Peti Mati Berlapis Emas Untuk George Floyd

Oleh :  Mabroer ms

Drama kolosal yang membuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump kelimpungan itu sudah berakhir dengan dimakamkannya sang aktor utama George Floyd (46). Kematian warga kulit hitam di tangan polisi Minneapolis AS, Derek Chauvin (44) itu telah mengguncang rasa keadilan warga setempat bahkan hingga berkobar ke berbagai negara. Drama kematiannya yang viral di media itu telah membangkitkan kesadaran warga dunia bahwa rasisme merupakan kejahatan yang banyak menghantui warga minoritas. Apapaun alasannya, perilaku rasisme telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan menodai peradaban. Oleh karena itu, sangat wajar jika kejahatan yang menimpa sopir truk kelahiran Houston itu mendapatkan kutukan dari seluruh warga dunia, bahkan tak sedikit warga kulit putih yang jadi penggeraknya.

Kematian Floyd akibat cekikan lutut Chauvin tanggal 26 Mei 2020 silam terekam kamera dengan sempurna itu segera beredar di publik melalui berbagai media, khususnya Medsos. Video pendek itulah yang mampu membangkitkan kemarahan mayoritas warga Amerika akibat perilaku rasial aparat kepolisian Minneapolis telah melampau batas. Polisi yang semestinya mengayomi, malah membantai. Apalagi tragedi yang menimpa Floyd ini bukan merupakan yang pertama maupun yang terakhir kalinya perilaku rasis dari aparat kepolisian di Amerika Serikat. Tiga pekan sebelumnya, 6 Mei 2020 dalam kurun waktu beberapa minggu sebelumnya, kejadian sejenis juga menimpa remaja kulit hitam Sean Reed yang dilakukan polisi di Indianapolis. Rententan sebelumnya, 18 April 2020 juga terjadi kejahatan serupa yang dilakukan dua oknum polisi San Leandro yang membunuh pria kulit hitam penderita kelainan mental, Demarco Taylor.

Dua bulan sebelumnya, 23 Februari 2020 juga muncul tragedi serupa di Ahmaud Arbery (26) yang tengah jogging pagi di pantai Brunswick, Geordia Amerika itu tiba-tiba diserang pensiunan polisi berkulit putih, Gregory McMichael, 64 tahun, dan putranya Travis McMichael, 34 tahun.
Tragedi ini juga memicu demo karena polisi baru bertindak setelah video pembunuhan itu viral di bulan berikutnya. Kisah pilu yang menimpa warga Amerika berkulit hitam nyaris menjadi rutinitas yang belum menunjukkan tanda-tanda serius bakal berakhir. Kejadian demi kejadian terus berulang, bahkan di tengah-tengah kemarahan warga dunia yang belum mereda atas tragedi George Floyd, sikap rasialis juga dipertontonkan oknum polisi Virginia yang menembak warga kulit hitam dengan pistol setrum.

Kendati belum menjadi genderang penutup dari tragedi kemanusiaan yang berbau rasial di Amerika, namun kematian George Floyd telah menorehkan tinta emas tentang asas persamaan diantara sesama. Oleh karena itu menjadi wajar jika rintihan dan sekarat kematian yang dialami lelaki berusia 46 tahun diganjar dengan penghormatan dari seluruh lapisan masyarakat Amerika yang ditandai dengan pembungkus kematiannya, peti mati berlapis emas dengan harga sekitar Rp 500 juta itu telah dibayar oleh mantan petinju Amerika, Floyd Mayweather. Peti mati yang diproduksi oleh Batesville Casket Company adalah produsen peti mati emas terkenal di seluruh dunia. Peti mati kualitas tertinggi ‘Promethean’ berlapis emas 24 karat, dibuat berdasarkan pesanan khusus dan diantara tokoh yang pernah menggunakannya, The King of Pop, Michael Jackson, dan penyanyi terkenal James Brown. Sebetulnya, selain Floyd juga ada tragedi yang sangat mengenaskan seratusan tahun silam yang menimpa Jesse Washington (17) pada 15 Mei 1916. Remaja kulit hitam itu dijadikan pesakitan oleh polisi dan jaksa berkulit putih dengan tuduhan membunuh remaja putri (kulit putih) bahkan hingga meregang nyawa di tangan mereka di di luar ruang sidang.

Oleh karena itu, banyak warga dunia berharap agar tragedi yang menimpa George Floyd ini menjadi kisah penutup dari kejahatan kemanusiaan berbau rasialisme di abad modern ini. Apalagi tragedi itu justru terjadi dan terus berulang di negara maju sekelas Amerika Serikat. Bukankah selama ini, banyak negara-negara di dunia termasuk Indonesia yang selama ini mengarahkan “kiblat”-nya ke Amerika?. Bahkan, isyu tentang HAM, demokrasi, persamaan hak, serta hak-hak sipil lainnya selalu menjadikan Amerika Serikat sebagai rujukan utama di berbagai forum seminar dan kampus. Amerika juga melengkapi catatan hitamnya dengan kisah pilu yang menimpa rakyat Palestina dan tragedi kemanusiaan di kawasan Timur Tengah, seperti Irak, Libya, Suriah, serta kawasan lainnya.

Banyak harapan dititipkan di peti mati Floyd yang akan dimakamkan Selasa (9/6/2020) di Houston Memorial Gardens, Pearland itu. Selain nama besar bagi sang sopir, Floyd juga ikut membentangkan monumen anti rasialisme berupa mural raksasa ‘Black Lives Matter’ di seberang Gedung Putih. Adalah Walikota Washington DC, Muriel Bowser yang memilih lokasi tersebut dengan maksud untuk membuka mata hati Presiden Donald Trump. Muriel sendiri merupakan salah satu dari 7 walikota perempuan berkulit hitam di 100 kota terbesar Amerika. Bahkan, catatan Floyd juga tertoreh di kawasan Eropa, tepatnya di kota Bristol. Ratusan demonstran pendukung George Floyd telah meroboskan patung pedagang budak abad ke-17 yakni Edward Colston dan membuangnya ke sungai. Gema perang melawan kejahatan rasialisme telah menggelora di seluruh dunia dan diharapkan pasca tragedi Floyd ini, bisa melahirkan ‘new normal’ kemanusian di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. ###