan untuk menangkap Sunan Gunung Jati karena menyebarkan Islam di Banten. Sunan Gunung Jati pulang dan melaporkan perkembangan dakwahnya kepada Syekh Datuk Kahfi (Guru), sekaligus melaporkan juga tentang Prabu Saka Domas yang sedang melakukan pengejaran terhadap dirinya. Sunan Gunung Jati juga meminta Syekh Datu Kahfi untuk bertandang ke Kerajaan Sanggabuana untuk mengislamkan Prabu Saka Domas.
Atas permintaan Sunan Gunung Jati, Syekh Datuk Kahfi akhirnya menuju ke Kerajaan Sanggabuana dan mengislamkan Prabu Saka Domas. Pada kunjungan kedua kalinya ke Kerajaan Sanggabuana itu, Sunan Gunung Jati akhirnya bertemu dengan Nyi Mas Kawung Nganten dan mendapatkan restu dari Prabu Saka Domas untuk menikahinya.
Dari pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas Kawung Nganten lahirlah Syekh Maulana Hasanudiin yang nantinya akan menjadi pemimpin Keraton yang dibuat oleh Sunan Gunung Jati. Pemerintahan Kerajaan Sanggabuana dipindahkan ke Keraton yang baru. Syekh Hasanudiin akhirnya menerima gelar Sultan di negeri Banten dengan gelar Sultan Panembahan Surosowan, setelah Prabu Saka Domas meninggal.
Kisah menganai perkawinan antara Sunan Gunung Jati Dengan Nyimas Kawunganten juga diceritakan dalam naskah mertasinga pupuh XVIII.11-16. Demikian kisahnya :
Setelah beberapa lama tinggal di Banten, pada suatu hari ada yang datang berkunjung pada Sunan Gunung Jati, yaitu Ratu Krawang yang datang untuk masuk agama Islam.
Melihat kedatangan puteri cantik yang datang bersama Ratu Krawang, lalu Sunan Gunung Jati bertanya “He Ratu Krawang, Puteri manakah yang datang bersamamu ini.? dan siapakah gerangan namanya.? disini aku belum pernah melihatnya”
Ratu Krawang menjawab “Dia masih termasuk bibi hamba, dia adalah Putri Permadi puti yang menjadi Raja di Cangkuang. Namanya Putri Kawunganten dia masih keturuan Pakuan Pajajaran. Bilamana baginda menghendaki, silahkan menyampaikannya pada paman Permadi Puti, murid tuan yang dahulu mencari udang sejodoh itu”.
Maka untuk Kemudian, Arya Lumajang (Cakrabuana) kemudian memanggil adiknya Permadi Puti yang berada di Cerbon Girang. Setibanya Permadi Puti, lalu Sunan Gunung Jati berkata “Paman, puterimu itu, akan kuminta keridoannya, dia akan kuperistri dengan benar”
Permintaan itu dijawab “Silahkan tuanku, lagipula bukankah anak ini, dan juga diri hamba adalah tuan juga yang memilikinya..?” Begitulah kisahnya.
Dari perkawinan keduanya lahir seorang anak perempuan yang diberi nama Tau Winaon, kemudian adik laki-laki yang diberi nama Pangeran Sebakingkin yang kemudian menjadi Sultan Banten. Adapun Ratu Winaon, kelak dipersitri oleh orang sebrang yang bernama Pangeran Atas Angin yang berkedudukan di Jambu Karang.
Dalam sejarah, Pangeran Sebakingkin ini mempunyai nama lain Hasanudin, Raja Banten inilah yang kelak menaklukan Pajajaran dibantu oleh anaknya Maulana Yusuf. Adapun Putri Winaon ini kelak mengikuti suaminya ke Seberang yaitu kepulau Sumatra di daerah yang disebut Atas Angin / Jambu Karang. Daerah tersebut sekarang identik dengan daerah Bengkulu ada juga yang mengatakan daerah Sumatra Barat.
Sementara, penelusuran lain ditemukan versi dari sumber-sumber primer, selain perkawinan antara Sunan Gunung Jati Dengan Nyimas Kawunganten. Selama hidupnya pernah menikah dengan Nyimas Babadan, Nyimas Pakungwati, Nyimas Rara Jati, Nyi Rara Tepasan, dan Putri Ongtien.
Dari istri-istri Sunan Gunung Jati dikaruniai keturunan, dan putra beliau menjadi raja di Pulau Jawa. Sementara putri-putri Sunan Gunung Jati dipersunting Sultan di Kesultanan Demak maupun diperistri oleh para pembesar di wilayah kerajaan Cirebon.
Keturunan Dari Nyimas Babadan
Nyimas Babadan adalah anak dari Ki Gede Babadan, Babadan ini adalah suatu wilayah yang sekarang menjadi Desa Babadan, masuk pada wilayah Kabupaten Indramayu, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa Babadan ini terletak di wilayah Propinsi Banten. Perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyimas Babadan terjadi ketika Sunan Gunungjati keluar dari Istana dan menyebarkan Islam kepelosok-pelosok kampung. Dari Nyimas Babadan Sunan Gunung Jati diceritakan tidak mendapatkan keturunan.
Keturunan Dari Nyimas Pakungwati
Nyimas Pakungwati adalah anak pertempuran dari Uwak Sunan Gunung Jati yang bernama pangeran Walangsungsang, yang mana beliau ini ternyata mempunyai banyak julukan diantara julukan-julukan beliau adalah Ki Cakrabwana dan Mbah Kuwu. Dari Nyimas Pakungwati, Sunan Gunungjati tidak mendapatkan keturunan, dikhabarkan Nyimas Pakungwati meninggal sebelum mempunyai keturunan. Nama Pakungwati kemudian diabadikan sebagai nama Istana Kesultanan Cirebon.
Keturunan Dari Nyimas Rara Jati
Nyimas Rara Jati merupakan anak Ki Gede Jati, beliau merupakan Syah Bandar pelabuhan Muara Jati Cirebon, dari perkawinan ini beliau memiliki dua anak laki-laki yang bernama Pangeran Jaya Kelana, Pangeran ini selama hidupnya membuat gempar Cirebon karena kenakalannya. Pangeran Bratakelana dikenal juga dengan sebutan Pangeran Sedang Laut, karena beliau meninggal dilautan akibat di rampok.
Keturunan Dari Nyi Rara Tepasan
Nyi Rara Tepasan adalah anak dari Ki Gede Tepasan Dari Majapahit, pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Rara Tepasan dikarunia dua anak yaitu Ratu Ayu Wanguran, Pangeran Pasarean.
Keturunan Dari Nyi Ongtien
Nyi Ongtien dalam sumber-sumber primer sejarah Cirebon diceritakan sebagai anak dari penguasa Cina, beliau datang ke Cirebon beserta pengawalnya untuk meminta dinikahi oleh Sunan Gunung Jati, dalam perkawinan dengan Nyi Ongtien ini, terdapat perbedaan pendapat, ada yang menyatakan punya anak akan tetapi meninggal semenjak bayi, ada juga yang berpendapat mempunyai anak, dan anak tersebut kemudian dinamakan Arya Kemunig atau Arya Kuningan, Arya Kuningan ini diceritakan pernah menjadi Panglima Perang Kerajaan Cirebon, dan kemudian diangkat menjadi Adipati di Kuningan.
–
Dari berbagai sumber
Oleh Jrm Cirebon