Jokowi vs Anies & Khofifah vs Risma

 

Oleh : Mabroer ms ( aktifis Nahdliyyin )

Dalam suasana kebatinan jutaan rakyat Indonesia yang tengah memikul beban berat ujian Pandemi Corona, semestinya para pemimpin kita memberikan contoh sekaligus guidence yang terarah dan beradab, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, kita amat menyayangkan mencuatnya polemik diantara sesama pemangku mandat rakyat, mulai dari Anies Baswedan vs Jokowi, Risma (Tri Rismaharini) vs Khofifah hingga beda kebijakan diantara sesama pembantu Presiden serta polemik sejumlah pejabat lainnya. Selain menyedihkan, juga menodai mandat yang telah mereka terima.

Di tengah Pandemi global dan ‘Kelimpungan Nasional’, sebetulnya kita berharap asas kepatutan, kepantasan, keteladanan serta asas tertib kekuasaan dalam tata kelola pemerintahan itu menjadi suguhan yang menyejukkan rakyat. Terus terang, pageblug abad 22 ini telah menguras energi, pikiran, kesabaran, dan anggaran semua pihak. Bahkan negara pun tak kalah peningnya menghadapi Corona. Dalam suasana seperti itulah, seruan bersatu padu dan saling membantu bukan hanya berlaku ke bawah. Yang utama, semestinya para elit makin tajam kepekaannya untuk memberikan contoh bahwa kebersamaan itu bukan retorika belaka. Jika tidak, jangan pernah berharap, kepercayaan rakyat akan tumbuh subur di tengah Pandemi.

Hingga kini, sektor kesehatan masih menjadi yang utama dalam skala prioritas, tapi yang lain juga antri untuk ditangani. Dari waktu ke waktu, urusan dapur jutaan rakyat jadi keluhan kolektif. Apalagi angka PHK, konon sudah menembus angka 6 juta, belum termasuk pekerja rumahan (home industri) yang jumlahnya berjibun di seluruh Indonesia. Tak sedikit dari mereka itu sudah beranak-pinak di rumah kontrak. Bahkan banyak dari mereka yang masih bergantung susu formula bagi para Balita-nya. Belum tuntas satu beban, sang kakak pun sudah mulai harus masuk sekolah atau bahkan kuliah. Bagi orang tua, semua itu adalah ‘pengeluaran’, sementara kran ‘pemasukan’ lagi kena PSBB. Disinilah dibutuhkan kecerdasan para pemimpin untuk melakukan kolaborasi dan meramu dari berbagai problematika itu jadi kebijakan yang secara gradual bisa mengurai benang kusut akibat Pandemi.

Namun, dalam berbagai kesempatan acapkali kita masih disuguhi tontonan perilaku pejabat, bukan tuntunan yang sarat nilai & etika. Meski bukan hubungan atasan-bawahan karena mandat konstitusi, namun silang-sengkarut koordinasi Jokowi vs Anies Baswedan serta Khofifah vs Tri Rismaharini/Risma itu seakan menjadi contoh demokrasi picisan. Siapa yang salah? Bukan itu soalnya. Yang jelas, ego sektoral, ego jabatan, bahkan mungkin afiliasi politik plus agenda lima tahunan telah menjadi hijab rasa malu dan unggah-ungguh.

Ada baiknya masing-masing pihak bisa mengambil hikmah dari teladan yang diberikan Imam solat dengan Muadzinnya. Meski berbeda Mazhab maupun partai politik, keduanya tetap kompak menjaga perasaan nyaman para jamaah. Kegaduhan para elit ini seakan makin melengkapi tontotan sejenis dari ruang para pembantu Presiden. Mulai dari isyu relaksasi PSBB, pulang kampung vs mudik, pembukaan Mall imajinasi hingga new normal. Bisakah beliau-beliau itu rehat sejenak dari intrik-intrik politik karena tugas utama mereka melayani, bukan mengamati, apalagi sampai harus berebut panggung.

Atau jangan-jangan, semua itu hanya trik untuk mengalihkan perhatian publik karena beban pekerjaan yang berjibun sehingga nalar waras pun terlupakan. Marah-marah di depan publik, beradu argumentasi di depan publik, beradu kekuasaan di depan publik, bukankah semua itu bukan Tupoksi mereka. Bukankah tugas utama mereka merumuskan ragam kebijakan dan arah pelaksanaan dibalik meja bersama para stafnya, sementara rakyat tinggal menunggu realisasi sambil sesekali memberikan koreksi. Bukankah model seperti ini juga bagian dari demokrasi? Apakah jabatan itu harus selalu identik dengan arogansi, sok pintar, sok benar dan sok kuasa? Bukankah eranya sudah berubah?

Pandemi Corona harusnya menyatukan, bukan saling berebut citra dan simpati. Keduanya akan datang sendiri kalau para pemegang mandat itu bekerja dengan jujur, ikhlas, dan semata-mata didasari ingin melayani rakyat. Bahwa masih ada yang suka ‘gorengan’, itu keniscayaan demokrasi, tapi pertolongan Tuhan akan selalu menjadi ‘invisible hand’ bagi pelayan rakyatnya. Yakinlah bahwa ‘siapa akan menjadi apa?’ untuk 2024 itu benar-benar misteri karena sejarah dalam setiap Pemilu selalu memberikan catatan yang patut dipetik hikmahnya. ###