KH Ahmad Siddiq Sang Penjinak Asas Tunggal Pancasila

 

Oleh : Mabroer MS Altivis NU.

Wajahnya teduh dan gaya bicara lembut, kaca matanya tebal dengan sorban putih yang selalu terurai di atas kepalanya. Itulah sosok Rais Aam PBNU 1984-1991, KH Ahmad Siddiq. Pria kelahiran 24 Januari 1926 itu punya peran cukup besar dalam menyudahi polemik nasional antara rejim Orde Baru dengan umat Islam. Ketegangan itu berlangsung berlarut-larut dan telah banyak menimbulkan korban. Dalam situasi kritis itulah, NU sebagai salah satu Ormas Islam terbesar di Indonesia mengambil peran signifikan dengan menerima Asas Tunggal Pancasila. Sebuah keputusan pelik yang harus diambil untuk menyelamatkan keutuhan dan masa depan Indonesia.

Keputusan tersebut diambil dalam Munas Alim Ulama (Munas) NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Desember 1983 setelah melalui proses perdebatan sangat sengit dan tajam. Sebetulnya, penolakan terhadap Asas Tunggal Pancasila itu di internal NU juga cukup kuat dengan argumentasi keagamaan masing-masing. Namun, para kiai sepuh NU seperti Kiai As’ad, Kiai Machrus Ali, Kiai Ali Maksum, dan Kiai Masykur justru punya pandangan lain terhadap Asas Tunggal Pancasila. Ya, akhirnya peserta Munas NU pun mengamini pendapat para kiai sepuh dan bisa menerima Asas Tunggal Pancasila.

Sebelum Munas, banyak tokoh berharap agar NU menolak Asas Tunggal Pancasila. Selain melakukan pendekatan personal ke sejumlah kiai, mereka juga berkirim surat ke forum Munas NU itu dengan harapan agar NU menolak Asas Tunggal. Bagi mereka, keputusan NU menjadi referensi banyak kalangan, selain komunitas muslim juga pemerintah. Namun, harapan mereka itu kandas di tengah jalan karena NU memutuskan menerima dan akhirnya UU tentang Asas Tunggal itu pun disahkan 19 Februari 1985. Sepuluh bulan kemudian, tepatnya Desember 1985, Muhammadiyah pun memutuskan hal yang sama dalam muktamarnya. Dengan penerimaan ini, legitimasi Asas Tunggal makin kuat karena topangan dua Ormas Islam; NU & Muhammadiyah, kemudian Ormas-Ormas lainnya pun ikut menyusul.

Terus terang, Asas Tunggal ini menjadi salah satu sejarah penting bagi umat Islam. Dibalik gonjang-ganjing, tokoh-tokoh tempo dulu telah memberikan teladan yang baik dalam memaknai demokrasi. Meski ketegangan antara rejim Orde Baru dengan umat Islam itu banyak meninggalkan jejak hitam seperti lahirnya HMI MPO, bubarnya PII serta noda lainnya, namun tokoh-tokoh Islam tempo dulu masih tetap satu semangat yakni merawat dan mensyukuri nikmat kemerdekaan RI ini dengan mengisi berbagai kegiatan produktif di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi umat. Masing-masing pihak saling mengisi, NU dengan Pesantren-nya, Muhammadiyah dengan sekolah-sekolahnya, demikian halnya dengan Ormas Islam lainnya. Semuanya tumbuh dan berkembang, bahkan makin kompetitif.

Namun, pasca reformasi 1998, kebebasan menjadi barang murah sehingga cenderung tanpa batas dan norma. Bahkan urusan ideologi negara yang selama ini sudah dirampungkan para ulama dan kaum cendekia, justru mau ditata ulang oleh sekelompok orang. Tak sedikit sejumlah Ormas yang lahir pasca rejim Soeharto ini menjadi komunitas baru yang cenderung menolak Pancasila karena dianggap tidak Islami. Beragam narasi mereka munculkan seperti NKRI Bersyariat, Negara Islam hingga sistem Khilafah. Kelompok yang datang belakangan ini justru sangat militan melakukan dakwah politiknya untuk merubah ideologi negara. Mereka merasa tak terikat dengan kesepakatan para ulama dan para pendiri bangsa terdahulu yang telah menjadikan NKRI sebagai bentuk kenegaraan yang final bagi bangsa Indonesia. Kesepakatan itu dianggapnya hanya fatamorgana sejarah belaka sehingga tak wajib dijaga dan dijalankan.

Tampaknya, dakwah para pengusung ideologi baru itu mulai menunjukkan hasilnya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai surve dengan hasil yang sangat mengejutkan. Sekedar contoh, saat ini tak kurang dari 19,4% ASN yang berusia 25-40 tahun (surve Alvara Research, 2018) justru menolak ideologi Pancasila. Dengan kata lain, ada kegagalan melakukan pengawasan dan pembinaan sehingga tubuh subur benih-benih musuh negara didalam kantor negara itu sendiri. Terus terang angka 19,4% dari total 4.286.928 ASN di seluruh Indonesia itu bukan angka kecil. Bagaimana bisa terjadi, para pemegang mandat rakyat & negara itu justru menumbuhkembangkan pemahaman yang akan mengkhianati NKRI? Bukankah mereka digaji oleh negara dengan uang rakyat itu, antara lain untuk merawat warisan para pendiri NKRI ini? Bukankah sikap itu bisa dikategorikan sebagai pengkhianatan?

Selain ASN, fenomena guru pun tak jauh berbeda karena sekitar 20% guru di Indonesia tak lagi menginginkan Pancasila sebagai ideologi negara. Survei yang dilakukan semasa Presiden SBY ini juga diperkuat dengan survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan melibatkan 30.000 responden di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan karena sekitar 20-25% responden (lebih dari 55 juta orang) telah menolak Pancasila sebagai Ideologi negara. Hikmah dibalik angka-angka tersebut, sudah sepatutnya menjadi bahan pemikiran yang sangat serius oleh berbagai kalangan, utamanya pemerintahan Jokowi-KMA. Kendati UU tentang Asas Tunggal Pancasila telah dicabut sejak tahun 2013, namun ancaman terhadap eksistensi NKRI ini tak bisa dipandang sebelah mata.

Dalam suasana muram seperti inilah, kita jadi teringat dengan taushiyah para kiai sepuh. “Marilah kita syukuri kemerdekaan yang Allah berikan kepada bangsa Indonesia ini dengan jihad Akbar yakni melawan korupsi, ketimpangan ekonomi, keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan.” ###