Keistimewaan Bulan Juni

Oleh :  Hatim Gajali

Bulan Juni itu bulan istimewa, bukan saja bagi umat manusia, bangsa Indonesia, tetapi juga bagi ummat Islam. Bagi umat manusia, 5 Juni diperingati sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Belakangan ini, kita semakin sadar bahwa menjaga lingkungan hidup bukan sekedar menjadi pilihan hidup, gaya-gayaan, tetapi perlu menjadi kefardhuan dalam hidup. Menjaga lingkungan ini bukan saja mandat selurut agama, tetapi juga — sejauh manusia itu dalam menggunakan akal pikirannya — panggilan akal budi (atau mungkin lebih tepat disebut panggilan rohani, meminjam istilah Kiai Ulil Abshar Abdalla). Karena, bagi sebagian intelektual, krisis lingkungan ini bermula dari krisis spiritual, kering dan dangkalnya pengenalan manusia akan Tuhan.

Bangsa Indonesia, 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Kemaren, perintah untuk memeringatinya datang dari sejumlah lembaga negara. Tentu saja, tak semua orang bersepakat bahwa 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun semuanya bersepakat bahwa kelahiran Pancasila tidak melalui operasi caesar di Rumah Sakit. Karena Pancasila lahir dari proses berpikir yang mendalam, diskusi yang konstruktif, debat ideologis, bukan debat ala “pejabat negara” yang hendak mengeruk harta negara.

Pada bulan ini pula, proklamator Indonesia, Sukarno dilahirkan. Tepatnya pada 6 Juni. Sukarno adalah tipikal pembelajar sejati, yang melahap banyak buku. Ia berguru kepada H.O.S Cokroaminoto, bersamaan dengan SM Kartosoewirjo, Semaoen. Sekalipun tunggal guru, ketiga murid Cokro tersebut berbeda pandangan, bahkan perbedaan pilihan politik. Jika Kartosoewirjo bergerak untuk membentuk Negara Islam Indonesia, di kutub sebelahnya berdiri Semaoen sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia. Bahkan, Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Rakutak Jawa Barat pada 4 Juni atas perintah Sukarno. Merindingnya, yang menandatangi surat eksekusi mati Kartosoewirjo adalah teman kosnya: SUKARNO.

Yang perlu diingat dari sosok Sukarno ini karena kepatuhannya kepada gurunya, saat diminta menikahi putri gurunya, Siti Oetari, tak ada penolakan sama sekali. Bahkan, ada yang menceritakan, karena penghormatannya yang tinggi kepada HOS Cokro sebagai gurunya, ia tak menggauli putrinya, sekalipun sudah dinikahi.

Bagi Umat Islam, bulan Juni ini juga istiemewa. Jika mengikuti hitungan kalender Masehi, bulan Juni adalah bulan di mana Nabi Muhammad dan Sayyidina Umar dilahirnya. 8 Juni, tepatnya. Tak ada yang meragukan kemuliaan nabi Muhammad. Putra Siti Aminah itu sosok sempurna, tidak hanya fisiknya tetapi –terutama–akhlaknya.

Tak ada perselisihan soal bagaimana Sayyidina Umar begitu kuat menjaga integritas. Bahkan, ia seringkali digambarkan sebagai sosok yang galak. Walaupun, ada saja riwayat yang menyebutkan bahwa segalak-galaknya Sayyidina Umar, tetap saja ia pernah dimarahin istrinya. Tapi, jangan keburu membayangkan kemarahannya sebagaimana ngomelnya Mak Lampir.

Tentunya, kita berharap, semoga kita senantiasa dimampukan untuk senantiasa meneladani Nabi Muhammad. Meneladani seutuhnya tampak mustahil, tapi paling tidak, meneladani yang pokok-pokok saja. Poligami pastinya bukan ajaran pokok yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Sementara, bagi saya pribadi, bulan Juni ini juga istimewa. Tepat pada tanggal setelah Pancasila dilahirkan, saya pun dilahirkan. Artinya, kelahiranku menunggu kelahiran Pancasila. Tak hanya itu, pada bulan ini pula saya menikahi perempuan yang saya tulis di halaman persembahan skripsi. Karena namanya tercantum di dalamnya, skripsi yang mengulas soal Gus Dur dan TH Sumartana ini dinobatkan sebagai sebagai skripsi terbaik nomor 1 oleh Kementerian Agama pada tahun 2006.

Karena kemuliaan bulan ini, maka kita perlu memperbanyak ibadah. Salah satu ibadah yang hampir pasti diterima adalah shodaqah dan infaq. Jadi kalau ada yang ingin mengirim kado, japri yesss…

Salam….

Hatim Gazali