RUU HIP “DAMAIKAN” ANSOR & HTI

Oleh : –mabroer ms ( aktifis Nahdliyyin)

Setelah mengalami gesekan cukup panas diberbagai forum, terlebih di Medsos antara aktifis eks HTI vs anak-anak Ansor, akhirnya dua kutub itu bertemu dalam satu isyu kebangkitan PKI. Keduanya “didamaikan” oleh RUU HIP yang tak mencantumkan Tap MPRS No XXV/1966 dan pasal 7 yang ditengarai mendistorsi eksistensi Pancasila menjadi Trisila dan Eka Sila. Spirit pemangkasan Lima sila jadi Tri sila hingga Eka Sila juga ditengarai menjadi bagian untuk menghilangkan nilai-nilai keagamaan yang selama ini tercermin dalam sila pertama dari Pancasila.

Tentu ini menjadi isyu yang sangat seksi dan sudah menjadi pemantik bangkitnya semangat jihad umat Islam. Dan, HTI menjadi salah satu entitas yang ikut mendapatkan untung karena sangat rajin memproduksi isyu PKI. Dengan menyeruaknya RUU HIP ini, ditambah dengan bumbu-bumbu pembangkit sentimen keagamaan, reaksi terhadap isyu PKI makin meluas. Tak tanggung-tanggung, Sekjen MUI yang juga aktifis PP Muhammadiyah DR Anwar Abas mengeluarkan maklumat yang menentang RUU tersebut. Bahkan dalam istilah Sekjen Muhammadiyah, DR Abd Mu’thi, organisasi berlambang matahari itu akan melakukan ‘Jihad Konstitusi’.

Bagaimana dengan entitas NU? Meski pada awalnya menjadi “silent majority”, tapi belakangan mulai terusik karena draf RUU HIP yang beredar di publik membenarkan adanya kekhawatiran banyak pihak tersebut. Bahkan, belum lama ini ratusan tokoh dan pengasuh Pondok Pesantren di Jawa Timur secara terbuka menolak RUU HIP. Tak terkecuali juga Ketua Umum GP Ansor, Gus Yaqut pun tak tinggal diam karena luka lama itu (PKI vs Banser ’65) terasa akan dihidupkan kembali melalui RUU tersebut.

Ada dua point yang mereka tolak yakni tak dicantumkannya TAP MPRS no XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pasal 7 tentang upaya mendistorsi Pancasila. Belakangan, para purnawirawan TNI-POLRI juga turun gunung untuk merespon hal yang sama. Dengan kata lain, mayoritas kelompok masyarakat sipil sudah menampakkan diri karena resistensi mereka terhadap draf Undang-Undang tersebut. Tentu, masing-masing komunitas mencerminkan histrory dan aura kepentingan yang tak selalu sama, bahkan ada juga aroma kompetisi 2024, pertarungan “nasib baik” para elit politik untuk memperebutkan jabatan yang konon terlalu didominasi kalangan tertentu. Juga momentum bagi para pengusung ide Khilafah untuk mendulang dukungan dari umat Islam (majority).

Terlepas dari aroma kompetisi kepentingan dibalik maraknya isyu RUU HIP, namun sindiran “ulama Pancasila” DR Yudi Latief patut direnungkan bahwa para penyusun draf RUU tersebut tak memahami Pancasila secara ‘kaffah’. Ditambah lagi kehadiran Rieke Dyah Pitaloka (F-PDIP) selaku pimpinan Panja DPR yang menghasilkan draf RUU HIP yang makin menambah sedapnya isyu PKI. Dari sinilah, laju isyu PKI makin kencang dan menyenggol kemana-mana. Jika persoalan ini dibiarkan berlarut seiring belum tuntasnya musibah Pandemi Covid-19, maka garansi yang diberikan Menkopolhukam Prof Mahfud MD bahwa pemerintah akan menolak RUU HIP pun tak akan bisa meredakan ketegangan. Meski Menkopolhukam telah memastikan penolakan, jika RUU HIP masih memuat beberapa point yang menimbulkan penolakan banyak kelompok masyarkat tersebut.

Kendati punya kesamaan sikap dalam menolak RUU HIP, namun kelompok “silent majority” itu tidak ada pilihan lain kecuali mengawal keberlangsungan NKRI dan Pancasila sebagai ideologi negara. Hal ini berbeda jauh dengan agenda para pengusung ide Khilafah yang sangat rajin mendakwahkan gagasan-gagasan politiknya itu. Dengan kata lain, sama geraknya dalam menolak RUU tapi beda pula tujuan akhirnya.

Yang menjadi pertanyaan banyak pihak, kenapa wakil rakyat di DPR seperti kehilangan kepekaan kenegaraannya sehingga membiarkan tumbuhnya benih-benih perpecahan yang ditimbulkan dari kontroversi RUU HIP tersebut. Jika maksudnya untuk menjawab merebaknya isyu yang sengaja dihembuskan kelompok pendukung khilafah seperti ‘tidak ada undang-undang yang menegaskan bahwa Pancasila merupakan dasar negara RI’ semestinya respon tersebut diberikan secara elegan dan teliti. Mungkin sebagian anggota DPR RI tidak menguasai seluk-beluk Pancasila secara mendalam, tapi bukankah mereka juga dikelilingi tim ahli yang berlapis, bahkan jika masih kurang, juga ada segudang akademisi yang siap membantu.

Terus terang RUU HIP ini sangat sensitif, bukan semata-mata untuk menjadi penopang BPIP, namun justru membangkitkan ‘macan tidur’ tentang polemik penghapusan 7 kata dari Piagam Jakarta, yakni yang berbunyi: … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Apalagi, polemik tentang Piagam Jakarta ini masih menjadi isyu yang sangat menarik, bukan hanya sekedar pergulatan pemikiran, tapi sudah agak lebih jauh dari itu. Oleh karena itu, jika para pengelola negara ini (ekskutif, yudikatif, legislatif) kehilangan kepekaan sosial & politiknya karena terlalu hedonis & pragmatis maka ancaman NKRI bukan hanya munculnya ideologi lain di luar Pancasila, tapi juga hilangnya kepercayaan rakyat kepada para pemimpin. Bukankah sudah cukup berat NKRI ini mengalami berbagai tsunami politik, termasuk krisis 1998 itu? ###