YAMADA

Oleh : Jamadi WONG Jatim

Masahiko Yamada adalah mantan Menteri Pertanian Jepang dan sekarang salah satu aktivis kedaulatan pangan terkemuka di negara itu. Pada 2018, dalam gelaran International Economics of Happiness Conference, di Prato, Italia, Yamada menyampaikan pidato utama tentang lahirnya gerakan masyarakat baru untuk melindungi warisan tanaman pangan Jepang dari pengambilalihan perusahaan.

Misi dari gerakan tersebut adalah melindungi pertanian dan tanaman pangan di Jepang yang terancam agenda perdagangan bebas. Tidak hanya itu, gerakannya juga berlanjut kepada perlindungan air sebagai milik bersama yang terancam privatisasi dan komersialisasi.

DARI PETANI

Yamada lahir di lingkungan pertanian di pedesaan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Pada saat itu, petani Jepang mempraktikkan pertanian tradisional, bercocok tanam dan sekaligus memelihara ternak.

Kondisi mulai berubah setelah pendudukan Amerika di Jepang pascaperang (PD II) dan adanya restrukturisasi ekstensif yang mengikutinya. Pemerintah Jepang menghindari pemusatan lahan di beberapa tangan dengan membatasi ukuran lahan pertanian setiap rumah tangga sekitar 1-4 hektar.

Di satu sisi, perkembangan tersebut menghasilkan kondisi yang lebih baik bagi petani Jepang dan lanskap “pertanian keluarga kecil” yang dilindungi secara hukum. Tapi, pada saat yang sama, pendudukan AS di Jepang (dengan beberapa ratus ribu tentara) menyebabkan proses industrialisasi yang cepat seiring dengan persaingan gaya hidup Amerika, termasuk kebiasaan makan. Hal ini menggeser pola makan tradisional (nasi, ikan, sayuran dan produk kedelai) menjadi pola makan yang kaya akan daging dan minyak.

Selama periode lima puluh tahun (1955-2005), konsumsi daging meningkat sembilan kali lipat dan konsumsi minyak meningkat lima kali lipat. Sementara konsumsi beras turun setengahnya. “Amerikanisasi” menyebabkan adopsi yang cepat pertanian modern (terspesialisasi dan industri skala besar) dan meningkatnya ketergantungan pada makanan impor.

Yamada, yang saat itu sudah pemuda dewasa, mengikuti tren baru pertanian, spesialisasi dan menjadi produsen daging babi monokultur dengan 5.000 babi. Awalnya semuanya berjalan baik. Tapi bisnisnya, seperti banyak petani Jepang “modern” lainnya, gagal selama krisis minyak tahun 1970-an.

Pada saat itu, pertanian Jepang sangat terikat dengan ekonomi berbasis bahan bakar fosil global yang tidak menentu. Embargo minyak pada tahun 1973-74 menyebabkan kenaikan pesat biaya pakan ternak, ditambah dengan penurunan harga daging, karena konsumen mengencangkan dompet mereka selama krisis.

Seperti banyak petani Jepang pada saat itu, Yamada terjebak dalam tekanan fatal antara tingginya biaya produksi dan rendahnya harga produksinya. Ia mencoba beralih ke retail, dengan bisnis daging, namun tetap tidak bisa bertahan secara ekonomi.

MENJADI POLITISI VISIONER

Pengalaman langsung Yamada sebagai petani modern dalam ekonomi global yang bergejolak membuatnya mempertanyakan perubahan cara pertanian, yang terspesialisasi dan skala besar. Ia lebih menghargai nilai pertanian tradisional yang beragam dan skala kecil, yang dikelola tanpa bergantung pada biaya produksi yang mahal atau pinjaman bank yang besar.

Yamada meyakini bahwa ke depan, Jepang lebih baik memperkuat dan meningkatkan budaya pertanian yang beragam dan terintegrasi. Termasuk memperbanyak pertanian keluarga, daripada mengejar cara pertanian industri dan melanjutkan spesialisasi.

Yamada mengambil langkah drastis. Ia kembali melanjutkan pendidikan, sebagai pengacara. Kemudian terjun ke dunia politik dan terpilih menjadi anggota DPR pada tahun 2003. Enam tahun kemudian menjadi Wakil Menteri Pertanian dan resmi diangkat menjadi Menteri Pertanian pada tahun 2010.

Sebagai Menteri, salah satu hal pertama yang dilakukan adalah segera mengambil langkah nyata dengan menerapkan jaminan pendapatan minimum bagi keluarga petani. Ia secara terbuka menyatakan:

“Model pertanian industrialisasi tinggi telah menjadi kesalahan dan kegagalan. Sebagai gantinya kita perlu memperkuat pertanian skala kecil berbasis keluarga.”

Jaminan pendapatan minimum yang diterapkan Yamada menghasilkan efek yang diinginkan: peningkatan jumlah orang muda yang terlibat dalam pertanian. Tiba-tiba menjadi mungkin bagi generasi muda untuk kembali ke pertanian keluarga mereka tanpa mempertaruhkan segalanya.

DISINGKIRKAN

Visi pertanian Yamada dengan model yang lebih terlokalisasi berdasarkan pertanian keluarga yang beragam, tidak sejalan dengan pemerintah Partai Demokrat Liberal (LDP), yang dipimpin oleh Perdana Menteri Shinzo Abe. Ini bukan satu-satunya perbedaan mereka. Yamada juga sangat kritis terhadap perjanjian perdagangan bebas Trans-Pacific Partnership (TPP) yang ingin diikuti oleh pemerintah Jepang pada saat itu.

Sebagai Menteri Pertanian, Yamada memperingatkan bahwa TPP akan merusak kedaulatan pangan Jepang dan semakin menekan petani kecil. Tak heran, Yamada disingkirkan dari jabatannya pada akhir 2011, setelah sekitar dua tahun menjabat sebagai Menteri.

Terkait kebijakannya yang fenomenal dengan menjamin pendapatan minimum petani, Yamada menyayangkan, karena kebijakan itu berakhir setelah dirinya tidak menjabat menteri.

“Itu berakhir, atau lebih tepatnya dihapus, pada 2018,” kata Yamada dengan senyuman kecil.

Diterjemahkan bebas dari artikel/tulisan Anja Lyngbaek (Saving Japan’s seed heritage from “free trade”) dalam GRAIN, 11 Mar 20

Foto: Jamadi, bukan Yamada. Cimarga, Lebak, Banten, 2018.