GEORGE FLOYD, SANG PENGINGAT SEJARAH PERBUDAKAN AMERIKA

Oleh : Mabroer ms

 

Demonstrasi anti ras di Amerika Serikat belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Meski sebagian target telah mereka raih, seperti penetapan sang pelaku Deker Chauvin sebagai pesakitan telah dikabulkan, tapi kemarahan para demonstran yang -antara lain- dimotori Black Lives Metter itu belum menandakan sinyal menyurut. Tentu, yang disayangkan banyak pihak termasuk mayoritas warga kulit hitam adalah aksi demo yang sering diwarnai vandalisme, anarkhi dan penjarahan.

Aksi demonstrasi yang berlangsung sejak 26 Mei 2020 itu benar-benar sukses mendulang simpatisan. Bahkan dukungan telah melampaui benua Amerika dan menyeruak ke berbagai belahan Eropa, seperti Inggris, Jerman, Belanda. Bahkan puncak kemarahan para demonstran Inggris juga diekspresikan dengan merobohkan patung sang legenda Inggris, Edward Colston yang dianggap sebagai simbol perbudakan abad ke-17. Belakangan, aksi demontran Brisbol Inggris itu pun menular kepada para demonstran Amerika dengan merobohkan 3 patung Cristopher Columbus yang berada di tiga kota kota; Minnesota State Capitol, Byrd Park – Richmond Virginia dan di Boston kepala Patung Columbus pun dipenggal.

Sekitar tahun 1492, sang penjelajah sekaligus pedagang budak asal Genoa-Italia itu menemukan benua Amerika. Dari temuan pria kelahiran 30 Oktober 1451 dengan nama kecil Cristoffa Corombo itulah, kemudian mengakibatkan terjadinya migrasi besar-besaran warga Eropa berkulit putih ke negeri penghasil kapas terbesar itu. Antara lain berasal dari Italia, Inggris, Portugis dan Spanyol. Meski bukan orang Eropa pertama yang mendarat di Amerika, tapi Columbus lah peletak dasar terbentuknya Amerika lengkap dengan sikap rasis dan fasisnya kepada warga asli Indian dan para pekerja asal Afrika yang kelak dijadikan budak.

Selama ini, sang penemu benua Amerika itu dianggap sebagai pahlawan terhormat. Selain jasanya menemukan lokasi penampungan kaum imigran Eropa, Columbus juga dianggap menjadi peletak batu pertama kehidupan negara Amerika. Tapi semua kebesaran dan kejayaan sejarah itu akhirnya ditumbangkan bersama robohnya tiga patung Columbus, bahkan ada yang dipenggal lehernya. Awam membaca bahwa rentetan ini seakan mengingatkan sejarah kelam Amerika tentang perjuangan kaum anti ras yang sudah berlangsung sejak 1860-an itu.

Spekulasi pun berkembang, akankah patung sang penemu benua Amerika itu bakal digantikan patungnya George Floyd yang mereka anggap sebagai simbol perjuangan anti ras? Tentu, kemungkinan seperti itu bukanlah hal yang mustahil karena menguatnya kesadaran mayoritas warga Amerika yang multi etnis dan warna kulit itu untuk segera membumihanguskan benih-benih rasisme yang selama ini masih sering dipertontonkan aparat kepolisian setempat. Berbagai nama besar pejuang anti rasialisme telah berulangkali bermunculan. Diantara mereka yang cukup fenomenal ada Martin Luther King JR (1929-1968) hingga Malcolm X (1925-1965) tokoh muslim Afro-Amerika yang juga dikenal sebagai pejuang HAM serta masih banyak tokoh lainnya.

Kendati perjuangan menghapus rasialisme ini telah berlangsung ratusan tahun, bahkan sempat menorehkan sejarah hitam di Amerika dengan kisah Perang Sipil (The Sipil War)-nya tahun 1961-1965, ternyata hingga kini PR besar bangsa Amerika itu belum sepenuhnya tuntas. Dari tahun ke tahun, kisah tragis acapkali menimpa warga kulit hitam dengan berbagai dalih dan modus. Mungkin karena merasa terlalu letih dan putus asa mewujudkan keamanan & kenyamanan bagi seluruh warga Amerika tanpa dibedakan warna kulitnya itulah, aksi demo pendukung George Floyd tak kunjung padam. Dari sisi konstitusi, Amerika telah menunjukkan keseriusannya dalam menghormati HAM yang dibuktikan 10 kali amandemen konstitusi-nya lebih fokus pada persoalan HAM. Kendati begitu, mereka justru masih gagal menerapkan nilai-nilai HAM khususnya kesamaan kedudukan dan perlakuan oleh aparat negara kepada warga minoritas.

Aksi demonstrasi yang tak kunjung padam di Amerika Serikat ini telah membuka mata dunia bahwa negara adidaya dan kampium demokrasi itu ternyata masih banyak utang kepada rakyatnya. Mulai lapangan pekerjaan, kesenjangan ekonomi, diskriminasi rasial, hingga problem pengangguran dan perumahan warga. Berbagai problematika sosial itu berkelindan di tengah-tengah kehidupan mereka yang diperparah dengan Pandemi Corona, maka tak sedikit dari mereka yang memanfaatkan aksi demo sebagai pelampian dan balas dendam. ###